Ajeng membiarkan tamu majikannya itu untuk menikmati sarapan paginya. Jantungnya berdebar lebih kencang daripada seharusnya dan nafasnya tampak lebih berat. Ia sendiri bingung kenapa. Meskipun bukan untuk pertama kalinya ia menerima perlakuan manis dari sosok orang kaya seperti tamu majikannya, tetap saja rasanya bahagia saat ada orang yang memperlakukan orang rendahan sepertinya dengan begitu sopan dan bahasa yang teramat halus.
Ajeng melirik punggung pria itu sementara ia berjalan kembali ke arah balkon dengan perlengkapan bersih-bersihnya. Kenapa ia tidak menanyakan nama pria itu? Keluhnya dalam hati. Namun Ajeng tahu kalau dia harus bisa membatasi diri. Ingatlah, dunia mereka jelas berbeda. Jangan pernah mengharapkan kisah cinta upik abu dan pangeran. Tegurnya dalam hati. Pria itu mungkin seseorang yang terlahir langsung berbungkus pakaian sutra, sementara dirinya hanyalah upik abu yang mengenakan pakaian bekas yang diberikan tetangga yang baik hati padanya.
Ajeng memilih untuk kembali mengenakan headsetnya dan memainkan playlist yang ada di ponsel android lamanya. Dalam hati ia mengingatkan dirinya untuk menahan mulutnya supaya tidak mengeluarkan suara nyanyian yang akan mengganggu kenyamanan tamu majikannya. Namun tetap saja, ia tidak bisa menahan diri untuk tidak bersenandung, mengikuti irama penyanyi yang ia dengar di telinganya.
Cukup lama ia menyapu balkon yang luas itu. membersihkan dan menyikat lantai kolam renang supaya tidak licin dan membuat siapapun yang berjalan di atasnya terjatuh. Membersihkan bagian dalam pagar kaca dengan seksama dan kemudian melap serta menepuk kursi-kursi yang ada di balkon luas itu.
Tubuhnya jelas berkeringat karena matahari yang naik cukup tinggi. Namun Ajeng tidak mengeluh. Kerja kerasnya jelas berbayar mahal. Itulah kenapa ia masih betah mengerjakan semuanya.
Ajeng masuk ke bagian dalam rumah. Menutup pintu kaca yang mengarah ke balkon supaya tidak ada udara masuk ke bagian dalam penthouse dan membawa debu halus yang akan mengotori ruangan. Hal yang pertama dilihatnya adalah meja makan yang tadi digunakan teman majikannya sarapan. Pria itu sudah tidak ada disana. Sedikit kekecewaan menyelinap masuk ke d**a Ajeng. Hal yang seharusnya tidak boleh terjadi sebenarnya. Namun meskipun kecewa, bibirnya menyunggingkan senyum. Tamu majikannya itu dengan baiknya sudah membereskan meja dan bahkan sudah mencuci bekas makannya sendiri. Hal yang jarang terjadi. pujinya dalam hati. Selain tampan dan bersikap sopan. Pria itu juga sangat tahu diri.
Ajeng kembali berjalan menuju ruang peralatan yang tersembunyi di balik dapur. Ia sudah membersihkan ruang tengah saat tadi diminta membuatkan sarapan. Dan saat memasak tadi ia juga sudah membersihkan dapur. Sekarang ia berniat membersihkan kamar yang ada di penthouse itu sebelum mengepel seluruh ruangan. Ia mengambil dua kantung bed cover dari ruang penyimpanan dan juga keranjang cucian untuk nantinya ia gunakan sebagai tempat menyimpan seprai kotor. Ajeng membiarkan pintu kamar terbuka lebar. Merasa bahwa di penthouse itu tidak ada siapapun selain dirinya, ia kembali bernyanyi dengan nada lantang.
Setelah sarapan, Ilker kembali ke kamar dan berniat untuk membuka file-file yang berisikan pekerjaannya sebelum ia memutuskan untuk kembali masuk ke kantor beberapa hari kemudian dan kembali mengambil alih semua pekerjaan yang selama ini diberikan kepada asistennya di bawah pengawasannya, adiknya dan juga ayahnya.
Samar ia mendengar senandung yang merdu itu lagi. Suara yang mengusiknya seperti saat pertama kali tadi ia terbangun. Ilker terdiam pada awalnya, namun suara merdu gadis itu seolah menghipnotisnya sehingga mau tak mau ia beranjak dari duduknya dan berjalan mendekati pintu hanya supaya bisa mendegar dengan lebih jelas.
Lirik demi lirik ia dengarkan dengan seksama. Membuatnya menyesal sepersekian detik kemudian karena memilih untuk mendengarkannya. Ia berdiri di sisi daun pintu yang terbuka dengan tubuh menegang dan jantung yang terasa tercabik menyakitkan.
