Devan menunggu beberapa menit sampai yakin Rhea benar-benar sudah masuk ke unit apartemennya. Ia baru berani bergerak, menuruni tangga darurat dengan langkah terburu-buru. Nafasnya terengah, bukan karena lelah, melainkan karena emosi yang membakar da-da. Begitu sampai di basement, ia langsung menyeberang menuju mobilnya. Namun sial, langkahnya yang cepat itu justru menarik perhatian seseorang. Arvin baru saja keluar dari lift, hendak menuju ke mobilnya sendiri. Dari kejauhan, matanya menangkap sosok tinggi tegap yang bergegas menuju mobil hitam. Sekilas saja, Arvin langsung merasa ada sesuatu yang tidak beres. Wajah itu…siluet itu… “Itu… seperti Devan? Apa benar dia?” gumamnya sambil mempersempit jarak. Devan, yang menyadari tatapan itu, langsung panik. Ia tak menyangka Arvin masih ber

