Ajeng turun dari ojeg yang dipesannya tepat di depan sebuah rumah berlantai dua yang sangatlah megah. Ia menyapa satpam yang membukakan pagar tinggi untuknya setelah ia memberitahukan kedatangannya lewat sebuah kamera yang ada di salah satu sisi batas pagar.
Ia berjalan melewati taman luas dimana para tukang kebun tampak sedang menyapu dan memotong tumbuhan yang jika Ajeng perlihatkan sudah sangat rapi dan dalam kondisi baik-baik saja.
Ia terus berjalan sampai ke pintu depan rumah dimana ia melihat beberapa pekerja tampak tengah membersihkan kaca yang super tinggi. Di bagian dalam rumah beberapa pelayan yang lainnya tampak sedang mengalihkan beberapa barang. Mengeluarkan sesuatu dari sebuah ruangan dan memasukkan yang lain ke ruangan tertentu. Ajeng duga, kehebohan ini terjadi karena sebentar lagi rumah ini akan dipenuhi banyak orang. Semua anggota keluarga akan berkumpul bersama karena pernikahan putra bungsu sepupu Adskhan – Caliana Levent—si tuan rumah—akan segera berlangsung.
Pasangan Caliana-Adskhan memiliki empat orang anak. Satu diantaranya adalah putri Adskhan Levent dari anak pertamanya, dan tiga lainnya adalah putri Caliana dan Adskhan sendiri.
Syaquilla Adskhan Levent, putri pertama Adskhan dari istri pertamanya kini tinggal di Bandung. Membuka sebuah café kue, menikah dengan seorang dokter dan memiliki dua orang anak bernama Ayla dan Afham.
Selanjutnya putra pertama pasangan Caliana-Adskhan bernama Ilker Adskhan Putra Levent. Sosok pria—yang selama Ajeng mengetahui keluarga itu—tidak pernah ia lihat keberadaannya. Ajeng hanya mengenal sosoknya dari foto-foto lawas yang ditunjukkan pemilik rumah saat sang cucu, Ilsya Zaina Levent, putri dari pria bernama Ilker itu sendiri memintanya. Selebihnya, sosok itu tidak pernah muncul dimanapun, kapanpun. Entah itu di hari raya, hari besar keluarga, bahkan tidak di saat sosok tetua Levent terakhir meninggal pun, pria itu tak memunculkan wajahnya.
Ajeng kadang berpikir, apa pria itu memiliki perasaan atau tidak. Tapi semua tanya itu hanya bisa ia pendam dalam hati.
Lalu setelah Ilker ada sosok Faiqa. Wanita modis yang sangat cantik. Dia tinggal di Italia bersama suaminya, Tiziano Salvatore. Dan disana, dia mengembangkan bisnis kosmetik yang usahanya menjalar kemana-mana. Ajeng juga tidak mengenal sosoknya, tapi setiap kali mereka memiliki kesempatan untuk bertemu, wanita itu selalu bersikap ramah dan baik padanya. Tipe wanita yang memiliki wajah jutek namun sebenarnya sangat perhatian.
Dan tokoh terakhir dalam keluarga ini bernama Mirza Abrisam Levent. Kita sudah membahasnya sejak awal cerita.
Ajeng mencari-cari sosok wanita paruh baya yang memanggilnya untuk datang. Bukannya menemukan sosok sang nyonya rumah, Ajeng malah mendapat pelukan dari sebuah tangan kecil yang ia tahu siapa. Ia menoleh ke belakang dan melihat sosok Ilsya. Gadis kecil berusia lima tahun yang selalu terlihat cantik di matanya. Ralat, bukan hanya di matanya, tapi di mata orang-orang yang mengenalnya. Entah itu sosok dewasa atau anak-anak. Laki-laki atau perempuan, pasti sepakat kalau sosok Ilsya Zaina Levent itu lebih mirip seperti bidadari kecil. Rambutnya yang hitam panjang dan lebat terikat dengan bentuk ekor kuda di belakang kepalanya. Matanya seperti almond, beriris coklat dan bening. Bulu matanya panjang dan lentik, alisnya lebat dan melengkung indah. Kelak, saat gadis itu dewasa, Ajeng yakin kalau dia tidak perlu pergi ke salon untuk melakukan sulam alis. Karena bentuknya sudah sangat sempurna.