Suara merdu gadis itu seolah sedang menceritakan kisah sedih yang dulu dan kini masih dirasakannya.
Tuhan tolonglah aku, kembalikan dia kedalam pelukku.
Ilker tahu penggalan lagu itu. Ia juga tahu siapa penyanyi aslinya. Setahu ia akan lirik lanjutannya yang menceritakan kisahnya sendiri.
Karena ku tak bisa, mengganti dirinya
Kuakui, jujur aku tak sanggup. Sungguh aku tak bisa.
Ilker merinding seketika. Sekelibat ingatannya kembali pada kisah masa lalunya yang menyedihkan dan sayangnya masih ia rasakan. Membawa jiwanya kembali pada masa lima tahun lalu saat ia kehilangan sosok wanita yang sangat ia cintai.
Ilker membisu. Berdiri dengan kedua tangan di depan d**a, mata terpejam dan telinga yang terfokus pada suara Ajeng. Punggungnya bersandar di dinding sementara kepalanya menunduk diam. Lagu yang dinyanyikan Ajeng kemudian berubah nada dan lirik. Namun tetap, terasa menyayat hatinya.
Kalau tangis itu ada, mengapa tak ada airmata?
Karena sudah tidak ada yang tersisa untuk ditangisi. Jawab Ilker dalam diamnya.
Kalau cinta indah, kenapakah sakit?
Karena tak bisa memiliki, lanjutnya lagi.
Kalau sentuh itu ada, mengapa kisah ini tidak nyata?
Karena sudah menjadi bagian dari masa lalunya yang tak menyenangkan.
Ada bahagia tapi tak bersama.
Karena Tuhan sudah merenggut kekasihnya dari tangannya.
Setiap liriknya yang penuh tanya Ilker jawab dengan kebisuan. Tanpa ia inginkan bayangan masa lalu kembali hadir. Ia melihat sosok wanita yang tersenyum kepadanya dengan wajah cantiknya. Ia kembali merasakan sakit seolah wanita yang ia cintai baru saja meninggalkannya. Padahal waktu sudah berlalu selama lima tahun lamanya.
Di doaku kutemukan tatapmu lagi
Ilker meringis mendengarnya.
Kuhidupkan senyumanmu kembali
Bertemu kamu
Itulah yang Ilker lakukan setelah ia kehilangan sosok istri yang sangat dipujanya. Sangat dicintanya. Membawa istrinya kembali ke dalam mimpinya. Menikmati masa-masa bahagia yang tak akan pernah bisa lagi diulangnya.
Di doaku, kau peluk tubuhku kembali
Berdua hidup dalam doa ini
Cinta ini, salah tapi baik.
Lalu dimana baiknya? Selain kebahagiaan singkat yang dirasakannya dengan Ilsyana. Tidak ada lagi kebaikan lainnya. Sisanya hanya derita yang ia rasakan. Derita saat melihat istrinya kesakitan. Derita karena ditinggalkan dan tahu bahwa sosok yang dicintainya tak akan kembali ke dalam pelukannya.
Kalau semua ini derita, kenapa Tuhan pertemukan kita?
Ya, kenapa Dia mempertemukan mereka hanya untuk merenggutnya dari Ilker? Bukankah kisah cintanya teramat tragis dan menyedihkan? Jika dibandingkan dengan kedua orangtuanya. Paman-pamannya. Saudara-saudaranya, tampaknya tak ada kisah yang lebih menyedihkan daripada kisah miliknya.
Ilker masih berdiri di sana dengan semua kesedihan yang ia pikir sudah bisa ia hilangkan namun akhirnya membuatnya kembali berkaca-kaca dan kembali menangis tanpa suara. Ia mencoba menghapus airmatanya dengan kasar, meskipun hal itu sama sekali tidak mengurangi rasa sakit yang kembali menikam jantungnya dan menyesakkan dadanya.
Ilker tersadar, gadis itu sudah menyanyikan lagu yang berbeda. Lirik dan nada lagu gadis itu kini sudah berganti lagi. Ilker tidak tahu kenapa gadis itu bernyanyi dengan begitu lantangnya. Seolah sedang berniat mengejeknya. Apa gadis itu tahu siapa dirinya? Mungkin saja. Jika gadis itu memang bekerja bersama keluarganya, tentunya gadis itu melihat wajahnya di beberapa foto yang tentunya orangtuanya pajang di dinding rumah mereka.
Meskipun lima tahun sudah ia meninggalkan Indonesia, tapi tidak banyak yang berubah dari dirinya. Selain rambutnya yang kini dibiarkan panjang daripada saat ia menikah dengan Syahinaz. Jambang dan janggutnya yang ia biarkan tak terurus, serta bentuk tubuhnya yang ia akui semakin besar. Karena otot tentunya, bukan karena lemak. Dan mungkin warna kulitnya yang lebih gelap dibandingkan lima tahun sebelumnya.
Semua ini terjadi begitu saja. Ilker memilih untuk menjauh dari peradaban selama lima tahun terakhir ini. Dia memilih untuk bergaul dengan alam. Dan tanpa dia sadari, tubuhnya pun turut berubah bentuk. Ia tidak kecewa dengan perubahannya. Namun mungkin akan membuat terkejut orang-orang yang mengenalnya.
Ilker kembali memilih mendengarkan. Dan menjawab semua lirik yang dilantunkan Ajeng dengan pernyataan yang hanya menggaung dalam kepalanya.
Berwaktu-waktu aku mengasuh rasa
Rasa sakit karena kehilangannya.
Engkau bukanlah sebuah kesalahan
Tak pernah aku menyesal mengenalmu.
Faktanya memang Ilker tidak pernah menyesal karena sudah mengenal sosok Syahinaz. Ia justru bahagia. Ia merasa dirinya hidup dengan penuh kebahagiaan. Sampai kemudian kabar itu perlahan mematikan rasanya. Mematikan keinginannya untuk terus menjalani hari. dan kemudian benar-benar membawa jiwanya pergi saat wanita yang ia cintai berakhir diambil oleh Sang Pemilik.
Kau dan aku tak bisa bersama
Karena Tuhan mengambilmu dariku dengan kejamnya.
Bagai syair lagu tak berirama
Selamat tinggal kenangan denganmu
Haruskah? Melupakannya begitu saja?
Senyumku melepas kau pergi
Aku belum bisa melakukannya sampai saat ini. gumam Ilker dalam kepalanya.
Namun memang inilah yang sedang ia coba lakukan. Melepas masa lalu. Ia harus merelakan semua kenangannya dengan Syahinaz demi bisa menemukan kembali dirinya. Demi bisa melanjutkan masa depannya. Demi keluarga yang menunggunya dan mencintainya. Demi bisa memaafkan dirinya sendiri dan kembali pada sosok lain yang ia tahu saat ini sedang menunggunya. Ilsya. Bocah kecil yang tercipta karena cinta mereka.
Ilker masih memejamkan mata. Namun ia tersentak kaget kala melihat gadis itu yang tak kalah terkejutnya melihat keberadaannya di ambang pintu.
“A-apa yang sedang Anda lakukan disini?” tanyanya dengan tatapan tajam dan dahi berkerut yang Ilker lihat untuk kesekian kalinya. Ia baru saja merasakan kesedihan akibat lirik yang dinyanyikan dengan merdu oleh gadis itu dan kini ia ingin tertawa saat melihat ekspresi gadis itu yang jelas terlihat begitu lucu di matanya. Apakah ia harus menjelaskan pada gadis itu tentang keberadaannya di rumahnya sendiri?
Ilker mengedikkan bahu dengan gerakan tak acuh. Menarik tubuhnya dan berdiri tegak di atas kedua kakinya masih dengan kedua tangan terlipat di depan dadanya. Wajahnya dianggap menyeramkan bagi beberapa orang yang melihatnya, tapi tampaknya bukan ekspresi takut yang muncul di wajah gadis itu. dan sepertinya gadis itu juga tidak menyadari kesedihan dalam wajahnya dan airmata yang tadi pernah jatuh dari pelupuk matanya karena gadis itu hanya menunjukkan wajah kaget. Bukan wajah penuh tanya yang menyelipkan setitik rasa penasaran dan kasihan.
“Tidak ada.” Jawab Ilker dengan santainya. “Aku hanya sedang bekerja.” Kepalanya mengedik kea rah meja kerja dengan laptop yang sedang menyala.
“A-anu. Maksudku. Kupikir Anda sudah pergi.” jawab Ajeng apa adanya.
Ilker mengangkat sudut mulurnya dan kembali mengedikkan bahu. “Sayangnya, aku tidak akan pergi dalam waktu dekat.” Jawabnya dengan santai. “Aku akan berada cukup lama disini.” Jawab Ilker dengan tak acuh. “Mungkin beberapa lama.” Ralatnya kemudian.
Gadis itu kembali mengerutkan dahi. Namun kemudian mengedikkan bahu dengan ekspresi yang seolah mengatakan ‘aku tidak peduli’. “Saya berniat membersihkan kamar ini dan mengganti seprainya.” Ucap gadis itu seraya menunjukkan seprai baru di satu tangan dan keranjang cucian di tangan yang lain. “Apa saya boleh melakukannya?” tanyanya ingin tahu. Gadis itu memandang tempat tidur sekilas sebelum kembali memandang Ilker dengan tatapan bingung. Apa yang harus dibingungkan gadis itu? tempat tidurnya yang rapi?
“Lakukan saja kalau itu perlu.” Jawab Ilker dengan tak acuh. Ia kemudian memilih untuk kembali ke meja kerjanya dan melanjutkan pekerjaannya. Yang tadi sempat terhenti karena nyanyian gadis itu. Ajeng tampak mengangguk dan melangkahkan kaki masuk kedalam kamar. Ia meletakkan keranjang cuci di salah satu kaki tempat tidur dan kantung seprai baru disampingnya. Kemudian dengan cekatan mulai membuka bungkus-bungkus bantal dan guling. Ilker hanya bisa memandang punggung gadis itu. Bukan memperhatikan dengan cara kurang ajar karena jelas ia tidak bernafsu. Namun mencoba mendengarkan apa gadis itu kembali menyanyikan sebuah lagu. Anehnya, gadis itu tidak bernyanyi ataupun bersenandung. Ia hanya berfokus pada pekerjaannya.
Keheningan yang biasanya merupakan kenikmatan tersendiri bagi Ilker kini dirasa tak nyaman. Ia memandangi layar di depannya namun pikirannya tak bisa berfokus pada apa-apa. Ia sendiri tidak mengerti apa yang diinginkannya.
“Apa kau berlatih vocal?” pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutnya. Murni karena penasaran mengingat suara Ajeng yang begitu merdu telah menggugahnya.
Gadis itu tampak membeku sejenak. Namun kemudian Ilker melihatnya menggelengkan kepala pelan dan kembali melanjutkan pekerjaannya seolah Ilker tak mengajaknya bicara. “Kalau ada seseorang yang menawarimu untuk menjadi penyanyi, apa kau mau?” tanya Ilker lagi. Tampaknya jiwa produsernya sudah kembali dan ia seolah menemukan mutiara yang telah hilang kini ada di depannya dan siap untuk dipoles menjadi bentukan berharga.
Ajeng menegakkan punggungnya dan kembali menggelengkan kepala. “Saya bernyanyi karena saya suka.” Jawabnya singkat seraya memasukkan seprai kotor ke dalam keranjang cucian dan membuka bungkus seprai baru.
Meskipun cukup lama ia tidak bersosialisasi dengan orang-orang. Tapi ia masih bisa memahami bahasa tubuh, mengingat itu adalah hal yang penting yang harus ia pelajari sebagai seorang pengusaha. Dan melihat gerak Ajeng kini, dan ekspresi wajahnya ketika gadis itu memasang seprai di sudut yang lain yang membuat Ilker bisa melihat wajahnya. Ia tahu bahwa gadis itu tampak tidak ingin ada perbincangan lagi diantara mereka.
Ilker tak suka dengan keheningan yang terjadi di kamarnya, padahal biasanya itulah yang diinginkannya. Ia pun tak tahu kenapa. ia tidak tersinggung dengan sikap Ajeng yang memilih diam, justru ia merasa penasaran kenapa. Padahal sebelumnya sikap gadis itu terbilang cukup manis untuk orang yang baru saling menyapa. Ketika kemudian Ajeng meninggalkan kamarnya dengan keranjang cucian dan meninggalkan tempat tidur dengan seprai dan selimut baru. Perasaan Ilker tidak berubah lebih baik.
Ilker memilih untuk memutar kursinya dan memandang keluar keluar jendela kamarnya. Apakah sikapnya membuat Ajeng tidak nyaman? Tanyanya pada diri sendiri. Pertanyaan itu ia ajukan bukan karena memikirkan perasaan Ajeng. Tapi lebih kepada antisipasi akan seperti apa nanti jika ia bertemu kembali dengan anggota keluarganya yang lain. Apakah mereka akan merasa canggung saat bertemu lagi dengannya. Mengingat lima tahun sudah berlalu semenjak ia memutuskan lari dan menjauh dari keluarganya. Dari orang-orang yang peduli padanya dan mencintainya.
Bagaimana kesan pertama mereka nanti saat kembali bertemu dengannya? Hal ini tak pernah Ilker pikirkan sebelumnya. Namun setelah melihat respon Ajeng tadi, entah bagaimana Ilker kemudian memikirkannya. Selama ini mereka sudah menahan diri untuk tidak memaksa Ilker keluar dari persembunyiannya. Mereka tidak mengganggunya dan memilih untuk menjaga jarak karena tahu bahwa itulah yang diinginkannya. Bagaimana sekarang? Apakah mereka bisa menerimanya? Atau mereka justru akan terganggu dengan keberadaannya?