Eps. 2 Jejak Kecurigaan

1049 Kata
Rhea mengernyit pelan. Kalimat Devan yang menggantung itu membuat pikirannya berputar lebih cepat dari biasanya. Ia membaca ekspresi suaminya, menakar nada bicaranya, dan mencoba menekan dorongan untuk menginterogasi. Tapi hatinya menolak tenang. Apakah salah jika ia mulai curiga? Seorang istri—apalagi pengacara perceraian—punya naluri yang terlalu terlatih untuk mengabaikan bahasa tubuh suaminya sendiri. Devan akhirnya kembali berbicara, suaranya lebih pelan, sedikit terbata. “Tadi waktu mau pulang, aku diajak rekan-rekan untuk mampir sebentar. Katanya ada urusan makan malam ringan sekalian bahas peluang proyek baru. Aku pikir…ya, kenapa tidak? Kupikir tak akan lama.” Devan menghela napas. “Tapi ternyata, obrolannya molor. Saling lempar cerita, lalu ada yang datang belakangan. Aku...nggak nyangka jadi selama ini.” Devan menatap Rhea dengan mata yang tampak ingin diyakini. “Bukan karena aku menyembunyikan apa-apa.” Rhea menatap dalam ke mata Devan, mencari isyarat yang terselip di antara kedipan, jeda napas, atau gerakan kecil yang tak biasa. Ia tahu, jika seseorang menyembunyikan sesuatu, maka matanya akan berbicara lebih jujur daripada bibirnya. Dan benar saja—ada jeda sepersekian detik saat Devan mengedip, lalu mengalihkan pandangan dengan cepat, seolah tak sanggup menahan sorotan tajam dari istrinya. Ia berdiri tiba-tiba. “Kamu masak, ya?” ucapnya cepat, seperti orang yang ingin memindahkan topik secara halus. Tanpa menunggu jawaban, Devan berjalan menuju meja makan, membuka tudung saji, dan mengambil piring. Ia menyendok salmon dan asparagus yang sudah dingin, lalu duduk kembali sambil mulai makan. “Masih enak kok, walau udah nggak hangat,” katanya, tersenyum tipis. Tapi senyum itu terlihat mengambang. Dan Rhea tahu, suaminya sedang berusaha mengalihkan sesuatu. Sesuatu yang belum ia ungkap. Sesuatu yang masih tersembunyi. Rhea menyandarkan punggungnya perlahan ke kursi, matanya tetap tertuju pada Devan yang kini sibuk menyendok salmon dingin ke dalam mulutnya. Diam-diam, pikirannya kembali memutar kalimat yang baru saja dilontarkan Devan. “Tadi waktu mau pulang, aku diajak rekan-rekan untuk mampir sebentar…makan malam ringan…” Mata Rhea menyipit sedikit. Makan malam? Kalau memang benar Devan sudah makan bersama rekan-rekannya, kenapa sekarang terlihat begitu lapar hingga tak keberatan memakan makanan yang bahkan sudah dingin dan tak lagi wangi? “Tadi kamu makan bareng mereka, kan?” tanyanya pelan, namun intonasinya mengandung tanda tanya besar. Devan berhenti mengunyah sejenak. Ia menoleh ke arah Rhea, tampak terkejut oleh pertanyaan itu, atau mungkin oleh ketelitian Rhea yang tak pernah hilang, bahkan dalam keheningan seperti ini. “Iya…iya, tadi makan sih. Tapi sedikit aja. Nggak sempat benar-benar makan. Cuma nyicip-nyicip,” jawabnya cepat, agak tergesa. Rhea mengangguk pelan, tapi tidak benar-benar menerima jawaban itu. Dalam benaknya, tanda-tanda mulai merangkai diri seperti puzzle. Ada sesuatu yang tidak klop. Dan nalurinya mengatakan itu lebih dari sekadar rekan kerja dan makan malam biasa. Devan merasakan tatapan Rhea menelusuk seperti sorotan lampu pemeriksaan — tajam, tenang, tapi penuh kecurigaan yang menekan dadanya perlahan. Sendok di tangannya terasa berat, dan setiap suapan terasa hambar, padahal biasanya Rhea selalu memasak dengan penuh rasa. Ia menunduk, tak lagi berani menatap wajah istrinya terlalu lama. Keringat dingin mulai mengalir di pelipis meski udara malam terasa sejuk. “Aku habisin, ya, Sayang. Biar kamu nggak repot nyimpen,” ucapnya sekilas, terdengar terlalu cepat dan terlalu manis dalam suasana yang kaku. Devan mempercepat gerakannya. Sendok menyentuh piring dengan bunyi terburu-buru. Ia mengunyah tanpa menikmati. Bahkan ia hampir tersedak, tapi menahan agar tak tampak canggung. Ia ingin segera mengakhiri makan itu — bukan karena kenyang, tapi karena ingin meninggalkan ruang yang terlalu penuh dengan pertanyaan tak terucap. Begitu suapan terakhir masuk ke mulut, ia bangkit sambil menyeka bibir dengan tisu. Tangannya mengambil piring dan berjalan menuju wastafel. “Aku mandi dulu, ya. Capek banget hari ini.” Dan tanpa menunggu balasan dari Rhea, ia berlalu — seperti seseorang yang sedang melarikan diri dari kebenaran yang nyaris terbongkar. Rhea menatap piring kosong yang ditinggalkan Devan di atas meja. Noda saus lemon masih tersisa di sudutnya, dan bekas sendok yang tergores di permukaan piring terasa lebih berisik dari suara hujan di luar sana. Lalu matanya beralih pada punggung Devan yang menjauh cepat, tanpa menoleh sedikit pun. Lelaki itu menghilang di balik pintu kamar mandi, meninggalkan aroma sabun dan kebisuan yang makin menyesakkan. Rhea duduk membeku. Ada sesuatu yang menggelitik di hatinya—bukan kemarahan, tapi perasaan yang lebih gelap dan dingin—curiga. Bukan karena tidak percaya, tapi karena semua yang terjadi malam ini terasa tidak utuh. Jawaban Devan tergesa. Gerak tubuhnya gelisah. Dan alasan tentang makan malam yang tak masuk akal masih menggantung di benaknya. Ia menghela napas panjang, memejamkan mata sejenak. Semuanya terlihat baik-baik saja. Senyumnya samar, tapi tajam. Membawa pesan tanpa suara yang tak bisa Rhea abaikan. “Aku istrimu, Devan. Tapi kenapa aku merasa seperti orang luar di rumah ini?” Rasa itu belum hilang. Justru mulai tumbuh, menancap diam-diam di hatinya. Dan Rhea tahu, malam ini belum selesai. Mungkin…ini baru awal. Rhea melangkah masuk ke kamar dengan langkah pelan, seolah takut suara kakinya memecah sunyi yang masih menggantung di antara mereka. Lampu kamar sengaja tak dinyalakan sepenuhnya—hanya cahaya temaram dari sudut meja rias yang menyinari ruangan, menciptakan bayangan samar di dinding. Ia duduk di tepi ranjang, menunggu Devan keluar dari kamar mandi. Tapi detik demi detik berlalu, dan suara air masih terus mengalir dari dalam. Entah kenapa, rasa tak nyaman di dadanya semakin menguat, seperti ada sesuatu yang memanggilnya untuk tidak hanya duduk diam. Matanya mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Rapi. Teratur. Terlalu teratur. Lalu matanya tertumbuk pada jas kerja Devan yang tergantung di balik pintu lemari. Jas abu-abu gelap itu—yang dikenakan Devan pagi tadi—terlihat biasa saja, tapi entah mengapa kini memancing rasa ingin tahu yang sulit dijelaskan. Rhea berdiri perlahan, lalu melangkah mendekat. Ia mengangkat jas itu hati-hati, menyentuh kainnya, lalu merogoh ke dalam saku kanan. Kosong. Ia beralih ke saku kiri. Juga kosong. Tangannya sempat bergerak ke bagian dalam, menyusuri lapisan jas, tapi tetap—tak ada apa pun. Tak ada kertas, tak ada nota makan malam, tak ada sisa tanda pertemuan atau nama tempat yang bisa menjelaskan ke mana sebenarnya suaminya pergi. Rhea menghela napas pelan. Ia mengembuskan udara yang terasa berat, lalu menggantung kembali jas itu seperti semula. Tapi justru karena tak menemukan apa pun, rasa curiganya tidak mereda. Sebaliknya, semakin menguat. Karena pria secerdik Devan… tidak akan membiarkan jejaknya tertinggal begitu saja. Dan itulah yang paling menakutkan bagi Rhea.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN