ARKA berdiri didepan cermin. Menilai penampilannya untuk kesekian kalinya. Dari atas kebawah, rambut hitam legam, manik mata abu yang mempesona, jembatan hidung tinggi dan alis mata hitam yang tegas! Gotcha! Perfect! Sungguh mempesona dirimu wahai Arka Juna Sadewa.
Oke, siap. Sekarang Arka bisa menjemput Aska sambil modus bertemu Nara disekolah.
Bukankah Arka sudah bilang jika dia akan tetap mendekat kearah mereka walaupun Nara menolak? Arka itu b******n b******k keras kepala dan Nara juga tau. Jadi, dia akan menggunakan itu sebagai alasannya.
Nara juga pasti tidak punya pilihan. Apalagi saat Aska yang sekarang memanggilnya 'papa'.
Jangan tanya sejak kapan, karena butuh tiga hari untuk Arka meyakinkan Aska bahwa dia adalah papanya.
Flashback.
"Om bohong, ya?" Tanya Aska waktu itu.
Mata Aska menyipit curiga pada Arka yang mensejajarkan tinggi tubuh mereka.
Pasalnya, pria itu sudah dua hari terakhir terus menemuinya dan berkata bahwa dia adalah 'papa'nya. Aska yang penuh kecurigaan tentu saja tidak mudah untuk mempercayai pria dewasa yang hanya membelikan nya ice cream satu kali.
"Aska gak percaya kalo papa, ini, papanya, Aska?" Tanya Arka dengan raut wajah kecewa, yang sebenarnya hanya kepura-puraan untuk membuat bocah ini iba.
"Soalnya...soalnya kata mama papanya Aska udah tutup batu nisan!"
Arka tersedak air liurnya sendiri mendengar perkataan putra tersayangnya ini. Apa katanya?....apakah Nara yang mengatakan itu pada Aska? Betapa teganya Nara.
"Aska liat papa, bola matanya papa warna apa?" Tanya Arka dengan sungguh-sungguh.
Aska memiringkan kepala kecilnya, menggigit jari telunjuknya. "Umm...walna apa, ya? Aska lupa."
Arka menghirup udara, tidak masalah. Berbicara dengan anak kecil harus penuh perhatian dan yang paling penting adalah kesabaran.
Argh!! Rasanya ingin Arka memakan Nara yang tidak mengajari Aska macam-macam warna!
"Ini, itu. Warnanya abu-abu. Aska liat, kan? Warnanya sama kayak punya Aska."
Aska tampak berfikir, seingat Aska, bolamatanya juga berwarna sama dengan yang dimiliki om ini. Aska mengangguk, kemudian menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tapi mama bilang papa Aska-"
"Batu nisannya udah kebuka! Jadi papa udah keluar!" Tenang, tenang.
Raut bingung begitu kentara di wajah Aska. Aska yang dari awal memang tidak mengerti apa itu 'tutup batu nisan' hanya mempercayai apa yang Arka katakan.
"Jadi papa udah keluar?"
Arka mengangguk dengan mantap. "Hm! Papa disini sekarang."
"Jadi om itu benelan papa, nya, Aska?"
"Iya, papa itu papanya Aska." Lelah sekali menanggapi ocehan anak ini.
Aska melompat kegirangan, berteriak-teriak dengan bahagia. "Yey! Papa-"
Saat itu, ucapan Aska terpotong karena Nara muncul memanggil nama Aska.
Yah, jadi begitulah ceritanya permisah.
Jadi sekarang, karena Aska sudah memanggilnya papa, dia akan mendekati Nara lagi dengan cara yang elegan.
***
"Just your clost eyes..
The sun is going down..
You'll be alright..
No one can hurt you now..
Come morning light..
You and I'll be safe and sound.."
Suara Nara mengalun dengan lembut, menemani Aska yang sedang berbaring dipangkuan Nara. Aska tampak sangat menikmati lagu pengantar tidur yang sering di nyanyikan Nara untuknya dikala malam.
Tapi sekarang masih sore.
Nara mengusap pelan kepala Aska, membuat pria kecil itu memejamkan matanya sejenak.
"Mama." Panggil Aska.
Nyanyian Nara terhenti, dia menunduk melihat Aska yang juga sedang menatapnya dengan mata besar itu.
"Papa Alka itu papanya Aska, kan, ma?" Tanya Aska.
Nara tertegun, tidak menyangka jika Aska tiba-tiba saja bertanya hal itu.
Rasa sesak kembali menyeruak dalam hati Nara. Dia ingin mengatakan 'tidak, bukan. Dia hanya b******n'. Tapi melihat manik mata abu menatapnya dengan binar penuh harapan, Nara tidak tega.
"Iya, dia papanya, Aska." Jawab Nara pada akhirnya.
Senyum Aska mengembang, jemari kecilnya bermain dengan pita panjang pada pakaian yang Nara kenakan.
"Aska seneng." Ucap anak itu, yang mana membuat d**a Nara berdenyut nyeri untuk yang kesekian kalinya.
"Aska seneng papa pulang, Tadinya Aska pikil papa gak sayang sama Aska, telus gak mau ketemu Aska. Tapi sekalang papa ada, suka ajak Aska jalan-jalan sama makam es cleam."
"Kok Aska ngomong gitu, sih? Gak mungkin ada orang yang gak sayang sama Aska." Mendengar apa yang Aska katakan, rasanya seperti ada batu yang mengganjal di tenggorokan Nara. Rasanya sangat menyakitkan ketika dia tau bahwa Aska berfikir bahwa Aska tidak di inginkan.
Nara diam-diam menyeka sudut matanya. Mencoba agar terlihat tegar.
Nara merasa dia adalah ibu yang egois, hanya memikirkan rasa sakitnya sendiri tanpa menyadari bahwa Aska juga mungkin merasakan hal yang sama.
Nara hanya sibuk menyembuhkan lukanya, tanpa sekalipun berfikir bahwa Aska juga membutuhkan ayahnya.
Tok tok tok.
Ketukan pintu itu membuat Nara akhirnya keluar dari rasa sedih. Keningnya kini berkerut heran, siapa yang datang sore-sore begini?
"Aska bangun dulu, mama mau bukain pintu." Titan Nara.
Dengan malasnya, Aska mengubah posisinya menjadi bersandar pada sofa, membiarkan Nara bangkit berdiri untuk membukakan pintu.
"Sebentar!" Seru Nara agak jengkel. Pasalnya, orang yang bertamu itu mengetuk pintu semakin keras dan tak sabaran.
Nara membuka pintu, antara kaget dan malas melihat siapa yang bertamu sore-sore begini. Nara menghembuskan nafas dengan kesal.
"Ada perlu apa, ya?"
Dihadapan Nara, Arka memamerkan giginya ala iklan pepsodent. "Kebetulan, tadi saya ada urusan kecil di deket sini. Jadi saya pikir gak ada salahnya saya mampir ke rumah kamu yang kecil ini. Iya, kan?"
Nara memutar bolamatanya dengan malas mendengar alasan Arka yang jelas-jelas tidak Nara percayai. "Wah, saya tersanjung sekali Bapak Arka yang terhormat ini mau mampir ke rumah saya yang sempit dan kecil." Ujar Nara dengan nada menyindir dibarengi senyum sopan khasnya.
"Tapi saya pikir akan lebih baik kalo bapak gak mampir." Lanjut Nara pada pria itu.
"Kalo saya gak lupa." Arka tampak tidak perduli dengan sindiran Nara. Dia menunjuk kedalam rumah sambil berkata. "Boleh saya masuk?"
"Maaf bapak Arka, ini sudah sang-"
"Oke terimakasih." Lalu, dia melenggang masuk begitu saja kedalam rumah bahkan sebelum Nara menyelesaikan kalimatnya.
Nara berdecak ketika Arka dengan wajah tidak tahu malunya melenggang masuk.
Nara masuk kembali kedalam rumah. Samar-samar, dia bisa mendengar suara gelak tawan Aska dan Arka diruang tv.
"Aska udah mandi?" Suara Arka yang bertanya terdengar.
"Udah! Mama yang mandiin Aska." Jawab Aska dengan d**a membusung bangga.
Nara menghela nafas, lalu menghampiri keduanya.
"Wah, pinter banget anak papa! Papa juga jadi pengen di mandiin, mama."
Nara melotot mendengar apa yang Arka katakan. Aska yang mendengar ucapan sang ayah, sama sekali tidak merasa bahwa itu adalah hal yang tidak boleh dilakukan.
Anak itu mendongkak, menatap Nara dengan manik abunya. "Mama, papa pengen di mandiin mama!"
Seseorang, tolong bantu Nara memutilasi Arka sebelum dia mencemari otak Aska dengan kata-kata kotornya.
***
Waktu sudah menunjukan pukul sembilan malam, tapi Arka belum menunjukan tanda-tanda akan pulang.
Aska juga sudah tertidur dipangkuan Arka, bocah kecil itu terlalu senang dengan kedatangan sang ayah hingga akhirnya lelah sendiri.
"Kasih Aska, ke saya." Nara menghampiri Arka yang masih duduk diruang TV, layar LED itu masih kenampilkan filem robot kesukaan Aska.
"Kemana?" Tanya Arka, pria itu mendongkak menatap Nara yang tengah berdiri di sampingnya.
"Saya mau tidurin Aska dikamar."
"Biar saya aja." Arka bangkit berdiri dengan Aska dalam gendongannya. Kepala anak itu jatuh dipundak sang ayah.
Aska terlihat begitu nyaman, bahu ayahnya lebar, berbeda dengan bahu sang ibu. mulut kecilnya bergumam tak jelas, suara hembusan nafasnya yang lembut membuat Arka sekali lagi berfikir, betapa menakjubkan, nya menjadi seorang ayah.
Nara mengangguk, membiarkan Arka membawa Aska masuk kedalam kamar.
Membaringkan putra kecilnya diatas kasur, Arka tak lupa untuk menaruh dua guling di kiri dan kanan tubuh Aska sebagai penghalang agar anak itu tidak terjatuh dari kasur.
Arka juga menyelimuti tubuh Aska, lalu mengamati putranya dalam diam. Dia diam-diam berfikir, mungkin akan menyenangkan jika dia dan Nara dapat berbaring bersama dengan Aska ditengah-tengah keduanya.
Arka membungkuk, mengecup kening Aska lama.
Nara menyaksikan semua itu dibalik celah pintu yang terbuka. Dia diam-diam berbalik pergi dengan hati yang berdenyut perih.
***
Nara tidak pernah membayangkan bahwa akan ada momen dimana dia dan Arka duduk bersama disofa setelah lima tahun lamanya.
Tak pernah sekalipun Nara berfikir bahwa akan ada momen dimana detak jantungnya akan berdetak dengan sangat cepat oleh orang yang sama, setelah lima tahun lalu.
Ditengah keheningan, dua insan dengan masalalu menyakitkan itu duduk berdampingan didepan televisi yang tengah menyiarkan drama ala anak muda.
"Na." Suara Arka yang pertama kali memecah keheningan diantara keduanya. Nara menoleh sekilas, menatap Arka yang ternyata juga tengah menatapnya.
Menatap manik abu yang persis sama seperti milik putranya membuat Nara memalingkan wajahnya dari Arka.
"Na." Sekali lagi, Arka memanggil Nara.
Jika di tengah-tengah mereka ada Aska, mungkin tak akan secanggung ini duduk berdampingan.
"Kenapa?" Nara merutuki kebodohan, nya. Kenapa dia menjawab sih? Bukankah lebih baik jika dia diam saja?
Arka tersenyum tipis mendengar sahutan Nara. "Gimana kabar kamu?" Pertanyaan macam apa itu bodoh! Benak Arka berkata dengan jengkel.
Pertemuan mereka setelah lima tahun lamanya adalah ketika dia membawa Aska bersamanya, yang membuat Nara panik bukan main ketika mengetahui bahwa anaknya tidak ada di sekolah.
Dan sejak saat itu, Arka selalu menyisihkan waktunya untuk menjemput Aska. Yang secara tak langsung mempertemukannya dengan Nara.
Tapi mengapa Arka malah baru sekarang bertanya tentang kabarnya?
"Kamu bisa lihat sendiri. Saya jauh lebih baik sekarang." Itu adalah jawaban Nara.
Setelahnya, suasana hening kembali. Hanya suara televisi yang seolah menjadi soundtrack keduanya.
"Na." Arka memanggil lagi.
Nara mengabaikan Arka sampai pria itu lagi-lagi memanggil.
"Miss Nara."
Nara menatap Arka, menatap manik mata abu yang juga sedang menatapnya dengan lamat.
"I miss Nara."
"I miss you." And I'am sorry.
Kedua pasang mata itu menatap dalam keheningan. Dua manik mata berwarna hitam menatap dengan tatapan acuh, menyimpan luka dalam tatapannya.
Dan manik abu lainnya menatap dengan tatapan penuh harap.
"Arka, saya mengizinkan kamu bertemu dengan Aska hanya karena kamu adalah ayahnya." Ucap Nara sambil memalingkan wajah.
"-Saya mengizinkan kamu masuk kedalam rumah, hanya karena ingin Aska bahagia. Tapi tolong cukup sampai disitu, jangan melangkah lebih jauh lagi."
Arka diam, hanya menatap Nara. Hatinya juga sama sesaknya. 'Aku gak perduli, aku akan terus melangkah-mungkin, sampai kamu mungkin akan jengan'.