Gadis itu mendongakkan kepalanya, memandang Ajeng dengan senyumnya yang ceria dan menunjukkan giginya yang sudah tanggal. “Halo, Sayang.” Ucap Ajeng seraya menurunkan tubuhnya dan berjongkok di hadapan bocah itu. “Kak Ajeng kangen sekali sama Syasya, apa Syasya juga kangen sama kakak?” tanyanya dengan nada manja.
Bocah kecil itu terkikik sebelum menganggukkan kepala. Ia kemudian memeluk Ajeng sampai Ajeng hampir terjungkal. “Syasya juga kangen sama kak Ajeng.” Ucapnya di balik telinga Ajeng. Ajeng mengusap rambut bocah itu dengan sayang. Tak lama setelahnya pelukan mereka terlepas. Ajeng masih dalam posisi berjongkoknya supaya ia bisa setara dengan bocah itu. Matanya menatap Ilsya sementara tangannya memainkan rambut gadis itu.
“Gimana sekolah kamu? Temen-temen kamu gak ada yang nakal kan?” Tanya Ajeng yang dijawab gelengan oleh gadis kecil itu.
“Semuanya, OK?” jawab bocah itu seraya menyatukan ibu jari dan jari telunjuknya sehingga membuat bentuk huruf O kecil. Bocah itu nyengir dan kembali menunjukkan giginya yang hilang.
“Kamu sudah datang?” sapaan bernada lembut itu membuat Ajeng memutar kepalanya. Sosok wanita berhijab bertubuh tinggi langsing berjalan mendekat ke arahnya. Wanita yang masih tampak cantik di usianya yang lebih dari setengah abad itu tersenyum ramah ke arahnya. Ajeng mengangguk seraya bangkit berdiri, membawa Ilsya yang masih merangkul pahanya untuk berjalan mendekati wanita tersebut. Ajeng mencium punggung tangan si nyonya rumah seperti kebiasaannya.
“Baru saja, Oma.” Jawabnya setelah ia melepas ciuman di punggung tangan wanita tersebut. Sapaan itu memang sudah menjadi sapaan resmi Ajeng kepada nyonya besar Levent sejak kali pertama Ajeng mengenalnya hampir enam tahun yang lalu.
Singkat cerita, Levent adalah marga dari tiga saudara bersepupu berkebangsaan Turki bernama Adskhan, Lucas dan Erhan.
Adskhan—sepupu pertama dalam klan Levent—adalah suami dari Caliana Levent, wanita pertengahan paruh baya yang saat ini ada di hadapan Ajeng. Sepupu kedua bernama Lucas Levent. Beliau menikah dengan pribumi bernama Agisna Levent. Dan sepupu ketiga bernama Erhan Levent. Beliau juga menikah dengan wanita lokal bernama Nadira Levent, hanya saja memiliki darah campuran Filiphina dan Brazil.
Keluarga Levent yang pertama kali Ajeng kenal itu bukanlah keluarga Adskhan-Caliana. Melainkan keluarga Lucas-Gisna.
Ajeng adalah adik angkat yang tumbuh besar bersama putri Lucas-Gisna yang dinyatakan hilang, bernama Raia. Selain Ajeng, Raia juga memiliki adik angkat lain bernama Rianna dan Rianna saat ini sudah menikah dengan seorang pria bernama Akara Reynard Levent yang tidak lain tidak bukan adalah kakak dari Raia sendiri, putra dari pasangan Lucas-Gisna. (Lengkapnya bisa baca Akara’s Love Story ya)
Awalnya Ajeng mengasuh putra dari Raia saat wanita itu koma, namanya Raihanna. Akrab disebut Hanna. Saat kemudian Raia pindah ke Jakarta, berikut juga Rianna dan Akara menikah, maka Ajeng pun turut ikut ke Jakarta. Kala itu ia dipekerjakan oleh Nyonya Gisna Levent untuk mengasuh Hanna selama masa penyembuhan Raia. Sampai kemudian, suatu saat Nyonya Caliana yang belakangan meminta dipanggil Oma itu memanggilnya untuk membantunya mengasuh cucu mereka, Ilsya.
