Eps. 4 Selembar Foto

1054 Kata
Devan terkejut saat merasakan tubuh Rhea sedikit bergerak di pelukannya. Sekecil apa pun gerakan itu, cukup membuatnya tersentak dalam hati. Ia menegang sepersekian detik—berpikir, apakah dia benar-benar tertidur…atau sebenarnya hanya diam sejak tadi? Ia menatap punggung Rhea tanpa bergerak, mencoba menebak dari ritme napasnya. Masih tenang, masih teratur. Tapi sekarang Devan ragu—apakah itu napas orang tidur…atau orang yang sangat pandai berpura-pura? Namun ia tak ingin menampakkan kecemasannya. Ia memilih berpura-pura tidak tahu, seperti halnya ia berpura-pura tidak merasa bersalah. Ia menarik napas pelan, lalu membisikkan kata yang sudah menjadi kebiasaan setiap malam, walau kini terdengar seperti doa yang memohon agar semuanya tak berubah. “Sayang…tidur yang nyenyak, ya.” Suara itu lembut, hangat. Tapi bagi Devan, kata itu kini membawa beban. Karena ia tahu, di dalam pelukannya bukan hanya ada istrinya… tapi juga kebenaran yang belum sempat ia jujur. Dan ia takut, bila Rhea benar-benar mendengarnya malam ini, maka besok pagi… segalanya tak akan pernah sama lagi. Dalam diam yang menggantung, Devan membungkuk sedikit, mendekat ke telinga Rhea yang masih dalam pelukannya. Jarak yang sangat dekat, cukup untuk membisikkan kata yang hanya bisa terdengar olehnya—dan oleh hati yang mungkin masih terjaga. “Aku cinta kamu, Rhea…” Bisikan itu keluar lirih, nyaris serak. Ada ketulusan, tapi juga ketakutan yang diselipkan di antara jeda katanya. Seperti seseorang yang mencintai, tapi tak bisa sepenuhnya jujur tentang caranya mencintai. Rhea mendengarnya. Tidak dengan telinga, tapi dengan hati. Ada kehangatan mengalir pelan di balik dadanya. Kata cinta itu merayap menembus keraguan yang sempat membekas sejak malam dimulai. Mungkin ia terlalu curiga. Mungkin, Devan memang hanya lelah. Dan mungkin, tidak semua kebisuan harus ditafsirkan sebagai pengkhianatan. Pelan, ia membiarkan matanya terpejam sepenuhnya. Hatinya melunak, pikirannya menyerah pada kantuk yang akhirnya menang. Ia pun benar-benar tertidur. Dan di sisi lain, Devan masih memeluknya diam-diam… menatap langit-langit yang tetap gelap, seolah menyimpan satu rahasia yang belum siap ia lepaskan. ** Alarm dari ponsel Rhea berbunyi nyaring, memecah keheningan pagi yang masih pekat. Jam menunjukkan pukul 05.15 — lebih awal dari biasanya, sesuai yang ia sengaja atur tadi malam. Dengan mata yang masih berat, ia menggerakkan tangannya dan mematikan alarm cepat sebelum mengganggu siapa pun…terutama Devan yang masih terlelap di sampingnya. Ia membuka mata perlahan, membiarkan cahaya pagi yang samar menelusup dari celah tirai. Untuk sesaat, ia hanya berbaring, menatap langit-langit dan mengumpulkan sisa-sisa semangat. Lalu ia menoleh. Devan masih tidur. Wajahnya tenang. Dadanya naik turun pelan. Napasnya teratur. Sesekali ia mengerutkan alis, mungkin masih terbawa mimpi. Rhea memperhatikannya sejenak — diam-diam, ada perasaan ganjil yang tertinggal sejak malam tadi. Tapi ia menepisnya lagi. 'Hari ini aku harus fokus. Jangan bawa sisa rasa itu ke pagi yang baru,' bisik hatinya. Dengan pelan agar tak membangunkan suaminya, Rhea bangkit dari ranjang. Kakinya menyentuh lantai dingin, lalu berjalan menuju kamar mandi. Tapi sebelum masuk, ia sempat melirik ke arah Devan sekali lagi. Dan tanpa sadar, seulas senyum tipis muncul di wajahnya. Karena bagaimanapun, pagi ini masih dimulai dengan Devan di sampingnya — dan selama itu belum berubah, ia memilih untuk percaya, setidaknya…untuk hari ini. Ia pun bersiap untuk memasak, menyiapkan baju, dan segala kebutuhan pagi, seperti istri yang mencintai