Eps. 5 Teman Masa Lalu

1010 Kata
Rhea menatap lekat-lekat foto di tangannya, seolah tak percaya pada apa yang sedang ia lihat. Bibirnya bergerak pelan, nyaris tanpa suara, “Lyla…?” Nama itu keluar seperti desah angin. Dingin. Penuh kejutan. Lalu tiba-tiba, kenangan lama menabrak kesadarannya—seperti pintu yang dibuka paksa. Lyla Kirana. Teman lamanya saat SMA di SMA Cendana Nusantara, sekolah swasta unggulan yang dulu mereka hadiri bersama. Lyla yang dulu selalu tampil menonjol—cantik, pintar, dan misterius. Mereka tak pernah terlalu dekat, tapi cukup sering berpapasan di kegiatan sekolah, lomba debat, dan organisasi siswa. Dan sekarang…Lyla muncul kembali. Dalam foto. Bersama suaminya. Tangan Rhea mulai gemetar saat menggenggam foto itu. Matanya tak bisa lepas dari senyum Lyla dalam gambar—senyum yang dulu terasa biasa, kini terlihat penuh rahasia. “Kenapa…Lyla bisa ada di foto ini? Kenapa bersama Devan? Dan kenapa aku—istrinya—tidak tahu apa-apa tentang ini?” Dadanya terasa sesak. Rasanya seperti sedang menyusun puzzle dengan potongan yang sama sekali asing. Pelan, ia menurunkan foto itu, memandangnya dengan pandangan kabur. Tangannya masih bergetar. Karena kali ini, rasa curiga bukan hanya sekadar firasat. Tapi jejak nyata. Dan Rhea tahu…pagi ini baru saja berubah. Dari damai yang semu, menjadi awal dari kebenaran yang menuntut untuk dibuka. Foto itu masih berada di tangan Rhea, tapi pikirannya telah berkelana jauh, melesat lebih cepat dari detak jantungnya sendiri. Sebagai seorang pengacara perceraian, Rhea terlalu akrab dengan pola-pola pengkhianatan. Ia hafal perubahan-perubahan kecil dalam sikap pasangan yang menyimpan rahasia, hafal kalimat-kalimat pembelaan yang dilapisi kepalsuan, hafal wajah-wajah yang mencoba menutupi luka dengan senyuman pura-pura. Dan kini, semua pengetahuan yang dulu ia gunakan untuk membela kliennya…tiba-tiba menyerangnya sendiri. “Apakah aku sedang mengalami apa yang selama ini hanya kusaksikan dari luar?” Pikirannya mulai menyusun kemungkinan. Mungkinkah Devan berselingkuh? Atau…mungkinkah mereka sudah punya sejarah sebelum aku menikah dengannya? Kenapa Lyla tak pernah disebut? Padahal…dia jelas bukan orang asing bagiku. Rhea menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan gelombang emosi yang mulai naik ke da-da. Semuanya terasa seperti jebakan takdir yang diam-diam telah dipasang sejak awal. Bagaimana bisa Devan menyembunyikan sesuatu sebesar ini, dan ia tak tahu apa-apa? Ia mengingat kembali malam ketika Devan pulang terlambat. Alasan yang dilontarkan, tatapan yang menghindar, pelukan yang terasa lebih berat dari biasanya. Mungkinkah semua itu…karena ada wanita lain di hidupnya? Wanita dari masa lalu yang belum selesai? Air matanya belum jatuh, tapi dadanya mulai terasa sempit. Dan untuk pertama kalinya, sebagai seorang istri…ia merasa seperti kliennya sendiri. Tersesat dalam pernikahan yang perlahan kehilangan kejujuran, dan hanya menyisakan teka-teki yang tak lagi bisa diabaikan. Terdengar suara derap langkah tergesa dari ujung lorong. Rhea yang masih berdiri kaku dengan foto Lyla di tangannya, segera tersadar. Itu Devan. Tak butuh waktu lama hingga sosok suaminya muncul dari balik sudut kamar, mengenakan kaus tipis dan celana panjang tidur. Rambutnya masih acak-acakan, matanya terlihat cemas—seperti seseorang yang baru bangun dengan kepala penuh kekhawatiran. “Rhea,” panggilnya cepat, “Kamu lihat peta survei lokasi? Yang buat proyek kawasan baru? Tadi