Rhea terus mengamati wajah Devan, memperhatikan setiap perubahan kecil di ekspresinya. Dan benar saja—Devan tiba-tiba tersedak lagi. Batuk kecil keluar dari tenggorokannya, mendadak dan terburu-buru, membuatnya menepuk dadanya sendiri sambil menunduk.
Untuk sesaat, waktu seperti melambat bagi Rhea.
Apakah itu reaksi kaget karena nama Lyla? Ataukah hanya karena memang Devan terburu-buru mengunyah?
Naluri sebagai istri yang peduli segera mengambil alih, mengesampingkan kecurigaan sejenak. Rhea bangkit perlahan, mengambil gelas air dari dekatnya, namun tak jadi menyerahkan.
Sebaliknya, ia menyodorkan serbet dan meletakkan tangannya di bahu Devan, lalu berkata lembut,
“Pelan-pelan makannya, jangan buru-buru gitu. Nanti malah keselek beneran.”
Devan mengangguk cepat, masih berdehem sambil tersenyum tipis, seolah berusaha menutupi rasa canggung yang mencuat sesaat.
“Iya…maaf, tadi lagi nyari potongan telur,” katanya sambil tertawa ringan.
Tapi Rhea tahu—yang barusan terjadi bukan hanya karena telur.
Devan kembali fokus pada makanannya, berusaha bersikap setenang mungkin. Ia menghabiskan nasi dan lauk di piringnya tanpa lagi menunjukkan reaksi mencolok. Tak ada jawaban atas nama Lyla, tak ada tanda gugup, bahkan tatapannya sesekali terasa normal—nyaris meyakinkan.
Namun Rhea tak lengah.
Justru karena semuanya terlalu normal, nalurinya makin tajam.
Devan memang tidak membuat kesalahan, tapi ada sesuatu dalam cara pria itu menahan pandangan, dalam keheningan yang sedikit terlalu lama, dan dalam tawa kecil yang terlalu ringan.
Devan sendiri sebenarnya tak sadar bahwa istrinya mulai curiga. Ia hanya merasa…tidak nyaman. Entah kenapa, sejak duduk di meja makan pagi ini, suasananya terasa berbeda. Padahal makanan Rhea tetap seenak biasanya, dan nada suara istrinya pun hangat seperti biasa.
Tapi hawa di ruang makan terasa menekan. Ia pun mempercepat gerakan sendok, menyelesaikan makan dalam diam.
“Aku duluan mandi, ya,” ucap Devan setelah menghabiskan suapan terakhir, tanpa menunggu tanggapan.
Lalu ia bangkit dan melangkah cepat, meninggalkan Rhea dengan banyak pertanyaan yang belum terjawab.
Rhea duduk diam di meja makan yang mulai sepi, hanya tersisa sisa teh hangat dan aroma makanan yang perlahan mendingin. Matanya menunduk, menatap saku celemek di pangkuannya—tempat di mana foto Lyla masih terselip rapi, namun terasa seperti duri yang menusuk setiap gerakannya.
Perlahan, ia mengembuskan napas panjang, berat, seperti mencoba mengeluarkan beban dari dalam dadanya. Tapi rasa sesak itu tak pergi. Justru semakin menekan.
Wajah Lyla dalam foto itu kembali membayangi pikirannya.
Senyumnya terlalu akrab. Tatapannya terlalu lekat.
Dan yang paling mengganggu—Devan berdiri di sampingnya… dalam satu bingkai yang tak pernah ia tahu keberadaannya.
Rhea menutup matanya sejenak. Ia mencoba berpikir jernih. Menganalisis. Seperti saat ia menangani kasus klien di pengadilan—menakar fakta, mencari celah, memisahkan emosi dari logika.
“Apa benar…Devan menyembunyikan sesuatu dariku?
Atau aku yang terlalu jauh berpikir karena pekerjaan membuatku peka terhadap kebohongan?”
Namun yang paling ia kenal adalah Devan itu sendiri. Ia terbiasa membaca sorot mata suaminya. Dan pagi ini…ada ketegangan yang tak bisa disangkal, meskipun Devan begitu pandai menyembunyikannya.
Rhea membuka matanya lagi, menatap foto itu sekali lagi.
Hatinya kacau, tapi pikirannya mulai menyusun langkah.
“Kalau ini hanya masa lalu…kenapa disembunyikan? Tapi kalau ini masih berlangsung…"
Ia tak sanggup menyelesaikan kalimat itu. Yang pasti, diam bukan lagi pilihan. Dan jika benar ada sesuatu di balik semua ini, maka ia tak akan membiarkannya tumbuh dalam kegelapan lebih lama.
Saat hendak berangkat kerja, Devan keluar dari kamar dengan pakaian rapi, kemeja biru muda favoritnya, dasi gelap yang terikat sempurna. Wajahnya sudah segar, seolah pagi tadi tak terjadi apa-apa. Ia menyambar kunci mobil dari meja dekat pintu lalu menoleh ke arah Rhea yang sedang merapikan dokumen ke dalam tas kerjanya.
“Bareng aku aja, yuk? Aku bisa anterin kamu dulu ke kantor,” tawar Devan sambil tersenyum ringan.
Rhea mendongak. Senyum itu terlihat seperti biasa, tulus, hangat. Tapi bagi Rhea yang sedang diliputi gelisah, senyum itu justru seperti topeng yang semakin membuat segalanya terasa semu.
