Bab 1
“Roy! Carikan saya perempuan! Perempuan yang masih bersih! Bawa ke apartemen saya sekarang juga!”
Lelaki yang sedang mengendarai mobil itu gelisah bukan main. Seluruh tubuhnya panas. Ada sesuatu yang salah di dalam sana.
Setelah pertemuan bisnis yang diadakan di salah satu club beberapa waktu lalu, perasaan tidak nyaman lantas menyerangnya.
Ia yakin karena minuman yang diberikan padanya tadi. Minuman tanpa soda yang harusnya aman untuknya, tapi kini malah berakhir membuatnya menderita.
Dia adalah Niko Van Gerhard, pria tampan berwajah blasteran dengan segala kesempurnaannya, yang juga adalah salah satu dokter spesialis dan juga pewaris salah satu holding company terkemuka.
Banyak mata yang mengincar dirinya, mendekatinya, ingin memanfaatkannya, menjalin hubungan kerjasama dengannya, dan bahkan sampai ingin menjatuhkannya.
Dan kali ini, ia yakin ia bertemu dengan jenis orang terakhir—seseorang yang berniat menghancurkannya, berusaha merusak citranya yang selama ini dikenal berwibawa, dingin, dan tidak tersentuh.
“Apa ada masalah, Tuan?”
“Brengsk! Ada yang berusaha menjebak saya. Cukup lakukan perintah saya, Roy. Lakukan dengan cepat!”
“Baik, Tuan.”
***
Beberapa jam sebelumnya.
X CLUB
“Itu target lo, Jo. Cewek cantik yang duduk di sebelah Marsya. Kasih minuman ini ke dia. Setelah itu tugas lo alihin perhatian Marsya. Cewek yang lo kasih minuman itu, nanti jadi urusan gue.”
Lelaki yang sedang menggenggam gelas dalam tangannya itu mengernyit. “Kenapa lo ngebet banget sama itu cewek? Emang kenapa? Kenapa nggak Marsya aja yang jadi inceran lo?”
“Gue penasaran sama dia. Namanya Lara. Susah banget dideketin. Lo tau, dia kayak liat kuman kalau liat gue. Selalu ngejauh kalau gue samperin. Pokoknya, gue mau buktiin kalau dia itu aslinya sama aja kayak cewek-cewek gampangan lainnya.”
“So, apa rencana lo, Bro?”
“Malem ini, dia harus jadi milik gue. Gue bakal bikin dia teriak nyebut nama gue, Jo. Harus! Rasa penasaran gue udah bener-bener nggak bisa ditahan. Lo liat ‘kan, dia cantik banget, gue pastiin itu cewek ngedesah-desah di bawah gue.”
“Well. Bayaran gue?”
Lelaki bernama Rigo itu lantas mengeluarkan ponsel dari dalam saku hoodienya. Menekuri benda itu beberapa saat sebelum menyodorkannya pada sang sahabat. “Lima puluh juta udah gue kirim ke rekening lo.”
“Wow! Langsung gue kerjain. Lo cukup tunggu di sini, liatin gue kerja.”
“Jangan lupa, setelah lo kasih minuman itu, lo harus alihin Marsya. Buat dia ngejauh dari Lara. Kerja itu obat cepet banget, itungan menit, jadi kita harus efektif.”
“Sepp! Aman, Boss!”
Yogi—orang suruhan Rigo itu langsung beranjak dari tempat duduknya. Melangkah santai menghampiri kerumunan Marsya dan para sahabatnya.
“Sya, udah malem banget. Kita harus pulang.”
“Yaelah, Ra. Santai dulu. Baru jam 12 juga. Lagian kan gue udah kasih duit buat bokap lo biar nggak ribet. Lo nginep di rumah gue hari ini pokoknya. Mama lo kan ada Lyra. Gantian dia yang jagain. Sesekali lo santai-santai, Ra.
Jangan sibuk terus. Kasih waktu buat diri lo seneng-seneng. Sekali seumur hidup kita ngerayain kelulusan sekolah kayak gini. Habis ini kita pasti bakal sibuk sama dunia masing-masing. Cari universitas impian masing-masing. Apalagi kalau lo udah beneran keterima di univ inceran lo. Pasti lo juga bakal sibuk banget sama belajar.”
Gadis bernama Lara itu hanya mendesahkan napasnya pelan. Andai, andaikan saja yang dikatakan sahabatnya itu terjadi. Di mana ia bisa mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Di mana ia bisa menuntuk cita-citanya setelah ini.
Tapi nyatanya tidak. Fakta berbenturan dengan keadaannya. Ia harus mengubur dalam-dalam keinginannya untuk melanjutkan pendidikan karena harus menghidupi keluarganya. Ia harus menjadi tulang punggung dan segera mencari pekerjaan. Adik dan ibunya butuh biaya. Belum lagi sang ayah yang suka menyiksanya jika tidak diberikan uang.
“Ya udah, terserah lo.”
“Nah, gitu dong.”
Marsya kembali mengobrol dengan beberapa temannya, tidak lama gadis itu pergi dari tempat duduknya setelah berpamitan pada Lara. Sedangkan Lara sendiri, ia sibuk menekuri ponselnya dan mengirim pesan pada sang adik dan bertanya tentang kondisi sang ibu.
Tidak lama berselang, ada seorang pria lelaki yang menghampirinya, duduk di sudut sofa yang saling bersisian dengannya.
“Hai ….”
Lara yang merasa bingung dan tidak kenal dengan lawan bicaranya itu langsung menunjuk pada dirinya sendiri. “A-aku?”
“Ya, kamu. Kenalin, gue Yogi.”
Lelaki itu mengulurkan tangannya, menawarkan jabatan tangan. Lara bergeming, sedikit ragu. Ada rasa takut dalam dirinya. Apalagi ia tidak pernah pergi ke tempat yang seperti ini.
“Gue bukan orang jahat. Cuma pengen kenalan. Lagian gue juga kenal sama Marsya. Gue liat dia lagi pergi?”
“O-oh … maaf.” Lara langsung membalas jabatan tangan pria itu. “Lara. Maaf, ya.”
“It’s oke. Marsya ke mana?”
"Ke toilet. Sebentar lagi juga balik, Kak.”
Kepala pria bernama Yogi itu mengangguk-angguk. Ia melihat ke sekeliling meja Laura. Tidak ada minuman tampak tersaji di depannya. Gadis itu hanya memeluk botol air mineral di atas pangkuannya.
“Lo nggak pesen minuman, Ra?”
“Oh, nggak. Aku nggak biasa minum, Kak.”
“Oh, kebetulan. Lo mau jus jeruk? Lambung gue lagi nggak enak. Sayang banget kalau harus dibuang. Belum gue minum kok.”
Lara menimbang sejenak.
Tapi saat Yogi menyodorkan gelas itu padanya, Lara tidak bisa menolaknya.
“Nggak apa-apa buat aku?”
“Nggak apa-apa. Ambil aja.”
Lara kemudian mengambil alih gelas itu dari Yogi.
Kebetulan sekali, ia sangat menyukai jus jeruk.
“Aku minum ya, Kak.”
“Silahkan, Ra.”
Lara pun menyesap jus jeruk itu dari selang pipet sampai setengah. Yogi menyeringai, kepalanya menoleh ke arah Rigo yang saat ini mengacungkan dua jempol ke arahnya.
Dan benar saja yang dikatakan oleh Rigo, obat itu bereaksi sangat cepat.
Ia melihat Lara mulai gelisah. Terus menggigit bibir bawahnya sambil mengipasi tubuhnya dengan telapak tangannya.
“Kamu kenapa, Ra?”
Lara menggeleng. “Nggak tau, Kak. Rasanya nggak nyaman banget. Panas banget badan aku. Kepala juga pusing.”
Yogi lantas mengulurkan tangannya tuk menyentuh lengan Lara dan mengusapnya pelan.
Bulu kuduknya langsung merinding. Ia langsung menepis tangan Yogi dari sana.
“Sorry, gue cuma mau mastiin lo baik-baik aja, Ra.”
“A-aku. Aku kayaknya harus ke toilet dulu, Kak.”
Lara langsung beranjak dari tempat duduknya. Berjalan cepat ke arah toilet.
Rigo yang melihat Lara bergerak pergi langsung berinisiatif menyusulnya.
Ia melewati Yogi dan menepuk pundaknya sambil berkata. “Kerja bagus, Gi. Bayaran lo bakal gue tambah kalau gue berhasil nidurin dia.”
“Sep bos! Sukses!”
Tidak perlu repot mengalihkan perhatian Marsya sebab gadis itu belum juga muncul sampai sekarang.
Tanpa diduga, Lara malah bertabrakan dengan sahabatnya itu di lorong toilet.
“Ra, kita pulang sekarang! Brengsk banget! Gue liat Vano cheating sama Mila di toilet. Gila mereka berdua! Pengkhianat!”
Tanpa diduga Marsya malah memergoki pacarnya tengah berselingkuh dengan teman sekelasnya sendiri. Tapi perhatiannya malah fokus pada Lara yang tampak gelisah. Kemarahan dalam dadanya malah menguap entah ke mana dan berganti khawatir.
“Lo kenapa, Ra? Are you okay?”
Lara menggeleng. “Gue nggak tahu, Sya. Kepala gue pusing banget. Panas bnaget rasanya.”
Marsya langsung membawa punggung tangannya ke kening Lara. “Normal. Tapi keringet lo banyak banget, Ra.”
Sejenak Marsya berpikir. Matanya langsung membelalak oleh pikirannya sendiri. “Lo ada nerima makanan atau minuman dari orang asing nggak?”
Tanpa berpikir Lara langsung mengangguk.
Marsya jelas langsung tahu apa yang sedang terjadi pada sahabatnya itu. “Ya ampun, Lara. Lo ceroboh banget. Harusnya lo nggak nerima apapun dari orang asing. Bahaya, Ra. Kalau ada yang niat jahat sama lo gimana? Baru gue tinggal sebentar aja udah kayak gini.”
“Dia bilang kenal sama lo, Sya.”
“Udah, nanti aja kita bahas. Kita nggak bisa di sini lama-lama. Kita pulang ke apartemen daddy, kejauhan kalau ke rumah. Gue telp daddy dulu.”
Sambil melingkupi tubuh Lara dengan satu tangannya, Marsya merogoh saku celananya dan menekuri ponselnya. Ia menekan tombol panggil dengan nama Daddy di sana.
“Halo, Dad. Daddy pulang ke apartemen nggak? Marsya mau pake rencananya.”
“Nggak. Daddy pulang ke rumah eyang kamu rencananya.”
“Oke. Marsya mau ke apartemen.”
“Hati-hati.”
Setelah menutup telepon, Marsya menyimpan ponselnya lalu kembali fokus pada Lara. “Ayo, Ra. Kita ke mobil.”
“Iya.”
Lara berusaha keras menggenggam kesadarannya. Tapi kepalanya semakin berkunang-kunang.
Dua perempuan muda itu kahirnya berjalan melewati kerumunan orang setelah tanpa sadar ada seorang pria yang mengumpat berkali-kali sebab tidak berhasil mengjangkai Lara.
“Liat aja, Ra. Mungkin nggak hari ini, tapi secepatnya gue bakal dapetin lo.”
Ya, lelaki itu adalah Rigo. Langkahnya kalah lambat menyusul Lara sebab gadis itu malah bertemu dengan Marsya yang jelas berpengalaman menerka situasi.
Akhirnya ia hanya bisa melihat Lara dibawa pergi oleh sahabatnya, dan menghilang dari balik pintu masuk.
“Pelan-pelan, Ra.”
Marsya membantu Lara masuk ke dalam mobil. Melindungi kepala sahabatnya itu dengan telapak tangannya agar kepalanya tidak terbentur.
“Thanks, Sya. Sorry banget.”
“Nggak apa-apa. Gue bakal cari tahu siapa yang berani ngerjain lo.”
Lara tidak menanggapi lagi ucapan Marsya sebab kepalanya semakin terasa melayang.
Mobil yang dikemudikan Marsya tersebut langsung melesat meninggalkan area parkir. Sepanjang perjalanan, ia bisa melihat Lara yang menggeliat tidak tenang.
Merasa ada yang tidak beres, ia menghubungi teman-temannya untuk mencaritahu melalui via telepon. Juga kenalannya yang tidak lain adalah pemilik club tempat ia tadi dan Lara merayakan kelulusannya.
Sesampainya di area apartemen, susah payah Marsya membawa Lara ke unit milik pria yang tidak lain adalah daddynya.
"Ra. Lo istirahat di sini. Ini kamar Daddy, kamar gue AC-nya rusak. Lo tenang aja, gue udah make sure Daddy nggak pulang ke sini hari ini."
“Iya, Sya.”
Marsya membantu Lara untuk berbaring dan menyelimuti tubuh gadis itu.
Tidak lama setelahnya, terdengar notifikasi pesan ponselnya yang berbunyi. Secepat kilat ia membuka ruang chatnya.
Isi pesan itu entah bagaimana membuat Marsya panik bukan main.
“Ra, ada yang harus gue urus. Sebentar aja, nanti gue balik lagi. Genting banget.”
Lara yang setengah sadar hanya mengerang dan mengangguk. Membiarkan sang sahabat pergi dan keluar dari kamar yang sekarang ia tempati setelah mendapat persetujuannya.
"Eughh, panas banget ...."
Tubuh Lara semakin tidak karu-karuan, ia kesakitan sebab ada desakan dalam dirinya yang entah bagaimana minta dilepaskan. Tidak bisa menahan gejolak dalam tubuhnya, Lara akhirnya menyibak selimut dan menapaki lantai untuk melucuti semua pakaiannya.
Ketika tidak satu helai benangpun menutupi tubuhnya tiba-tiba—
"Akhhh!"
Seorang pria dewasa tiba-tiba menerjangnya dan menekan tubuh polosnya di atas tempat tidur.
"Kamu--gadis yang dikirim Roy?"
Lara gelisah tapi otaknya terlalu tumpul untuk bekerja. Ia fokus pada sentuhan tangan lelaki itu yang membuatnya semakin terbakar.
"O-Om, S-Saya--Akh!"
Entah bagaimana ... Lara terlibat dengan seorang pria dewasa yang ia tahu notabene adalah adik dari ibu sahabatnya, yang biasa sahabatnya itu sebut dengan panggilan Daddy.
Begitu saja semuanya terjadi. Kesalahan besar yang pasti nanti akan mereka berdua sesali.
"Kamu masih perawan?" tanya suara berat itu usai melihat bercak warna merah pupus di seprai putih yang tidak karuan lagi bentuknya.
Lara hanya bisa terisak. Menitikan air mata di antara sadar dan tidak sadarnya. Tengah pangkal pahanya sakit luar biasa. Pedih. Ia bahkan tidak tahu dengan apa yang ia lakukan saat ini. Yang ia tahu hanyalah, ia harus menuntaskan apapun yang mendesaknya saat ini untuk mengakhiri penderitaannya.
“Damn it!” Niko menggeram. Ia mengumpati asisten kepercayaannya dalam hati. “Aku meminta Roy mencarikan wanita yang bersih, bukan perawan sepertimu. Kamu, jangan menuntutku nanti!”
“S-saya. Om Saya bukan—”
“Persetan, kamu sendiri yang datang padaku. Mari kita selesaikan ini, dan kamu akan dapat bayaranmu.”