Rhea akhirnya menarik napas panjang, meski sesak terasa menyesakkan dadanya. Ia menatap jalanan di depannya yang perlahan mulai ramai dengan kendaraan lain. “Cukup sudah,” gumamnya. Dia tidak perlu lagi mengejar bukti, karena apa yang baru saja dilihatnya sudah lebih dari cukup untuk menjawab semua prasangka. Kebersamaan Devan dan Lyla bukan lagi sekadar dugaan—itu nyata. Rasa sakitnya membakar, seperti bara yang menggerogoti hatinya. Namun di tengah keterpurukan itu, Rhea memaksa dirinya untuk tetap waras. Dia tidak boleh jatuh terlalu dalam. “Aku tidak boleh kalah,” katanya berulang kali, seakan itu sebagai mantra untuk menegakkan dirinya sendiri. Kalau hubungan mereka memang akan berakhir, setidaknya dia ingin berakhir dengan cara yang bermartabat, bukan sebagai istri yang mena