Rhea melangkah perlahan kembali ke kamar, langkahnya seperti kehilangan tenaga. Tapi ketika tiba di ranjang, dia tidak langsung berbaring. Dia hanya duduk di tepi ranjang, membiarkan lampu meja menyala redup. Matanya menerawang ke arah pintu yang tertutup rapat, berharap setiap suara dari luar adalah langkah kaki Devan yang pulang. Namun, yang terdengar hanya detak jam dinding, dan sunyi yang menggema. Di dalam dirinya, tak hanya kesedihan yang membungkus hati—ada sesak yang menyesakkan da-da, kecemasan yang menjerat napas, rasa takut akan kehilangan, amarah yang ditahan, dan pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban. Semua berkecamuk seperti ombak liar, menghantam tanpa ampun. Tangannya memeluk erat bantal di pangkuan, tubuhnya berguncang pelan, dan matanya tetap mengarah ke ponsel di meja.