Di dalam mobil, Devan menginjak pedal gas dalam-dalam. Suara mesin meraung keras menembus keheningan senja. Tatapannya tajam menatap jalanan, namun jelas terlihat sorot amarah yang ia tahan rapat. Rahangnya mengeras, satu tangan mencengkeram kemudi kuat-kuat sementara tangan lainnya mengepal di pangkuannya. Sesekali ia menggeleng pelan, mengumpat lirih pada dirinya sendiri. “Kenapa Lyla kirim pesan itu sekarang? Di saat aku sedang sibuk begini begini?” pikirnya penuh kesal, namun tetap memacu mobil lebih cepat. Beberapa menit kemudian, mobil itu berhenti tepat di depan rumah Lyla. Tanpa mematikan mesin, ia keluar dan membanting pintu dengan kesal. Devan berdiri beberapa detik di depan pagar, napasnya berat. Ia menatap rumah itu—rumah yang kini terasa seperti bom waktu bagi hidupnya. Diam