Da-da Devan terasa dihantam keras. Kata-kata Rhea di telepon masih menggema di telinganya, “Aku masih tunggu kamu, makan malamnya udah dingin...” Suara lembut itu, setia, penuh cinta. Tapi kini ia duduk di halaman belakang rumah wanita lain, bersama Lyla yang menunggunya di kamar. Devan menunduk, matanya memanas. Seperti kaca yang retak, hatinya pecah—remuk oleh kesetiaan Rhea dan kebodohan dirinya. “Apa yang aku lakukan di sini?” bisiknya lirih. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Di balik diamnya, badai bergemuruh. Ia ingin pulang. Tapi kaki seperti dipaku. Tanggung jawab pada Lyla membebaninya, tapi cinta pada Rhea mencabik seluruh nuraninya. Dia sadar…malam ini, dia mengkhianati wanita yang paling mencintainya dengan tulus. Suara Rhea kembali terdengar dari seberang sana, pelan,