Ilsya adalah putri dari putra pertama Caliana-Adskhan bernama Ilker Adskhan Levent. Pernikahan orangtua Ilsya berlangsung sebelum kakak angkatnya—Rianna—menikah dengan Akara. Saat itu Ajeng belum datang ke Jakarta dan menetap bersama keluarga Lucas-Gisna Levent. Jadi sejujurnya, Ajeng tidak pernah bertemu secara langsung dengan sosok ayah ataupun ibu Ilsya.
Yang ia tahu hanyalah, ibu Ilsya meninggal tak lama setelah melahirkan Ilsya. Dan setelahnya, ayah Ilsya memberikan pengasuhan Ilsya pada kakek dan neneknya. Caliana dan Adskhan Levent. Sejak saat Ilsya kecil dibawa ke Indonesia, ayah Ilsya itu tidak pernah mau menemui putrinya. Desas-desus yang berkembang katanya Ilker menyalahkan Ilsya atas kematian istrinya. Namun desas desus yang lain mengatakan bahwa ayah Ilsya mengalami kemunduran emosional sehingga dia harus mendapatkan perawatan mental setelah kehilangan istrinya.
Ilsya tidak pernah bertemu dengan sosok ayahnya. Gadis kecil itu hanya mendengar cerita tentang sang ayah dari mulut kakek, nenek dan paman bibinya. Dari foto-foto lawas yang mereka tunjukkan. Tida pernah sekalipun Ajeng mendengar mereka melakukan video call atau telepon biasa pada ayah Ilsya. Pria itu seolah menghilang ditelan bumi. Pria itu lebih seperti sebuah kenangan. Hidup tapi hanya dari cerita dan kepingan-kepingan masa lalu yang tertinggal. Dan sejujurnya, hal itu membuat Ajeng turut emosi. Membenci sosok pria itu meskipun ia tahu ia tidak memiliki hak untuk merasakan hal itu. ia membenci sosok Ilker bukan untuk dirinya sendiri. Tapi untuk Ilsya dan juga keluarga lain yang pria itu tinggalkan.
Disaat anak-anak lain seperti dirinya dan teman-temannya di panti asuhan menangis meminta sosok orangtua yang baik dan penyayang, pria itu malah memilih untuk meninggalkan keluarga yang sangat menyayangi dan mencintainya. Disaat semua orang berburu untuk mendapatkan kekayaan, pria itu malah menyia-nyiakan apa yang ada di depan mata. Disaat para orang tua melakukan banyak hal untuk bisa memiliki keturunan, pria itu malah meninggalkan sosok seperti Ilsya. Ya, Ajeng marah untuk itu semua. Meskipun ia sendiri tidak tahu apa yang dirasakan oleh pria itu sesungguhnya.
Kenapa pria itu harus menyalahkan kematian istrinya pada seorang anak yang baru lahir? Memangnya Ilsya mau lahir tanpa seorang ibu? Tentu tidak. kenapa pria itu tidak pernah berpikir bahwa tindakannya kejam.
Bukan hidup yang sebenarnya bersikap tidak adil. Tapi manusianya yang tidak pernah mensyukuri apa yang mereka miliki. Mereka selalu menginginkan apa yang tidak mereka miliki, itulah yang membuat mereka lupa pada apa yang sudah ada di depan mata. Sama seperti pria bernama Ilker ini.
Jika dibandingkan dengan hidup Ajeng, tentunya seharusnya pria itu memiliki banyak hal. Kekayaan, keluarga yang selalu menunggu dan menyayanginya, anak yang cantik dan juga cerdas. Apalagi yang sebenarnya dia butuhkan? Ibu Ilsya? Kenapa dia tidak bisa menerima jika memang sudah takdirnya wanita itu meninggalkan dunia? Kenapa harus membebani dia yang telah meninggal dengan harapan yang tidak akan bisa menjadi kenyataan?
Tapi entahlah, Ajeng tak mau banyak berpikir. Itu urusan mereka. Yang jelas pria itu sendiri yang rugi dengan pilihan yang diambilnya.
“Oma dengar, kamu baru beres-beres di penthouse?” tanya wanita itu dengan nada yang sedikit antusias. Ajeng menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Wanita yang masih tampak cantik di usianya yang sudah tidak muda lagi itu memilih untuk duduk di sofa terdekat dan mengisyaratkan Ajeng untuk duduk dengan melambaikan tangannya. “Ada tamu disana?” tanyanya lagi setelah Ajeng duduk. Gadis itu kembali menganggukkan kepala sebagai jawaban. “Kamu tahu dia siapa?” tanya Oma Caliana lagi. Ajeng menggelengkan kepala. Wanita di hadapannya hanya memandang Ajeng dengan senyum di wajahnya. “Bagaimana dia?” tanyanya yang membuat Ajeng mengernyit bingung.
“Bagaimana apanya?” tanyanya ingin tahu.
Oma Caliana mengedikkan bahu dengan bibir mencibir ke arah Ajeng. “Penilaianmu tentangnya? Secara keseluruhan.” Ujarnya dengan santai.
Ajeng kembali mengerutkan dahi. “Apa dia masih anggota keluarga Levent?” tanya Ajeng ingin tahu.
Oma Caliana menganggukkan kepala dengan senyum penuh arti di wajahnya. “Katakan saja penilaianmu tentangnya, tidak usah ragu. Oma tahu kamu orang yang jujur, karena itulah Oma bertanya.” Jawabnya lagi.
Ajeng hanya bisa mengerucutkan bibirnya, berpikir kembali tentang tamu yang ada di kediaman putra bungsu wanita yang ada di depannya sebelum kemudian menjawab. “Beliau sedikit aneh.” Jawab Ajeng yang membuat Oma Caliana membelalakkan mata.
“Aneh?” tanyanya bingung.
Ajeng menganggukkan kepala. “Secara fisik, saya tidak tahu apa pria itu bisa disebut tampan atau tidak. Dibandingkan dengan Dokter Akara, Chef Serkan, Mas Halil, Mas Rayyan dan Mas Mirza…” Ajeng menyebut para pria muda Levent yang ia kenal seraya terdiam sejenak. “Pria itu terlalu ‘berbulu’.” Jawabnya yang mendapat respon tawa terbahak dari wanita yang ada di depannya. Hal yang cukup mengejutkan karena Ajeng jarang sekali melihat wanita itu tertawa selepas itu selama ia mengenalnya.
“Lalu?” tanya Oma Caliana lagi sambil menutup mulutnya untuk menghentikkan tawa.
“Dari segi fisiknya, dia terlihat seperti Khal Drogo di Game of Throne. Tapi setelah berpakaian dia tampak lebih beradab dan jadi terlihat seperti The Beast di Beauty and The Beast.” Lanjutnya lagi yang dijawab anggukkan Oma Caliana. “Ajeng yakin, kalau dia marah dan mengamuk dia akan lebih mirip seperti Durotan di film Warcraft.” Ucap gadis itu dengan dahi berkerut tajam.
Oma Caliana tampak kebingungan sejenak. Ajeng pikir itu karena paruh baya itu tidak mengenal sosok-sosok yang disebutnya. Tapi pastinya Oma Caliana tahu siapa itu The Beast. Siapa yang tidak tahu tokoh pangeran buruk rupa itu, setiap anak pasti tahu tokoh legendaris itu. Dan kala ingatan wanita paruh baya itu terarah pada sosok yang Ajeng maksud, wanita itu kembali tersenyum, nyaris tertawa.
Sambil mengusap sudut matanya yang berair, wanita itu kembali menatap Ajeng. “Apa dia memang semenakutkan itu?” tanyanya yang dijawab kedikan Ajeng.
“Secara fisik, ya.” Aku Ajeng. Ia kembali membayangkan sosok tamu majikannya yang tinggi besar dengan rambut panjang dan wajah yang dipenuhi jambang dan kumis. Serta d**a lebar berwarna coklat yang diselimuti banyak bulu. “Beliau memang tampak seperti itu.” lanjutnya apa adanya. “Tinggi, besar dan banyak bulu. Tapi itu hanya penampilan fisiknya. Faktanya beliau orang yang sopan dan baik.” Lanjutnya yang membuat Oma Caliana terdiam. “Ya, beliau memang tidak terlihat petakilan seperti Mas Rayyan dan Mas Mirza. Beliau terlihat seperti..”
“Akara?” tanya Oma Caliana ingin tahu. Ajeng berpikir tapi kemudian menggelengkan kepala.
“Dokter Aka terlihat dingin, tapi beliau tidak.” tolak Ajeng.
“Serkan?” Tanya wanita paruh baya itu lagi. Lagi-lagi Ajeng menggelengkan kepala.
“Tidak juga. Beliau tampak tenang seperti Mas Halil. Tapi tetap gak seperti Mas Halil.”
“Lalu, seperti siapa?” tanya Oma Caliana tampak tak sabar.
“Dia seperti Opa Adskhan.” Jawabnya kemudian. Yang membuat Oma Caliana tampak termenung. Ajeng menganggukkan kepala untuk menyetujui pikirannya sendiri. “Dia berbicara sangat sopan dengan nada rendah. Saat sekilas Ajeng perhatikan, beliau itu memiliki tatapan yang sedih, tapi Ajeng juga bisa melihat kilat jahil di matanya. Sudut-sudut matanya berkerut, yang berarti dia itu sering tersenyum dan tertawa. Dahinya memiliki gurat-gurat halus yang Ajeng yakin itu bukan karena dia pemarah, tapi karena dia itu sosok yang suka berpikir.” Ucapnya yang tanpa Ajeng sadari diangguki oleg Oma Caliana. “Beliau terlihat menjaga jarak, tapi bukan dingin.” Ajeng menatap Oma Caliana dengan tatapan berpikirnya. “Ajeng bisa ngerasain kalau dia orang yang hangat, Cuma kayaknya sama kayak Opa Adskhan, sedikit sulit untuk mengungkapkan. Tapi ya, itu Cuma penilaian sekilas Ajeng, kalau sifat aslinya Ajeng juga gak tahu.” Jawab gadis itu lagi yang kembali dianggukki Oma Caliana.
“Terima kasih.” ucap wanita itu dengan suara yang terdengar serak di telinga Ajeng. Ajeng bahkan melihat mata wanita itu memerah dan berkaca-kaca.
Meskipun tidak tahu wanita itu mengucapkan terima kasih untuk apa, namun Ajeng menganggukkan kepala. “Tapi Oma, kenapa Oma manggil Ajeng kesini?” tanyanya ingin tahu.
Oma Caliana mengangkat sudut mulutnya dan tersenyum. “Ini tentang ‘The Beast’ mu.” Ucap Oma Caliana yang seketika membuat Ajeng menegakkan punggungnya. Wajahnya menegang, ia takut kalau ia sudah mengatakan hal yang tidak pantas ia katakan. Tapi sepertinya hal itu sama sekali tidak mengganggu wanita yang duduk hadapannya. “Ada bantuan besar yang kami perlukan darimu, Ajeng.” Ucap wanita itu dengan nada datar yang membuat Ajeng semakin kebingungan.
“Ba-bantuan apa, Oma?” tanya Ajeng tidak yakin.
“Awalnya Oma ingin memberikan kamu kesempatan untuk memilih, apa kamu mau melakukannya atau tidak. Tapi setelah mendengar jawabanmu, mendengar penilaianmu tentang pria itu, Oma merasa pekerjaan ini memang harus kamu lakukan.” Ucapnya lagi dengan ambigu yang membuat Ajeng semakin bingung.
“Memangnya apa yang harus Ajeng lakukan, Oma?” tanya Ajeng bingung. Ia duga pekerjaannya bersangkutan dengan Ilsya. Tapi Ilsya sudah masuk sekolah dan gadis itu sudah tidak memerlukan baby sitter yang perlu memantaunya selama satu kali dua puluh empat jam. Dan tentang ‘The Beast’, memangnya apa yang bisa Ajeng lakukan untuk membantunya? Pria itu jelas sudah dewasa, tampak sehat secara fisik dan mentalnya, jadi pria itu tidak butuh seorang pengasuh untuk menjaganya. Atau pria itu membutuhkan seorang asisten rumah tangga? Jelas itu juga sepertinya tidak harus dirinya, di rumah ini banyak asisten rumah tangga yang bisa membantu pria itu jika Oma Caliana memerintahkannya. Jadi apa yang ‘The Beast’ itu butuhkan darinya?
“Pekerjaan ini jelas lebih berat daripada pekerjaan yang selama ini kamu lakukan, Jeng.” Ucap Oma Caliana, lagi-lagi dengan nada ambigu yang membuat Ajeng kesulitan mencerna. “Tolong, bantu Ilsya untuk lebih mengenal ayahnya.” pinta wanita paruh baya itu dengan penuh harap.
“A-ayah?” Ajeng memandang wanita itu dengan bingung. Ia menoleh untuk memandang Ilsya, namun entah sejak kapan bocah itu sudah tidak ada lagi disana. “Si-siapa?” tanya Ajeng bingung. Ia sudah menduga satu sosok, namun ia takut salah menduga. Dan sepertinya, Oma Caliana juga tidak ingin memberikannya jawaban. “Di-dia ayah Ilsya?” tanya Ajeng yang dijawab anggukkan Oma Caliana. “Pria di penthouse itu?” lagi-lagi Oma Caliana mengangguk. “The-The Beast?”
Oma Caliana tersenyum geli, bukan tersinggung dan kembali menganggukkan kepala. “Khal Drogo, The Beast, Durotan. Apapun panggilanmu tentangnya.” Ucap Oma Caliana dengan senyum di wajahnya yang membuat wajah Ajeng memerah malu.
“Di-dia?” tanyanya yang Ajeng dengan wajah memerah malu. “Tapi bagaimana bisa?” tanyanya gugup.
“Kenapa tidak bisa?” tanya Oma Caliana heran.
“Ta-tapi pria di penthouse itu tidak sama dengan foto yang selama ini Oma tunjukkan pada Ilsya.” Gagap Ajeng lagi karena bingung. Oma Caliana turut mengangguki ucapan Ajeng.
“Tahun sudah lama berlalu sejak foto-foto itu diambil, Ajeng. Ilker muda dan bahkan Ilker di foto pernikahan itu jelas jauh berbeda dengan llker yang sekarang. Entah fisiknya, entah karakternya. Sejujurnya, kami juga tidak yakin kalau kami masih mengenalinya. Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk mengubah sosok seseorang. Itu juga terjadi pada putra Oma, Ajeng.” Ucap Oma Caliana lagi dengan sedih.
Ajeng memandang wanita itu dengan dengan perasaan tak kalah sedihnya. Bukan sedih karena ia sudah menghakimi Ilker yang lama yang telah meninggalkan Ilsya. Bukan juga karena telah menilai Ilker yang baru dari sudut pandangnya. Tapi karena sedih atas perbuatan pria itu yang sudah membuat orang-orang sedih di sekelilingnya, dan merasa sedih untuk pria itu sendiri. karena seperti yang Ajeng beritahukan pada wanita paruh baya di depannya tadi. Ada kesedihan pula di mata pria itu yang Ajeng lihat. Meskipun Ajeng tidak tahu untuk apa dan kenapa.
“Bantulah Ilsya mengenal kembali ayahnya. Dan bantulah Ilker untuk bisa mengenal putrinya. Bukannya Oma tidak bisa melakukannya, tapi Oma takut kalau Oma tidak setegas dan sekuat kamu. Oma tidak mengenali sosoknya yang sekarang dan hal itu hanya akan membuat Oma membayangkan, membandingkan dan meminta dia untuk menjadi dirinya yang lama.
Sementara kau tidak tahu siapa dirinya yang dulu, sehingga kau bisa membantunya tanpa menuntutnya untuk menjadi dirinya yang lama. Oma meminta bantuan ini karena Oma tahu kamu mampu.” Ucap wanita itu dengan yakin. “Lakukanlah ini untuk Ilsya, kamu tahu betapa inginnya dia mengenal Ilker. Dia harus mengenal dan dekat dengan ayahnya. Karena setelah kami tiada, hanya Ilker tempatnya untuk belajar dan mengadu. Tapi itu tidak mudah jika Ilsya melakukannya tanpa bantuanmu. Karena seperti yang kau lihat, karakter Ilker yang sekarang, tentunya hanya akan membuat Ilsya takut. Dan karakter Ilker yang sekarang...” Oma Caliana menggantung kalimatnya dan kembali menggelengkan tangannya.
“Sulit didekati.” Ajeng melanjutkan ucapan wanita itu yang dijawab dengan anggukkan pelannya.