"SEMOGA aja mbak."
Tak lama setelah itu, sebuah mobil berhenti tak jauh dari halaman depan rumah Nara. Membuat kening ketiga perempuan itu berkerut.
"Siapa tuh? bagus banget mobilnya." Kata Rani heran, tak biasanya mobil sebagus itu berhenti dikawasan rumah mereka.
"Nanya alamat mungkin, Ran."
Tepat saat Fitri menyelesaikan kalimatnya, pintu mobil itu terbuka. Aska keluar dari sana dengan senyum mengembang.
"Mama!" Anak itu berteriak girang, berlari menghampiri Nara yang langsung menyambutnya dengan pelukan.
Perasaan gelisah, takut dan khawatir keluar menjadi air mata. Aska diam dengan bingung. Punggung Nara bergetar membuat Aska bertanya.
"Mama kenapa?"
Nara melepaskan peluakannya. Rasa sedih yang dia rasakan berubah menjadi rasa marah. "Aska mulai nakal ya?! Aska lupa apa kata mama waktu itu?! Jangan-"
Belum selesai Nara berbicara, seseorang langsung memotongnya. "Saya yang bawa Aska pergi tadi." Suara berat dan tajam seorang lelaki membuat Nara mendongkak.
Deg!
Terlalu fokus pada Aska yang baru saja pulang, membuat Nara tak memperhatikan siapa yang membawa anaknya itu.
Rani dan Fitri hanya diam melihat lelaki yang turun dari dalam mobil bersama Aska. "Ganteng banget, mbak. Matanya mirip Aska." Rani berbisik pada Fitri, yang ditanggapi Fitri dengan anggukan.
Ya, sekali lihat pun, mereka tau jika lelaki itu adalah papa Aska. Mereka memang semirip itu.
Nara dan Arka berdiri berhadapan, dengan Aska di antara mereka. Bibir Nara bergetar melihat Arka. Rasa sesak memenuhi hati nya kala melihat manik mata abu-abu itu lagi setelah lima tahun lamanya.
'Na, kita aborsi aja anak itu.' Suara Arka lima tahun lalu yang meminta nya melenyapkan Aska membuat Nara secara reflex menyembunyikan Aska di belakangnya.
"Ran." Panggil Nara.
"I-iya mbak?" Rani jadi gugup sendiri melihat 'drama' di hadapannya.
"Tolong bawa masuk Aska, ya. Makasih udah nemein mbak tadi. Makasih juga Mbak Fit, udah nemenin saya."
Rani membawa Aska masuk kedalam rumah, dan Fitri juga pamit pulang. Meninggalkan dua insan bersama matahari yang mulai tenggelam.
Mereka bertatapan, cukup lama hingga akhirnya Nara membuka suara.
"Maaf merepotkan, anda. Lain kali, gak usah repot-repot buat jemput anak saya."
Dahi Arka mengerut tak suka. Kenapa Nara berbicara seolah mereka baru pertama kali bertemu? Kenapa Nara berbicara seolah Arka ini orang asing?
Lo emang orang asing.
"Karna ini udah hampir maghrib, sebaiknya anda pulang. Saya permisi." Nara hendak berbalik pergi, tapi Arka tak membiarkannya pergi semudah itu.
"Tunggu, Na." Arka mencekal lengan Nara erat. "Via-"
"Jangan panggil saya dengan panggilan itu!" Nara marah, dia melepaskan cekalan tangan Arka padanya. Masuk kedalam rumah dengan luka yang kembali menganga.
"Na! Nara!"
Arka berdiri disana, mengepalkan telapak tangan yang tadi mencekal lengan Nara.
Tak ada yang berubah dari Nara, mungkin hanya sekarang, banyak luka dihatinya. Tatapan mata Arka melemah, berbalik pergi menuju mobilnya.
***
Nara masuk kedalam rumah, mengunci pintu lalu luruh terduduk di lantai, bersandar pada pintu.
Wanita itu menangis hebat, seolah ingin melepaskan rasa sesak yang sudah membengkak. Air matanya mengalir deras, satu telapak tangannya menutup wajah, dan yang satu mencengkram d**a dengan erat.
Kenapa sesakit ini? Nara fikir, selama lima tahun ini, dia sudah berhasil bangkit dari keterpurukan. Nara fikir dia sudah sembuh dari luka. Tapi kenapa luka dihantinya kembali menganga hanya karena melihat lelaki itu kembali?
Nara memang sudah berhasil merangkak keluar dari masa tersulit di hidupnya. Nara memang sudah berhasil bangkit dari keterpurukan nya. Tapi tanpa Nara sadari, luka di hatinya belum sepenuhnya mengering.
Bukan, bukan karena Nara melihat orang yang di bencinya kembali. Luka itu kembali basah karena mengingat hal yang dilakukan lelaki yang di cintainya. Tanpa sadar, semua rasa benci coba Nara tanam dalam hatinya hanya kamuflase untuk menutup luka yang menganga.
"Mama?" Aska yang sedang bermain di kamar, segera keluar saat mendengar suara tangis memilukan ibunya.
Mata abu anak itu berkaca-kaca. Lalu tanpa mengerti apapun, berlari memeluk ibunya. Menangis dengan kencang. "Mama, huwaa! ma--mama kenapa?"
Nara membawa Aska kedalam pelukan nya, tak menjawab pertanyaan apapun yang Aska tanyakan disela isak tangis.
Kenapa? kenapa baru sekarang?
Setelah lima tahun lamanya, kenapa baru sekarang Arka menunjukan dirinya pada Aska? Apa yang lelaki itu inginkan sekarang?
Dari awal, Nara tau dia tak akan pernah bisa benar-benar pergi dari Arka. Dan Nara juga tau bahwa Arka tidak pernah benar-benar menghilang dari penglihatan Nara.
Arka itu orang yang berkuasa, dia bisa saja menemukan Nara kapanpun. Bahkan jika Arka mau, dia bisa menemukan Nara sehari setelah peristiwa yang menyakitkan itu.
Disamping itu, Nara juga tidak pernah berniat bersembuyi dari Arka. Nara hanya menunggu, jika suatu hari Arka menginginkan nya lagi. Menunggu Arka menjemputnya dengan putra mereka.
Tapi itu dulu, sekarang semuanya berbeda. Sekarang Nara tak perduli dengan apapun. Sekarang, Nara tak mengharapkan 'apakah Arka akan menjemput nya?' Tidak, sekarang hanya Aska yang Nara perdulikan.
"Ma--hiks! hwaa." Aska masih menangis dengan keras, masih berada didalam pelukan Nara
Mendengar Aska menangis, Nara ingin tertawa karenanya. "Aska kenapa nangis?" Tanya Nara. Dia mengusap wajah Aska yang penuh air mata dan ingus.
"A--abis nya, hik, mama nangis." Jawab Aska dengan cegukan.
Nara tersenyum, tangisnya telah mereda. "Askanya nakal, makannya mama nangis."
Manik abu Aska berlinang air mata. "Aska janji gak bakal nakal lagi, hik." Aska yang masih dalam pelukan Nara mendongkak, mengusap ingusnya dengan baju Nara.
Nara tertawa melihat tingkah Aska.
"Kemaren juga Aska bilang nya kayak gitu." Ucap Nara pura-pura cemberut. Matanya masih terlihat sembab.
"Hik, Om nya bilang mau beliin Aska ice cleam."
"Jadi Aska lebih sayang ice cream dari pada mama?"
"Bukan! bukan! Aska, hik, sayang mama. Tapi-tapi Aska suka ice cleam. hu hu hu."
"Kak Rani, nya kemana?"
"Pu-pulang... hik ...lewat belakang."
Nara tertawa lagi, tawa yang kini hanya Aska penyebab dan penikmatnya.
***
Arka duduk di balkon kamar dengan secangkir kopi dan rokok yang terselip di jemari tangan nya. Seolah sudah berteman baik dengan malam, dingin nya angin malam tak mengganggu Arka yang sekarang tengah termenung.
Sesekali, bibir nya menghisap rokok ditangan nya. Membuat segumpalan Asap keluar menyatu dengan malam ketika Arka menghembuskan nya kembali.
Arka sekarang tak sedang berada di rumah kediaman Sadewa, dia berada di Apartmen nya sendiri. Arka terlalu lelah jika dia pulang nanti harus mendengar ocehan sang mami yang menyuruh nya cepat menikah.
Katanya, umur Arka yang sudah duapuluh delapan tahun, seharusnya sudah mempunyai dua anak sekarang.
Aska, mengingat putra kecil nya tak mengenalinya sebagai ayah membuat hati Arka berdenyut perih. Arka tak suka dengan panggilan 'Om' yang Aska berikan.
Nara, kenapa wanita itu tak berubah, jika secara fisik mungkin, hanya rambut hitamnya saja yang terlihat agak pendek. Lima tahun lalu, terakhir Arka lihat, rambut hitam Nara panjang sampai pinggang.
Drtt drtt
Ponsel Arka yang tergeletak di atas meja kaca, bergetar. Pertanda seseorang menghubungi.
Lengan Arka terulur, sebelum itu dia membuang lebih dulu rokok ya pada asbak. Kontak bernama 'Sebastian' tertera disana.
[Halo] Disebrang sana, Sebastian mengawali. Arka menyerinyit ketika mendengar suara di sekitar Sebastian. Apa teman nya itu sedang di Club malam?
"Hm." Sahut Arka cuek. Sesekali, dia menyeruput kopinya. Punggung bersandar pada sandaran kursi yang terbuat dari rotan.
[Dimana, lo?] Suara krusak-kuruk bercampur bercampur dengan suara musik yang bergitu keras membuat Sebastian sedikit berteriak.
"Apartmen." Jawab Arka singkat.
[Gue kesana, yak. Sekalian mau curhat, gue]
"Terserah."
[Oke kalo gitu]
Tut!
Bastian mematikan sambungan telfon. Arka menyimpan kembali ponselnya, menghela nafas lelah.
Dua puluh menit kemudian, bel apartmennya berbunyi. Membuat Arka mau-tak-mau harus bangkit berdiri dan membukakannya.
Saat Arka membuka pintu, Sebastian disana dengan-Jalang. "Cih! Lo gak bilang mau bawa jalang." Arka berdecih, melenggang masuk kedalam dengan di ikuti Sebastian dan seorang wanita cantik yang menempel manja pada Sebastian bak lem.
"Iya deh, iya yang punya jalang pribadi." Sahut Sebastian tak perduli. Dia duduk bersandar pada sofa panjang apartmen Arka. Di sebelah nya, jalang itu ikut duduk. menyandarkan kepalanya pada bahu sebastian.
"Siapa?" Tanya Arka, dia berjalan ke meja bar, membuatkan secangkir kopi untuk Sebastian.
"Wanda, kalo lo lupa."
"Siapa yang nanya."
"Ha ha ha, anjing, gak lucu."
Setelah selesai, Arka menghampiri Sebastian, meletakan secangkir kopi di hadapan sahabat nya itu. Arka duduk di sofa yang berhadapan dengan Bastian.
"Jadi?"
Sebastian nampak, diam. Sesekali, tangannya nakal meraba tubuh si jalang. "Gue mau nikah." Itu katanya.
Arka mengangguk-anggukan kepalanya. Bibir nya menipis. "Oke."
"Gue serius, nih!"
"Terserah."
"Dad, dia punya temen dan dia pengen gue nikah sama anak temen nya, terus bla bla bla. Sumpah gue males banget!"
"Terus apa masalah nya?"
"Masalah nya, temen nya Dad itu orang kampung. Dan lo bayangin bakal seberapa udik anak nya nanti." Sebastian bercerita dengan suara yang menggebu-gebu dan terdengar frustasi.
Arka diam, dia juga tak tau harus menanggapi seperti apa.
"Menurut gue." Ucap Arka, lalu dia menjeda ucapannya.
"Ya?"
"Pergi aja sana, lo sama jalang lo ganggu mata gue!"
"Setan, lo!"