"Mama jalang itu apa?" Aska bertanya dengan polosnya, membuat ketiga orang dewasa di sekelilingnya melotot kaget.
Perlu diingat meskipun Aska hanyalah seorang anak berusia 4 tahun, tapi bukankah anak kecil biasanya lebih cepat menyerap apa yang dia dengar?
Apalagi untuk anak seusia Aska, pria kecil itu tergolong anak yang pintar.
Nara meraih Aska dalam gendongannya, bersiap untuk pergi dari Arka yang bisa-bisa membuat Nara mengucapkan sumpah serapah didepan putranya.
Namun, belum sempat dia melangkah, Arka meraih pinggang wanita itu mendekat kearahnya.
Arka tersenyum sopan pada guru wanita tadi, membuat sang guru mau-tak-mau ikut mengembangkan senyumnya.
Ya, iyalah. Senyum orang ganteng, kan, menular.
Nara bahkan bisa melihat dengan jelas rona merah di pipi guru wanita itu. Yang mana membuatnya mendengus jengah atas situasi ini.
"Ha ha ha. Istri saya ini, sepertinya tidak sabar ingin memberi adik untuk Aska." Ucap Arka diiringi dengan tawa.
Nara melotot tak percaya atas apa yang Arka ucapkan.
Apa-apaan pria ini!
Guru itu ikut tertawa mendengar ucapan Arka, entah benar tidaknya, asalkan bisa berbicara dengan pria tampan, ya, siapa yang peduli.
"Kalo gitu, kami permisi."
Setelah berpamitan, Arka menarik pinggang Nara untuk ikut berjalan bersamanya. Membawanya keluar dari kawasan Taman kanak-kanak.
"Apa maksud kamu ngomong kayak gitu? Kalo kamu pikir saya bakal seneng denger kamu ngomong gitu, kamu salah! Saya bukan Nara lima tahun lalu -saya sama Aska bisa pulang sendiri!"
Arka mengabaikan ocehan Nara. Saat Arka membawa Nara ketempat mobilnya terparkir, Wanita itu langsung menolak.
"Saya bisa pulang sendiri!" Kata Nara mengulangi.
"Saya tau." Arka mengangguk."Tapi kamu liat Aska, dia kayaknya ngantuk dan gak bakal nyaman tidur di gendongan kamu. Apalagi desak-desakan didalam angkutan umum."
Ya, Nara juga bisa merasakan bahwa Aska memang mengantuk. Mata pria kecilnya itu tampak sayu, kepalanya bersandar pada pundak Nara.
Nara ingin menolak, tapi dia tau jika Arka benar. Akan sangat tidak nyaman untuk Aska tertidur dalam posisi itu. Apalagi saat didalam angkutan umum nanti.
Mau tidak mau, dia masuk kedalam mobil Arka tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Arka tersenyum dengan puas, Nara tidak punya pilihan lain dan tidak ada alasan untuk berdebat.
Arka duduk dikursi kemudi, sedangkan Nara di co-pilot tampak sibuk mencari posisi agar nyaman bagi Aska untuk melanjutkan tidurnya.
Melihat Nara yang tampak kesusahan membuat Arka mencondongkan tubuhnya kearah mereka.
Nara memundurkan wajahnya karena terkejut. Dia tergagap saat mencoba menghentikan Arka. "Ap--apa yang--"
Klik.
Arka memasangkan sabuk pengaman pada keduanya, lalu menurunkan sedikit sandaran kursi mobil agar Nara bisa lebih nyaman memegang Aska.
Di tempatnya, Nara memalingkan wajahnya dari Arka. Kenapa? Kenapa dia masih berdebar ketika Arka memperlakukannya seperti lima tahun lalu. Tentu saja saat itu tidak ada Aska diantara mereka.
Melihat Nara yang memalingkan wajahnya, Arka merasa bahwa hati kecilnya berdenyut perih. Pria itu kembali menegakan punggung, mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang.
***
Hari-hari Nara berikutnya tak ada yang berubah. Bangun di pagi hari, membuat sarapan, membangunkan dan memandikan Aska dan mengantarnya ke Taman kanak-kanak.
Ngomong-ngomong, Nara bekerja disebuah restoran dipusat kota. Sehingga membutuhkan banyak waktu untuk berangkat dari Rumah. Apalagi Nara juga harus mengurus Aska dulu.
Seperti hari ini, Nara terlambat dua menit dari jam masuk kerja. Membuat Dion -manager restoran -menghela nafas ketika melihat Nara yang baru saja mau masuk keruang ganti.
Dion juga mengerti posisi Nara. Dia tau jika Nara adalah ibu tunggal. Jadi Dion tidak tega untuk memecat wanita itu. Karena disamping keterlambatan Nara, Nara adalah orang yang bertanggung jawab atas pekerjaan.
"Aduh, maaf, mas. Saya telat." Nara meringis malu saat dia yang baru tiga langkah keluar dari ruang ganti, berpapasan dengan Dion yang sudah berdecak pinggang sambil menatapnya.
Dion menghela nafas. "Lain kali jangan diulangi lagi, ya, Na."
Nara mengangguk, dengan sungguh-sungguh berkata bahwa dia tidak akan telat lagi.
"Yaudah, kamu Kebawah sekarang. Tamu lagi rame -ramenya." Titah Dion.
Lagi, Nara mengangguk. Dia pergi kelantai bawah dimana dia harus bekerja. Meninggalkan Dion yang menatap punggung Nara dengan kilatan kagum di matanya.
Saat pulang kerja, ketika Nara baru saja mau melangkah keluar dari pintu restoran yang sudah sepi, Seseorang mencekal lengannya dari belakang.