malam kayaknya aku taruh di meja kerjaku, tapi sekarang gak ada…” Wajahnya serius, matanya menyapu ke arah ruang kerja, lalu ke arah istrinya yang berdiri tepat di depan pintu ruangan itu. Rhea, yang masih menggenggam foto Lyla dengan tangan gemetar, tersentak. Tanpa pikir panjang, ia menyembunyikan foto itu di balik saku apronnya, menekannya erat ke sisi pinggang agar tak terlihat. “Aku tadi bantu rapihin dikit, mungkin kelempar ke tumpukan bawah. Tunggu ya, aku ambilin,” ujarnya cepat, berusaha terdengar setenang mungkin meski dadanya masih berdegup keras. Ia melangkah cepat ke dalam ruang kerja, mengambil peta survei yang tergeletak di bawah map tebal, dan kembali keluar sambil menyerahkannya pada Devan. “Ini dia,” katanya sambil tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan gejolak yang belum reda. Devan mengambil peta itu dengan wajah lega. “Ya ampun, aku pikir ketinggalan di kantor.” Ia tertawa kecil, lalu menatap Rhea. “Thanks, Sayang. Kamu penyelamatku pagi ini.” Tapi di balik senyum Devan, Rhea bisa merasakan sesuatu yang berbeda. Dan di balik senyumnya sendiri, tersimpan pertanyaan yang kini mulai tumbuh seperti duri. Sejak kapan suaminya menyembunyikan masa lalu…dan siapa sebenarnya Lyla dalam hidup mereka? Hati Rhea masih berdebar tak karuan. Foto Lyla yang kini tersembunyi rapi di balik apronnya terasa seperti bara kecil yang membakar diam-diam. Seolah setiap langkah, setiap napasnya kini menyimpan sebuah rahasia yang menunggu meledak. Tapi ia tahu, ini bukan saatnya untuk konfrontasi. Belum. Ia memaksakan senyum kecil dan menatap Devan yang masih menatap peta di tangannya, seolah terlalu sibuk untuk menyadari kegelisahan yang mengintai istrinya. “Sarapan paginya udah siap,” ujar Rhea, suaranya terdengar normal meski agak serak di ujung. “Kita makan bareng, ya? Mumpung masih hangat.” Devan menoleh dan tersenyum tipis. “Wah, pas banget. Perutku kosong banget dari tadi malam.” Dan justru itulah yang membuat hati Rhea kembali mencelos, mengingatkan pada acara makan malam Devan bersama rekan-rekannya? Namun Rhea hanya mengangguk. Ia menahan diri untuk tidak menunjukkan ekspresi apa pun selain wajah seorang istri yang menyambut pagi seperti biasa. Ia berbalik dan mulai berjalan menuju ruang makan, meninggalkan lorong, ruang kerja, dan kegelisahan yang masih bersembunyi di balik saku bajunya. Devan mengikuti dari belakang tanpa menyadari apa pun. Devan dan Rhea duduk berhadapan di meja makan. Aroma nasi hangat, ayam goreng, dan telur orak-arik memenuhi ruangan, tapi bagi Rhea, rasa lapar tak lagi jadi prioritas pagi ini. Sementara itu, Devan tampak santai, makan dengan lahap, bahkan sempat memuji sambalnya seperti biasa. “Sambalnya enak banget, Sayang. Pedasnya pas,” katanya ringan. Rhea hanya tersenyum kecil, menyendok nasi perlahan, lalu mengamati wajah suaminya dengan saksama. Ia mengatur napasnya, lalu membuka percakapan, seolah tak disengaja. “Dulu…aku pernah punya teman SMA, namanya Lyla Kirana. Pernah satu organisasi juga, walau nggak terlalu dekat.” Devan mendongak sesaat, masih mengunyah, menatap Rhea sambil mengangguk kecil. Rhea melanjutkan dengan nada pelan tapi terukur. “Aku jadi kepikiran, sekarang dia di mana ya? Penasaran aja…karena aku belum pernah dengar kabarnya lagi.” Matanya menatap tajam ke wajah Devan, mencari sesuatu. Apakah ada kejutan kecil di sorot matanya? Sebuah keraguan? Atau… rasa bersalah? Devan tersedak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN