Rhea berdiri mematung di balik gerbang yang setengah terbuka. Hatinya seperti diremas. Di hadapannya, sosok Lyla duduk di kursi teras sambil mengusap perutnya yang membuncit. Wajah wanita itu lelah, pucat, namun ada binar sayu yang tak bisa dibohongi, binar seorang ibu. Rhea menggigit bibir bawahnya, matanya panas, air mata menggenang tapi belum tumpah. Ini terlalu banyak untuk diproses dalam satu waktu. Wanita itu... temannya dulu...sekarang mengandung...tapi siapa suaminya? Di mana ayah dari bayi itu? Kenapa hanya sendiri? Pikirannya kacau. “Apa benar...Devan...?” Da-da Rhea berdegup keras. Napasnya tercekat. Ia ingin maju, bertanya, menuntut semua jawaban yang menggantung dan menyayat hatinya, tapi kakinya seperti dipaku di tempat. Ia hanya bisa berdiri di sana, membiarkan angin sor