"Na." Orang yang mencekal lengan Nara itu memanggil.
Nara menolah, agak kaget ketika melihat Dion. "Mas Dion? Ada apa, mas?" Tanyanya dengan heran.
Dion menyerahkan kantung plastik dengan logo restoran. "Ini buat Aska. Dia suka makan ayam, kan?"
Nara tersenyum tak enak. "Aduh, mas. Kemaren juga mas Dion ngasih. Saya jadi gak enak."
Dion tersenyum. "Gak pa-pa, kok. Semua karyawan juga saya kasih." Ujarnya. Dia buru-buru melepaskan tangannya yang mencekal lengan Nara.
"Yaudah, makasih, ya, mas!" Nara menerimanya dengan senang hati.
"Sama-sama, Na. Jangan lupa bilangin kangen saya Sama Aska." Dion tersenyum dengan lebar, membuat kedua matanya menyipit menjadi bulan sabit.
"Kalo begitu, saya permisi dulu, mas Dion."
"Eh, Nara tunggu dulu." Melihat bahwa Nara yang hendak pergi, Dion kembali mengintrupsi.
Nara menatap Dion dengan heran. "Kenapa lagi, mas?"
"Itu -kamu mau saya anterin pulang?" Tanya Dion dengan kikuk.
"Eh, gak usah mas. Udah dikasih ayam aja saya ngerasa ngerepotin, mas Dion. Masa mau dianterin pulang segala." Tolak Nara dengan halus. Dia merasa bahwa dia terlalu merepotkan Dion.
"Gak pa-pa, Na. Sekalian saya mau ketemu Aska. Boleh, kan?"
Nara tersenyum ragu, dalam hati dia merasa sedikit aneh karena Dion rasanya seperti memaksa. Tapi tidak enak juga, kan, menolak tawaran seseorang dua kali? Apalagi ini bosnya.
"...yaudah, deh."
Senyum tak pernah luntur dari bibir Dion. "Kalo gitu kita ke parkiran. Mobil saya ada disana soalnya."
Nara mengangguk, mengikuti Dion berjalan menuju parkiran berada.
***
"Makasih, mas Dion." Ucap Nara ketika dia turun dari mobil Dion. "Aska, bilang makasih sama om Dion." Titahnya pada Aska.
Aska dengan mata bulatnya mendongkak, menatap Dion yang berdiri menjulang di hadapannya. Berucap dengan suara semanis s**u. "Makasih, om."
"Sama-sama Aska." Dion mengelus pucuk kepala Aska dengan lembut. "Kalo gitu saya permisi dulu, ya, Na. Om pulang dulu, Aska!"
Nara mengangguk. "Hati-hati, mas."
Dion masuk kedalam mobil, lalu melajukan mobilnya sampai tak terlihat oleh Nara.
Ketika mobil Dion tak lagi terlihat, Nara menuntun Aska masuk kedalam rumah.
"Mama, kok di jemputnya sama om Dion, sih. Papanya mana?" Tanya Aska ketika Nara sedang membuka pakaian anak itu.
"Mama gak tau." Jawab Nara cuek. Masih ada rasa tidak rela ketika Aska memanggil Arka dengan sebutan 'papa'. Masih ada rasa sesak tak terkira yang tertinggal.
Bibir Aska mengerucut sebal atas jawaban cuek Mamanya. "Lho, kok mama gak tau, sih?"
Nara mengajak Aska masuk ke kamar mandi. "Ayo mandi dulu, nanti Aska bau."
Aska menurut, dia membiarkan Nara menariknya kedalam kamar mandi. "Kok mama gak tau?" Ulang Aska.
Nara diam tak menjawab, fokus menyabuni tubuh putranya.
"Mama!"
Nara masih tak menjawab.
"Mama! mama !mama! mama!"
"Ask diam. Kalo lagi mandi gak boleh ngomong." Nara cukup kesal atas kecerewetan Aska.
Kenapa lelaki kecil itu malah bertanya padanya, sih?! Mana dia tau dimana pria b******n itu. Toh, Nara juga tidak ingin tau.
Aska cemberut, tapi dia tetap menuruti apa yang dikatakan ibunya. Selesai memandikan Aska, Nara melilit tubuh kecil Aska dengan handuk. Membawanya kedalam kamar.
Nara meletakan Aska diatas tempat tidur.
"Ambil yang ada gambal supelman, nya. Mah!" Riquest Aska saat Nara tengah mencari pakaian di lemari.
Nara mengambil sepasang pakaian bergambar superman kesukaan Aska. "Sini ngedeket ke mama." Titah Nara.
Aska mendekati Nara dengan segala tingkah tengil anak itu. "Deketin mamanya sambil lompat-lompat, ya. Mah!" Ujar anak itu sembari melompat-lompat diatas kasur.
"Aska jangan gitu, nanti kasurnya rusak terus Askanya jatoh. Sini cepet."
Aska menurut kali ini, tanpa banyak tingkah, dia mendekat kearah Nara.
Sebelum memakaikan pakaian, Nara terlebih dahulu mengoleskan minyak telon ke seluruh badan Aska, lalu setelah itu baru mengenakan pakaian superman untuk Aska.
"Yang banyak, ma! Supaya ganteng." Pinta Aska saat Nara mengoleskan bedak tabur ke wajahnya.
"Aska gak pake bedak juga udah ganteng." Puji Nara dengan tawa.
"Masa sih, ma?" Tanya Aska dengan raut wajah malunya.
Nara terbahak melihat tingkah anak itu.