Ia menggeleng pelan sambil meraih tasnya.
“Enggak usah, Dev. Aku harus ketemu klien lebih pagi, beda jalur juga. Kamu langsung aja, nanti aku naik taksi online.”
Devan tampak ingin berkomentar, tapi ia hanya mengangguk sambil menekan bibirnya.
“Oke…hati-hati, ya.”
“Kamu juga,” jawab Rhea singkat, lalu tersenyum kecil.
Namun saat punggung Devan berbalik dan suara langkahnya menjauh, rasa tak nyaman itu makin menguat. Bukan karena satu kejadian besar, tapi karena segala sesuatu yang tampak terlalu biasa—terlalu rapi, terlalu diam.
Dan Rhea tahu, diam seperti itu biasanya menyimpan rahasia.
Dan kali ini, mungkin bukan sekadar perasaan meski semuanya masih kabur dan belum ada bukti.
Rhea meraih ponselnya dari meja ruang tamu, mengecek aplikasi transportasi online yang tadi ia pesan. Titik lokasi kendaraan sudah sangat dekat—tinggal beberapa meter lagi dari rumah. Ia menghela napas pelan, lalu mengenakan heels-nya dengan cepat, mengambil berkas di tangan kiri, dan bergegas menuju pintu depan.
Saat membuka pintu, matanya langsung menyapu ke halaman.
Mobil Devan sudah tidak ada.
Suaminya telah pergi. Begitu cepat. Tak ada cium di kening seperti biasa, tak ada lambaian tangan dari balik jendela mobil. Sekilas, ada rasa hampa yang menusuk pelan di da-da Rhea. Tapi ia buru-buru menepisnya.
Beberapa detik kemudian, taksi online-nya berhenti di depan rumah. Rhea berjalan cepat ke arah kendaraan, membuka pintu dan masuk ke dalam. Sopir menyapa ramah, namun Rhea hanya membalas dengan anggukan kecil.
Pikirannya tak bisa diam.
Matanya memandang ke luar jendela, menyaksikan jalanan pagi yang mulai ramai, tapi pikirannya tetap tertambat pada satu nama—Lyla. Dan satu sosok—Devan.
'Apa yang sebenarnya terjadi? Dan kenapa aku merasa semuanya baru saja dimulai?'
Mobil melaju, dan Rhea pergi menemui klien. Tapi pikirannya…
tetap tertinggal di balik pintu yang belum sepenuhnya terbuka.
**
Di dalam mobil yang melaju pelan di jalur luar kota, Devan menatap lurus ke depan. Matanya sesekali menyipit menahan silau matahari pagi yang menembus kaca depan. Namun pikirannya jauh lebih kacau daripada jalan yang dilaluinya.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar di dashboard mobil. Getarannya terdengar nyaring di tengah keheningan kabin.
Refleks, Devan memperlambat laju mobil dan melirik layar ponsel.
Saat nama yang tertera muncul, jantungnya langsung berdegup lebih cepat.
LYLA.
Nama itu seperti palu yang menghantam ketenangan palsu yang coba ia pertahankan sejak pagi. Ia menatapnya beberapa detik.
Lama. Hatinya dilanda ragu, otaknya bekerja cepat. Kenapa Lyla menelepon pagi-pagi begini? Bukankah mereka sepakat untuk tidak menghubungi saat Rhea sedang di rumah?
Tangannya sempat terulur ke layar. Tapi detik berikutnya, ia menariknya kembali.
Pikirannya langsung mengarah ke satu hal—jangan-jangan ini Rhea.
Rhea pernah sesekali menggunakan ponsel orang lain saat ponselnya tertinggal. Jangan-jangan ini caranya mengecek sesuatu?
Devan tak mau ambil risiko.
Dengan wajah yang kini tegang dan penuh waspada, ia menaruh kembali ponselnya ke console, membiarkannya terus bergetar hingga berhenti sendiri.
“Jangan sekarang…jangan pagi ini…” batinnya bergemuruh.
Mobil kembali melaju, tapi pikirannya mulai bergeser dari pekerjaan ke satu nama yang seharusnya tidak lagi terlibat dalam hidupnya.
Lyla.
Dan ia tahu…semakin sering nama itu muncul, semakin tipis waktu yang dimilikinya sebelum semuanya runtuh.
Mobil terus melaju, tapi pikiran Devan tertahan di satu momen di meja makan tadi pagi.
Rhea menyebut nama itu. Lyla.
Secara tiba-tiba. Seolah tidak sengaja, tapi terlalu tepat waktunya untuk disebut begitu saja.
Devan memutar ulang percakapan itu dalam kepalanya.
Nada suara Rhea tenang, kalimatnya ringan. Tapi sekarang terasa seperti jebakan halus.
Padahal…sebelumnya Rhea tak pernah menyebut nama itu. Tidak sekalipun.
“Apa dia tahu sesuatu? Apa dia curiga? Atau...cuma kebetulan?”
Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi benaknya, menekan dadanya perlahan.
Lyla menelepon. Rhea menyebut namanya. Semesta terasa seperti sedang menarik satu simpul besar di lehernya.
Tiba-tiba saja, ketakutan merayap dari dalam dirinya.
Bukan hanya takut ketahuan.
Tapi takut…kehilangan semua yang sudah ia bangun bersama Rhea.
Dan lebih dari itu—takut menghadapi versi Rhea yang tahu segalanya.