Bab 3

1677 Kata
Lara, gadis cantik berusia sembilan belas tahun yang baru saja lulus sekolah menengah atas itu akhirnya duduk di antrian terakhir dokter kandungan. Setelah Mbaknya membujuknya berkali-kali, akhirnya di sinilah ia berada. Ia harus memeriksakan keadaan rahimnya. Mbaknya sangat khawatir ada sesuatu yang bersarang di dalam sana sebab setiap mengalami mestruasi perutnya akan sakit bukan main. Ia bahkan pernah pingsan di sekolah karena kontraksi yang begitu kuat. Darah yang ia keluarkan kadang tidak wajar seperti yang seharusnya. Sambil harap-harap cemas menunggu gilirannya dipanggil, ia membalas pesan dari Marsya. [Ra, besok ke sekolah cap jari gue jemput, ya. Gue udah kangen banget sama lo.] [Nggak usah, Sya. Lo langsung aja ke sekolah. Kita ketemu di sana. Lo juga harus istirahat, ‘kan?] [Nggak, ih. Pokoknya besok gue jemput. Gue udah kebelet kangen sama lo. Gila aja, dari kejadian di club sama apartemen, kita belum ketemu, A n jay. Udah dua minggu, gilaa! Gue sekarang udah di bandara. Bentar lagi sampe rumah kok. Janji gue istirahat.] Lara hanya menghela napasnya pelan. Sahabatnya itu pasti akan tetap menjemputnya walau ia sudah menolak. Sejak kejadian itu, mereka memang belum bertemu karena Marsya harus bertolak ke luar negeri untuk mencari universitas yang akan ia tuju untuk melanjutkan jenjang pendidikan. [Ya udah, terserah lo aja, Sya. Hati-hati di jalan, ya. Jangan scroll T i k t o k terus. Inget, lo harus istirahat sampe rumah.] [Iyaaaa! Yaudah, gue jalan dulu, Ra. Udah dijemput sama Papa. Daa daaa.] [Daaa.] Lara kembali menghela napas, menyimpan ponselnya kembali ke dalam tas selempangnya. Jujur saja, kadang ia iri terhadap Marsya yang memiliki kehidupan sempurna. Bukan tidak bersyukur akan kehidupannya saat ini. Tapi, melihat bagaimana sahabatnya itu memiliki keluarga utuh dan bahagia membuatnya kadang berpikir, bagaimana rasanya berada di posisi itu. Bagaimana rasanya memiliki keluarga yang utuh dan penuh dengan kasih sayang. Ia bahkan sangat penasaran bagaimana rasanya disayang oleh seorang ayah. Ia tidak pernah mendapatkan hal itu dari kecil. Ayahnya benar-benar bukan sosok ayah yang ia inginkan. Suka main tangan, pemarah, penjudi, bahkan hutangnya ada di mana-mana. Ia sampai pusing sendiri, memikirkan bagaimana kehidupannya yang terus menerus dikejar-kejar hutang pria yang seharusnya melindunginya itu, di saat ia juga harus memikirkan biaya pengobatan sang Mbak. Lama terdiam dalam lamunannya, sebuah suara yang menyebutkan namanya membuatnya tersadar. “Ibu Lara Ayudia Putri!” “Saya, Suster.” Bergegas gadis cantik itu berdiri dari kursi tunggunya dan melangkah menuju sang perawat. “Giliran saya, ya, Suster?” “Iya, Mbak Lara. Ayo, silahkan masuk.” Suster tersebut seketika mengubah panggilannya. Dari hasil anamnesa, gadis itu masih lajang dan berumur belia. Dengan langkah ragu-ragu, kaki Lara melangkah masuk melewati pintu. Yang pertama menyapa pandangannya adalah, ia bisa melihat seorang lelaki gagah berkacamata bening yang tengah duduk tegap di kursi praktiknya. Pria itu memakai masker yang menutupi setengah wajahnya, seperti dirinya yang kini menggunakan masker yang juga menutupi setengah wajahnya. “Silahkan duduk, Mbak Lara?” Suara suster perempuan berhijab tadi kembali menuntunnya untuk duduk. Lara pun melanjutkan langkahnya untuk masuk lebih dalam dan duduk di kursi pasien, berhadapan langsung dengan lelaki itu. Entah bagaimana, rasanya ia sangat familier dengan tatapan itu. Matanya, mata abu-abu tajam itu. Entah bagaimana mengingatkannya pada sosok pria yang … telah menidurinya saat itu. Mendadak saja jantungnya berdebar dengan kencang. Perasaannya campur aduk tidak karuan. “Sudah berapa lama mengalami keluhan seperti ini, Nona Lara?” Lara langsung memejamkan matanya erat-erat. Pikirannya tidak bisa fokus. Suara itu, suara berat itu. Wajah cantiknya seketika pucat pasi. Titik-titik keringan mulai muncul membasahi dahinya. “Mbak Lara …,” panggil perawat perempuan tadi. Mata Lara seketika terbuka, menoleh pada perempuan yang berdiri di sampingnya. “M-maaf, Suster. Saya grogi. Baru pertama saya ke dokter kandungan.” “Oke, nggak apa-apa. Rileks aja, Mbak.” “I-iya, Suster.” Lara kembali memfokuskan pikirannya. Tapi, setiap melihat tatapannya itu, ia kembali bergidik. Suster tersebut sampai cemas sendiri. Pasalnya, dokter yang ia layani saat ini adalah dokter yang terkenal tidak banyak bicara dan biasa menangani pasiennya dengan cara yang tegas dan berbeda. Bahkan dalam advice-nya, ia jarang menggunakan bahasa yang ramah tamah. “Tolong keluar, Sus. Mungkin pasien kita memiliki hal pribadi yang tidak bisa disampaikan.” “Baik, Dokter.” Asisten dokter tersebut lantas keluar dari ruang periksa, meninggalkan dokter dan pasiennya hanya berdua saja. Tanpa banyak bicara, pria tersebut menyodorkan botol air mineral kecil ke hadapan Lara. “Silahkan minum. Minum air putih bisa meredakan stress. Mungkin itu akan membantu.” “Tidak usah, Dokter. Terima kasih. Saya—” “Tidak usah sungkan. Kita tidak bisa melanjutkan pemeriksaan kalau saya tidak mendapatkan informasi yang lengkap dari pasien.” Mau tidak mau, Lara kemudian meraih botol mineral itu dan membuka penutupnya. “Terima kasih, Dokter.” Lara kemudian melepaskan satu tali maskernya dari sebelah telinganya, membiarkan benda itu menggantung begitu saja di sisi wajahnya. Sambil memiringkan tubuhnya sedikit, gadis cantik itu meneguk air mineral tersebut sampai setengah. Ia langsung mengangkat kepalanya, tersenyum ke arah dokter yang entah kenapa menatapnya intens. “S-sekali lagi, terima kasih, Dokter.” Lelaki itu terdiam. Sekelebat bayangan dua minggu lalu kemudian berkelebat dalam kepalanya. Wajah itu, mata bulat jernih yang menatap nanar kala itu, juga suara lembutnya yang masih terngiang. Gadis ini, gadis yang menyerahkan keperawanannya pada dirinya. Yang menjualnya demi uang, tapi bahkan tidak mengambil sepeser pun bayarannya. Lara Ayudia Putri. Gadis tanpa nama yang pergi begitu saja darinya itu kini ada di hadapannya. Tepat di depan matanya. Menerima kejutan ini, entah kenapa tenggorokannya terasa kering. Ada desir aneh dari dalam dadanya. Sungguh, ia masih bisa merasakan manis bibir gadis itu yang tertinggal di bibirnya. Ia bahkan masih bisa merasakan bagaimana lembut tubuh polos perempuan itu saat menyatu dengan tubuhnya. Begitu indah, begitu ranum, begitu sulit saat ia memasukinya untuk pertama kali. Perempuan ini benar-benar mendistraksinya, mampu mempengaruhi pikirannya selama dua minggu belakangan ini. “Dokter ….” Lamunannya terhenti, kembali pada perempuan di depannya itu. “Maaf.” “Keluhan saya itu kurang enak badan, Dok. Setiap mau haid itu pasti sakit banget perut saya. Kram, mules. Nggak nyaman, Dok.” “Sudah berapa lama merasakan keluhan seperti ini?” “Dari umur dua belas tahun sih, Dok. Sejak pertama kali dapet mens.” Lara entah kenapa ada yang tidak nyaman saat ia akan menyampaikan keluhannya ini. “Sebenernya saya udah telat mens, Dok. Biasanya teratur 28 hari. Tapi ini udah 30 hari belum dateng juga.” Jemari yang sedari menekuri komputer untuk menuangkan keluhan pasien pada rekam medis online tersebut seketika berhenti bergerak. “Kapan haid terakhirnya?” “Tanggal 15 Mei 2025, Dokter.” Otak lelaki itu langsung bekerja untuk menentukan sesuatu. Ada perasaan yang mengusik dadanya. Mereka melakukan hubungan pada saat tanggal 30 Mei, itu artinya, jika wanita ini memiliki sel telur yang matang, bisa saja …. Tidak ingin menduga, pria itu langsung bertanya hal lebih lanjut. “Punya pasangan?” “M-maksudnya, Dok?” “Kalau belum menikah, mungkin pacar.” Lara langsung menggeleng. Rasanya pertanyaan itu tidak ada hubungannya dengan sakit yang dialaminya saat ini. “N-nggak ada, Dok.” “Kamu yakin tidak berhubungan dengan laki-laki beberapa minggu terakhir ini?” Perut Lara seperti ditinju sebuah tangan besar. Pertanyaan dokter yang sedang menanganinya itu semakin tidak ia mengerti. Tapi … ia mulai bisa menerka sesuatu. “B-berhubungan?” “S e k s.” Deg! Lara lantas menunduk. Ia mulai gelisah. Tangannya mencengkeram pinggiran kemeja yang ia kenakan. “N-nggak ada, Dok.” “Dalam medis, seorang pasien tidak bisa memberikan keterangan palsu. Sebab apapun informasi yang tenaga medis terima, akan dianalisa dengan keluhan pasien.” Lara menggigit bibirnya. Entah bagaimana ia bisa merasakan sikap lelaki itu berubah sinis. “A-ada, Dokter. Tapi, semua itu terjadi tidak sengaja. Saya—” “Tidak perlu dijelaskan. Udah tes sebelumnya?” “T-tes, Dok?” “Test pack.” Deg! Kepala gadis itu seperti dipukul oleh palu godam yang begitu besar. Perasaan pusing itu kembali menekannya. “Belum.” Lelaki itu kemudian meninggalkan komputer yang sedari tadi ia tekuri. Beranjak dari kursinya lalu berjalan menuju alat USG yang ada di sudut ruangan. “Silakan berbaring.” Jantung Lara seketika terasa sakit. Untuk bernapas pun rasanya ia kesulitan. Dengan perasaan ragu, gadis itu kemudian beranjak dari tempat duduknya dan duduk di pinggiran tempat tidur. “A-apa perlu USG, Dokter? Apa nggak bisa dikasih obat aja? Obat pelacar haid dan pereda nyeri misalnya.” “Saya bukan dukun yang bisa tahu penyakit orang tanpa pemeriksaan. Obat juga akan diberikan jika saya sudah yakin dengan apa yang saya periksa.” Mau tidak mau, Lara kemudian berbaring di atas ranjang yang terasa dingin itu. Bawah kemeja yang ia kenakan disibak setelah dokter itu setelah meminta izin, menampakkan sedikit bagian perutnya yang terbuka. Cekatan tangan dokter pria tersebut meneteskan sedikit gel, yang berfungsi sebagai pengantar gelombang untuk menghasilkan sebuah visualisasi di layar monitor. Ketika probe USG itu diletakkan di atas perutnya, jantung Lara seolah berhenti. Ia ketakutan. Kelebat air mata ibunya seketika membayang. Bagaimana kalau ia benar-benar … hamil? Tidak siap dengan hasil pemeriksaan, tangannya segera menepis alat yang masih berada di atas perutnya itu dan duduk. “D-dok. Maaf. Saya tidak jadi periksa. Lain kali aja. Saya—” “Kenapa?” Pria itu meletakkan alatnya ke tempat semula. Lara mulai berdiri, melangkah terburu-buru menuju tempat duduk untuk mengambil tas selempangnya. “N-nggak ada, Dok. Saya mau pulang. Saya— “Takut?” Langkah Lara terhenti sejenak. Ia menatap lelaki yang kini sudah berdiri di hadapannya itu. Entah kenapa, ada rasa marah dalam hatinya saat ditekan seperti itu. “Bukan urusan Dokter.” Dengan tidak sabar, Lara kembali melangkah. Pergi dengan terburu-buru melewati lelaki itu. Tapi, belum sampai ia mencapai pintu, pergelangan tangannya terasa digenggam, disentak hingga tubuhya menubruk tubuh keras sang dokter. “Kamu harus memastikannya, Lara ….” Jantung Lara mencelos, seolah lepas ke dasar perutnya. Cara lelaki itu menyebut namanya, cara lelaki itu manatap matanya. Entah kenapa semakin membuatnya tidak mengerti. “Saya juga harus memastikannya.” Tidak lama setelahnya, masker yang dikenakan oleh lelaki itu dibuka, menampilkan sosok yang beberapa minggu lalu menidurinya. Deg! Deg! Deg! “K-kamu ….” **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN