Rhea melangkah masuk ke apartemen dengan langkah gontai, tubuhnya masih limbung, seakan seluruh tenaga terkuras habis. Setelah menutup pintu, ia hampir terjatuh, namun memaksa kakinya terus bergerak hingga tiba di kamarnya. Begitu tubuhnya menyentuh ranjang, ia langsung terduduk di tepi, memeluk dirinya sendiri erat-erat, seperti ingin menahan serpihan hati yang terasa berserakan. “Devan…,” bisiknya lirih. Nama itu keluar berulang kali, semakin pelan namun sarat dengan kerinduan yang menyiksa. Air matanya mulai membasahi pipi, deras, tanpa mampu ia bendung. Aroma tubuh pria itu masih melekat pada kulitnya, begitu nyata seakan Devan masih ada di sampingnya. Kehangatan pelukan semalam, sentuhan, bahkan desahan rindu itu masih membekas begitu kuat, menusuk hingga ke relung jiwanya. Namun