dan ingin dipercaya. * Di dapur yang masih diselimuti aroma embun pagi, Rhea berdiri di depan kompor dengan apron tergantung rapi di pinggang. Wajahnya yang masih segar tampak lebih tenang dibanding malam sebelumnya. Cahaya matahari mulai masuk dari jendela kecil di sudut dapur, menyorot sebagian wajahnya yang tersenyum samar. Ia mengaduk telur orak-arik di wajan sambil sesekali melirik timer di ponsel. Tangannya cekatan, seperti biasa, tapi ada kelembutan lebih dalam setiap gerakannya. Mungkin karena pagi ini, ia memilih untuk memulai dengan perasaan yang lebih ringan. “Enggak semua suami yang pulang terlambat itu selingkuh, Rhea… jangan seperti klien-klienmu.” Ia tersenyum lagi, kali ini lebih tulus, meski hanya pada dirinya sendiri. Sesekali kenangan Devan memeluk dan membisikkan kata cinta semalam kembali melintas di pikirannya — membuatnya merasa sedikit bersalah karena sempat curiga terlalu dalam. Wajan pertama selesai. Ia geser ke samping. Lalu dengan cepat ia menyiapkan nasi hangat, menggoreng tahu, dan menambahkan sambal terasi buatan sendiri yang Devan suka. Pagi ini ia ingin semuanya rapi, teratur, dan hangat. Setidaknya sebelum kembali menghadapi kerasnya ruang sidang, dan klien-klien yang membawa luka rumah tangga mereka masing-masing. Beberapa menit kemudian, masakan telah tersaji di meja makan. Rhea membuka tudung saji, mengatur sendok dan piring, dan berdiri sejenak di tengah dapur, memandangi hasil kerjanya. “Semoga pagi ini lebih damai.” Ia pun melepaskan apron, menyimpannya, lalu berjalan kembali ke kamar dengan langkah ringan—siap untuk membangunkan Devan, dan menghadapi hari… dengan cinta yang tetap ia pertahankan. Dalam perjalanan kembali ke kamar, langkah Rhea melambat begitu matanya menangkap pintu ruang kerja Devan yang terbuka sedikit. Pintu itu biasanya selalu tertutup rapat—Devan termasuk tipe yang rapi dan tertib, apalagi soal ruang pribadi seperti tempat bekerjanya itu. Namun pagi ini, pintu itu sedikit menganga…dan dari lorong, terlihat meja yang berantakan. Buku berserakan, beberapa berkas tampak miring, bahkan ada pena yang hampir jatuh dari tepi meja. Rhea berdiri ragu di ambang pintu. Tapi naluri rumah tangga—dan kebiasaannya sebagai seseorang yang selalu suka kerapian—membuatnya melangkah masuk. “Cuma bantu rapihin sebentar…” gumamnya dalam hati, mencoba menenangkan rasa tidak enak yang mendadak tumbuh lagi. Ia berjalan ke meja, mulai merapikan buku dan menumpuk kertas dengan cekatan. Namun saat ia mengangkat segepok dokumen dari sudut meja, sesuatu tergelincir dari sela-selanya dan jatuh ke lantai. Tap! Suara ringan itu terdengar nyaring di tengah keheningan pagi. Rhea menunduk. Sebuah foto. Ia memungutnya, dan saat melihat wajah dalam foto itu—dunia di sekitarnya terasa membeku. Foto itu bukan sekadar potret. Itu sosok yang ia kenal. Lyla. Wajah cantik itu tersenyum di depan kamera, duduk berdampingan dengan Devan dalam pose santai namun akrab. Terlalu akrab. Dan latar belakang tempat itu…bukan suasana kantor, bukan suasana kerja. Itu seperti…rumah. Atau tempat pribadi yang intim. Jantung Rhea berdetak keras. Jemarinya gemetar saat menggenggam foto itu lebih erat. Kepalanya berusaha menyangkal, tapi matanya tak bisa berbohong. Kenapa Devan menyimpan ini? Kenapa di antara berkas-berkas pekerjaannya…ada foto wanita yang seharusnya tidak punya tempat dalam kehidupan rumah tangga mereka? Rasa curiga yang semalam coba ia kubur dalam-dalam…kini mulai menggali kuburannya sendiri. Dan Rhea tahu—ia baru saja menyentuh ujung dari rahasia yang jauh lebih besar dari yang ia bayangkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN