Pintu kamar mandi terbuka bersamaan dengan gerakan Rhea yang buru-buru menggantung kembali jas Devan ke tempat semula. Gerakannya nyaris hening, tapi tidak cukup cepat untuk luput dari pandangan suaminya.
Devan berdiri di ambang pintu, mengenakan kaus hitam dan celana panjang santai, rambutnya masih basah, tetesan air jatuh dari ujung dagunya. Ia berhenti sejenak, menatap Rhea dengan sorot mata yang sulit dibaca—antara terkejut, waspada, dan menyembunyikan sesuatu.
Rhea segera melangkah ke arah ranjang dan duduk di tepi, membelakangi jas itu. Matanya lurus ke depan, mencoba terlihat biasa saja. Tapi napasnya sedikit tertahan, dan tangannya beradu di pangkuan.
Devan tidak langsung berkata apa-apa. Ia hanya berdiri di tempatnya, diam beberapa detik, sebelum akhirnya berjalan perlahan masuk.
Tapi pikirannya tidak tenang. Ia tahu ia melihat sesuatu barusan—cara Rhea memegang jasnya, ekspresi terburu-buru yang gagal disembunyikan.
Apa dia tahu? Apa dia curiga? Apa dia menemukan sesuatu?
Devan menarik napas dalam-dalam, mencoba meredam kegelisahan yang merayap pelan dari dadanya. Ia tahu ia harus tetap tenang. Tetap tenang di depan Rhea, apa pun yang sedang terjadi di benak istrinya itu.
Ia lalu duduk di sisi lain ranjang.
Tak terlalu dekat. Tapi tak juga terlalu jauh.
“Kamu udah tidur?” tanyanya ringan, seolah tak melihat apa-apa tadi. Suaranya tenang, terlalu tenang—dan mereka berdua tahu itu bukan karena ketenangan.
Rhea hanya menoleh sedikit dan menggeleng.
Tak ada kata, tapi semuanya terasa semakin jelas.
Malam ini terlalu penuh rahasia. Dan mereka berdua tahu… salah satunya akan segera pecah.
Suasana kamar terasa seperti ruang antara dua perang dingin—hening, namun sesak. Cahaya lampu redup dari meja rias hanya menyinari sebagian ruangan, menyisakan bayangan panjang yang menari di dinding. Udara di dalam kamar seolah lebih berat dari biasanya, menggantung seperti awan hujan yang belum juga pecah.
Di ranjang, Rhea duduk kaku, menatap lurus ke depan, tapi sorot matanya menyapu segala arah—waspada, tajam, siap menyergap setiap kebohongan yang mungkin lolos. Tubuhnya tampak tenang, tapi jemarinya saling mencengkeram erat di pangkuan, memberi isyarat bahwa pikirannya tidak sejalan dengan ekspresinya.
Sementara itu, Devan duduk di sisi lain ranjang, sedikit membungkuk, menatap lantai. Sesekali matanya mencuri pandang ke arah Rhea, mencoba membaca isi hati istrinya, tapi tak menemukan celah. Keringat dingin mengalir pelan di pelipisnya, bukan karena sisa mandi—melainkan karena tegang yang mulai menekan tengkuknya.
Tak ada percakapan.
Tak ada musik.
Hanya suara jarum jam di dinding yang terdengar berdetak lambat, satu-satu—seolah menandai waktu menuju ledakan yang tak terhindarkan.
Dua orang dalam satu kamar, namun terasa seperti dua dunia yang tidak lagi sejajar.
Keduanya duduk berdampingan, tapi jarak emosi di antara mereka terasa seperti jurang.
Dan yang paling menyakitkan adalah…diam yang terlalu keras.
Suara notifikasi ponsel tiba-tiba memecah keheningan seperti pecahan kaca di ruangan sunyi. Rhea sontak menoleh, sedikit terkejut, lalu meraih ponselnya dari meja samping ranjang.
Layar menyala, menampilkan nama yang tak asing — Aulia K, kliennya dalam kasus perceraian yang cukup pelik.
Rhea membuka pesannya cepat.
[Maaf Mbak Rhea, sidangnya tetap jam 10, tapi bisa kita ketemu lebih awal jam 8 pagi di ruang konsultasi? Ada beberapa dokumen yang ingin saya serahkan langsung.]
Rhea menatap pesan itu sejenak, lalu menoleh ke arah Devan yang masih diam di sisi ranjang. Ia tahu Devan mengamati gerak-geriknya, tapi tak lagi ingin mempertahankan obrolan kosong malam ini.
“Klienku majuin jadwal ketemu. Aku harus bangun lebih pagi,” ucap Rhea datar sambil mematikan layar ponselnya.
Tanpa menunggu tanggapan, ia bangkit pelan dan berjalan ke sisi tempat tidur, menarik selimut, lalu berbaring membelakangi Devan.
Tak ada “selamat malam.”
Tak ada cium kening seperti biasanya. Hanya punggung yang dingin dan sunyi, sebagai penutup malam yang penuh pertanyaan tanpa jawaban.
Di balik matanya yang terpejam, Rhea tahu...malam ini bukanlah akhir, hanya jeda sebelum badai benar-benar datang.
Rhea membaringkan tubuhnya perlahan, membelakangi Devan, lalu menutup matanya rapat-rapat. Tapi bukan untuk tidur. Ia hanya meminjamkan matanya pada keheningan, membiarkan dirinya tampak lelah di luar, padahal pikirannya masih bergerak tajam di dalam.
Jantungnya berdetak lambat tapi berat. Ada rasa asing menyelinap di da-da, campuran dari curiga, kecewa, dan harapan yang mencoba bertahan.
Gelagat Devan malam ini terlalu berbeda. Jawaban yang tergesa, alasan yang terasa dibuat-buat, dan tatapan mata yang menghindar terlalu sering. Rhea mencoba menepis semuanya, meyakinkan diri bahwa mungkin ia terlalu sensitif…tapi nalurinya berkata sebaliknya.
Beberapa menit kemudian, ia mendengar suara langkah pelan Devan.
Kasur sedikit bergoyang saat pria itu naik dan berbaring di sampingnya.
Pelan.
Hati-hati. Seolah tak ingin mengganggu.
Hening. Hanya suara napas.
Lalu lengan Devan bergerak perlahan dan melingkar di pinggang Rhea.
Pelukan itu hangat…seperti biasa. Tapi malam ini terasa berbeda.
Bukan kehangatan karena cinta, tapi seperti permintaan maaf yang tak terucap.
Devan memejamkan matanya, mencoba mengatur napas. Tapi tubuhnya terasa kaku, gugup, dan jantungnya berdebar lebih cepat dari normal. Ia memeluk Rhea lebih erat, seolah berharap bisa menyembunyikan sesuatu lewat pelukan itu.
Dan dalam diamnya, Rhea tahu…
ada sesuatu yang sedang Devan lindungi. Atau lebih buruk lagi—ada kebenaran yang sedang ia sembunyikan.
Namun malam ini, Rhea memilih untuk tidak bertanya. Karena kadang, ketenangan itu hanya bisa dibeli dengan pura-pura tidur.
Devan masih membuka matanya, menatap langit-langit kamar yang redup dalam cahaya temaram. Suara napas Rhea yang teratur di pelukannya membuatnya nyaris percaya bahwa istrinya benar-benar sudah tertidur. Tapi di balik ketenangan itu, ada rasa bersalah yang tak henti menekan dadanya.
Ia menatap punggung Rhea yang hangat di pelukannya, lalu menghela napas pelan. Dalam hatinya, ada satu kalimat yang terus bergema—"Maafkan aku."
Namun kata itu tak pernah lolos dari mulutnya. Karena ia tahu, jika ia benar-benar mengucapkannya,
itu akan membuka semua yang selama ini ia tutupi.
Devan menutup matanya sejenak, mencoba memeluk Rhea lebih erat.
Seolah dari pelukan itu ia bisa menyampaikan semua penyesalan yang tak bisa ia katakan.
Seolah ia bisa mempertahankan hubungan ini…tanpa harus kehilangan kepercayaan Rhea.
'Jangan berubah…tetap seperti dulu…' bisiknya dalam hati.
Ia berharap badai bisa berlalu sendiri. Ia berharap cinta Rhea cukup kuat untuk tetap tinggal… bahkan ketika ia tahu,
suaminya ternyata tak sejujur yang selama ini ia percaya.
Tapi di balik keheningan itu, Devan pun tahu—waktu sedang menghitung mundur.
Dan cepat atau lambat, semua akan terungkap.
“Kamu belum tidur?”tanya Devan kala Rhea membalik badan tiba-tiba.