HAI MAMA!

1317 Kata
SEMINGGU belakangan ini, Brian dibuat bingung dengan sikap bosnya. Sikap Arka yang tak seperti biasanya membuat Brian penasaran apa yang terjadi dengan lelaki itu. Perubahan sikap Arka di rasakan Brian sejak seminggu lalu, tepat saat dua hari setelah Arka memerintahkan Brian menyuruh orang untuk mencari tahu tentang perempuan bernama Nara Olivia. Dimulai dari Arka yang tiba-tiba saja meminta jadwal kerjanya agar di longgarkan, tertawa di tengah-tengah rapat sambil memperhatikan ponsel pintar, sampai pulang lebih awal dan berkata bahwa 'Arka akan menjemput anak nya di sekolah?' Apa bos Brian itu sudah gila karena terus-terusan ditekan untuk segera menikah dan mempunyai anak oleh bu Lidya? Semoga saja tidak. Jika Arka benar gila, dan perusahaan bangkrut. Brian akan kerja dimana? Lengan Brian terangkat, nampak ragu saat hendak mengetuk pintu kaca di depannya. Apalagi mendengar suara gelak tawa bosnya dari dalam. Brian berdehem pelan, menyiapkan diri menghadapi perubahan bos nya. Lalu mengetuk pintu. "Masuk!" Sayup-sayup, terdengar suara Arka yang menyuruh nya masuk dari dalam. Brian melangkah masuk kedalam ruangan Arka yang didominasi dengan warna abu-putih-hitam tersebut. "Pak." Arka terkikik, lalu menyahut. "Kenapa?." Kepalanya bersandar pada sandaran kursi kerjanya, satu tangannya terangkat memegang sebuah benda pipih. Dahi Brian berkerut. "Bapak, sehat kan?" Brian bertanya dengan hati-hati. Arka menurunkan lengan nya yang memegang ponsel, memandang Brian tak mengerti. "Saya sehat, sehat banget malah." Jawab Arka mantap. Lalu kembali fokus pada kegiatannya. "O-oh, ini pak ada berkas yang harus anda tanda-tangani." Brian menyodorkan sebuah map ditangannya kemeja Arka. "Taruh saja di situ." Titah Arka. "Anda juga memiliki jadwal makan siang ber-" "s**t! Jam berapa sekarang?" Brian kaget, Arka tiba-tiba saja berdiri dari duduknya, menanyakan jam padahal dia memegang ponsel. "I-ini jam du-" "Jawab jam berapa aja lelet banget! udah gak usah, saya udah tau." Setelah itu, lelaki berstatus bos Brian itu melenggang pergi dengan tebruru-buru. Brian yang masih belum pulih dari keterkejutan nya, masih melongok. Apa yang dialami bosnya itu salah satu contoh Overdosis kesehatan? *** "ONTY!" Aska yang baru saja memasuki halaman rumah berteriak nyaring saat melihat siapa yang sedang berdiri di depan pintu rumahnya. "Aska, jangan lari-lari gitu." Nara memperingatkan. Tapi Aska dengan kekeras kepalaannya tak mau mendengarkan Nara. Dia berlari merentangkan tangannya, membuat seorang wanita cantik yang sudah lama menunggu Nara dan Aska itu menyambut Aska dengan pelukan. "Acka! Onti kangen banget sama Acka." Wanita cantik dengan pakaian sedikit terbuka itu menciumi pipi gembul Aska dengan gemas. "Mbak Lia udah lama nunggu?" Tanya Nara. Perempuan yang Nara panggil mbak Lia itu tersenyum, menuntun Aska masuk kedalam saat Nara membuka pintu rumah dengan kunci. "Lumayan, Na." "Onty nungguin Aska, ya?" Tanya anak lelaki itu. Lia tertawa, lalu mengangguk membuat Aska tersenyum puas. "Aska main di kamar dulu, ya. Mama sama Ontynya mau ngobrol berdua." Pinta Nara pada Aska. Aska cemberut, tapi tak membantah. Dia berlari melenggang pergi meninggalkan Onty dan mamanya berdua di ruang tengah. "Kenapa, mbak?" Tanya Nara, dia duduk di sofa. Di depannya, Lia juga melakukan hal yang sama. "Suguhin minum. kek, Na. Pelit amat." "Eh, maaf mbak, Nara lupa." Nara tertawa, Lia juga ikut tertawa. "Santai aja, Na. Mbak becanda." Walau Lia berkata begitu, Nara tetap bangkit dari duduk nya. Berjalan kedapur membuatkan Lia es sirup. Tak lama, Nara kembali lagi dengan satu gelas es sirup di tangan nya. "Maaf mbak, cuma punya ini." Nara meletakan gelas itu di meja depan Lia. Kembali duduk di tempatnya semula. "Gak pa-pa, Na." Lia meraih gelasnya, meneguknya setengah. "Ada apa mbak?" Nara mengulangi pertanyaan yang sudah dia ajukan di awal. Lia menghela nafas nya, menyandarkan punggung nya pada sandaran sofa. "Aku lagi bingung banget, Na." Wanita cantik itu membuka cerita. "Soal apa lagi?" "Kamu tau kan apa pekerjaan aku?" Nara mengangguk, dia tau dengan jelas apa yang Wanda prapti axelia itu kerjakan. Seingat Nara, Wanda pernah bercerita jika dirinya bekerja menjadi seorang 'kekasih' pengusaha muda. Tapi dia tak tau siapa. Tentu saja kata 'kekasih' bukanlah hal yang tepat. Karena Wanda dibayar, menjadi 'kekasih pemuas nafsu' lelaki itu. Nara sudah beberapa kali memberi saran pada Wanda yang dia panggil 'mbak lia' itu. Lebih baik berhenti. Tapi Nara juga tak mau ikut campur terlalu dalam, apalagi menasehati. Apapun jalan hidup yang Wanda pilih, Nara akan selalu menerima Wanda apa adanya. Walau dia sadar Nara juga tidak bisa dibilang 'mendukung' apa yang Wanda lakukan. Bertahun-tahun lalu, Nara dan Wanda berada dipanti asuhan yang sama. Dia dan Wanda di besarkan bersama. Wanda juga salah satu orang yang terus mendukung Nara untuk bangkit dari keterpurukan nya lima tahun lalu. Membantu Nara memenuhi kebutuhan Aska saat Nara baru selesai melahirkan dan tidak punya apapun. Wanda adalah wanita yang berjasa dalam hidupnya. Dia membantu Nara bangkit dari rasa sakit. Itu sebabnya Nara tidak bisa membenci Wanda walau tau apa yang Wanita itu lakukan diluaran sana. "Kayaknya dia udah gak ngebutuhin aku, lagi deh." Ucap Wanda merenung. Nara diam, dia tidak tau harus senang atau sedih. "Yaudah, mendingan berhenti aja. Mbak. Lagian, ada mas Adimas yang mau nerima mbak apa adanya." Adimas yang dimaksud Nara adalah Adimas rendrapati. Lelaki yang bekerja sebagai dosen di salah satu universitas terkenal diibu kota. Adimas itu seumuran dengan Nara, yang berarti satu tahun lebih muda dari Wanda. Adimas sudah lama mengejar-ngejar Wanda, meminta wanita itu menjadi istrinya. "Aku gak bisa kalo sama Adimas, Na." "Lho, kenapa? Mas adimas kan orang baik, dia juga mau nerima mbak walau tau pekerjaan mbak." Wanda diam, tatapan matanya menerawang. "Justru itu, Adimas itu terlalu baik. Rasanya mbak gak pantes buat dia." "Mbak... " "Eh? udah jam tiga aja nih, Na. Gak kerasa kalo ngobrol sama kamu, tuh." Nara menghela nafas, tahu betul jika wanda hanya menghidar dari pembahasan. "Mbak pulang dulu, ya. Na." Wanda berdiri dari duduk nya. "Ati-ati, mbak." Wanda mengangguk, pamit pergi dari kediaman Nara. Nara hanya diam memandang punggung Wanda yang menjauh, menghilang. *** Keesokan harinya, setelah pulang bekerja, Nara memutuskan untuk segera menjemput Aska di sekolahnya. Tapi Wanita itu dibuat bingung saat melihat putra nya yang berdiri dengan seorang lelaki yang berjongkok men-sejajarkan tinggi nya dengan Aska. Lelaki itu seperti sedang berbicara sesuatu dengan putra Nara itu. Terlihat dari kepala Aska yang mengangguk-angguk mengerti. "Aska." Panggil Nara. "Mama!" Aska tersenyum riang, berlari memeluk kaki Nara. Lelaki yang membelakangi Nara juga bangkit, berbalik membuat jantung nara hampir copot melihat siapa yang- "Hai, mama." Arka! Nara terbelalak mendengar Arka memanggil nya 'mama'. "Kamu! berani-berani nya kam-" "Mama, jangan malahin, papa." Hah? Nara melihat Aska kaget, lalu melotot garang saat melihat Arka. Lelaki itu tersenyum amat menyebalkan di mata Nara. Papa? Apa Nara tidak salah dengar? Kenapa Aska memanggil b******n itu dengan kata 'papa?' apa? apa yang telah Nara lewatkan selama seminggu ini? "Aska, sayang. Jangan manggil nama orang asing sembarangan. Nanti Aska dimarahin." Perungat Nara dengan menekan kata 'asing' disana. Dahi Aska mengerut bingung, lalu manik abu nya menatap Arka dan Nara secara bergantian. "Tapi papa Alka bilang, papa itu, papanya Aska." "Apa yang kamu katakan pada Anak saya?" Tanya Nara marah. Arka sih hanya santai-santai saja. Dia tak perduli jika Nara tidak menyukai tindakan nya. Arka akan terus berjalan mendekat kearah mereka. "Saya hanya mengatakan Kebenaran." Jawab Arka, dengan penekanan dikata terakhirnya. Nara tertawa, tawa yang mempu membuat dahi kedua lelaki itu menyerinyit bingung. "Kenapa mama ketawa?" Tanya Aska. "Kebenaran? kebenaran apa yang anda maksud bapak Arka juna sadewa. Karena yang saya tau, kebenarannya adalah Aska adalah anak saya. Hanya anak saya!" Mendengar ucapan Nara, kali ini giliran Arka yang terbahak. "Kamu lupa kalo kita buat Aska sama-sama? atau kamu mau kita praktekan ulang, mungkin? membuat Aska kecil." Nara melotot, b******n ini membuatnya geram setengah mati. "Praktekan? kenapa tidak anda saja sendiri. Jalang anda kan banyak!" Balas Nara sewot. Arka tersenyum geli. "Eum, nanti kamu-" "Buk, pak." Salah seorang guru tiba-tiba saja menyela kedua nya. "Maaf, gimana kalo kalian berdua bicarakan 'itu' dirumah saja. Gak baik di dengar anak." Kali ini, Arka dan Nara sama sama terbelalak. Lalu menunduk melihat Aska yang juga memperhatikan kedua orang tua nya dengan mata berbinar. "Mama, Jalang itu apa?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN