ARKA meregangkan otot-ototnya yang kaku. Duduk berjam-jam memeriksa berkas-berkas membuat kepala Arka pening bukan main.
Lantas, Arka berdiri. Berjalan meraih jasnya yang tersimpan di atas sofa panjang, memasangnya lalu melenggang keluar dari ruangan.
Waktu pulang kerja masih ada beberapa puluh menit lagi. Tapi, Arka yang mempunyai 'hal penting' sudah tidak sabar jika harus menunggu lebih lama lagi.
"Pak!" Brian berdiri dari kursinya, membungkuk sopan kala Arka melenggang lewat. Lalu, dengan segera dia mengikuti bosnya dari belakang.
"Apa jadwal setelah ini?" Tanya Arka. Dia amat tau jika dirinya keluar dari ruangan, diminta atau tidak, Brian akan mengikutinya dari belakang.
"Jadwal anda sore ini adalah bertemu dengan calo-"
Arka menghentikan langkah nya, membuat Brian dibelakangnya juga ikut berhenti.
"Apa?" Arka bertanya tak mengerti.
"Ibu Lidya menjadwalkan anda untuk bertemu deng-"
"Oke, batalkan."
"Hah? tapi pak ibu anda-"
Arka berdecak malas, sekali lagi memotong ucapan Brian. "Kamu itu sekertaris saya atau sekertaris mami sih?" Kesal Arka.
"Sekertaris Bapak." Jawab Brian.
"Yaudah, turutin kata-kata saya kalo gitu." Arka berbalik, kembali melangkah meninggalkan Brian yang masih terdiam di tempatnya.
Iya sih, tapi nanti gue yang kena sama bu Lidya. Sekali lagi, Brian mendumel kesal dalam hati.
***
Mobil mewah Arka berhenti didepan kawasan sebuah Taman kanak-kanak. Arka keluar dari dalam mobil, berjalan dengan angkuh menuju kawasan dalam TK.
Taman kanak-kanak itu sudah mulai sepi, mungkin karena waktu pulang sekolah sudah sendari tadi. Tapi masih ada beberapa anak yang baru dijemput orang tuanya, satu-dua anak juga masih menunggu jemputan.
Manik abu Arka berkeliling mencari seseorang. Lalu, berhenti pada seorang anak lelaki berusia 4 tahun yang sedang berdiri tak jauh dari pedagang gulali di belakangnya.
Arka berjalan menghampiri. Beberapa guru dan orang tua murid yang melihat nya terpesona. Arka begitu mencolok dengan jas dan manik abunya.
"Om siapa?" Dahi Aska mengerut melihat seorang lelaki dewasa yang tiba-tiba saja berdiri menjulang di hadapannya.
Om? Arka tidak suka panggilan itu.
"Kamu Aska?" Bukannya menjawab, Arka malah balik bertanya. Meneliti setiap inci fisik Aska yang amat mirip dengan dirinya saat diusianya dulu.
Aska mengangguk pelan.
"Aska kok belum pulang?" Arka bertanya lagi, dia berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan Aska.
"Mamanya belum jemput." Jawab Aska.
Arka pura-pura mengangguk mengerti. Padahal tanpa bertanya pun, Arka sudah tau itu.
"Aska mau ikut, Om?" Sialan! kenapa terdengar seperti penculik anak sih?!
Kerutan dikening Aska bertambah jelas. "Kemana?"
"Beli ice cream. Aska suka ice cream kan?"
Mendengar kata 'ice cream' kerutan didahi Aska menghilang. Digantikan binar dimata abu-abunya.
"Suka om! Aska suka banget sama Ice cleam." Arka tertawa mendengar suara cadel Aska yang menyebut kata 'Ice cream'.
Mata Aska memincing. "Kenapa om ketawa?!" Sentak Aska galak.
Arka menggeleng, mencoba menghentikan tawanya. "Gak, gak pa-pa. Yaudah ayo." Saat Arka hendak meraih Aska dalam gendongan nya, Aska malah menghindar.
"Bental om, Askanya mikil dulu." Lalu, anak itu tampak berfikir. Satu tangannya terlipat dan satu tangan bertumpu dengan jemari mengelus dagu.
Tawa Arka hampir saja menyembur lagi melihat bagaimana gaya Aska berfikir. Ck, anak siapa sih.
Didalam otak kecil Aska, 'Tim penyuka ice cream' dan tim 'Sayang mama' sedang berdebat sekarang.
'Tim penyuka ice cream' yang meraung meminta agar Aska segera menyetujui ajakan Om yang diam-diam memperhatikan dirinya itu.
Sedangkan 'Tim sayang mama' Berkata dengan nada selembut sutra, katanya, tidak baik pergi dengan orang asing.
Tapi masalahnya, ini adalah ice cream!
Kening Arka berkerut, sudut bibir nya berkedut. Sesusah itu kah berfikir? ya ampun! Arka menjadi sangat yakin jika Aska adalah anak nya.
"Yaudah, ayo om. Tapi sebental aja ya, nanti mama nyaliin." Putus Aska akhirnya.
Yang membuat Arka tersenyum puas!
"Ayo, mau om gendong?" Tawar Arka.
Aska menggeleng, lalu menjawab. "Gak mau! Aska udah besal"
Mengangguk, Arka menuntun Aska menuju tempat dimana mobil nya terparkir.
***
Lima tahun lalu, saat Nara lebih memilih mempertahan kan bayinya dan pergi dari hidup Arka, Arka tak mengerti apa yang di fikirkan wanita itu.
Bukankah bersama Arka lebih menyenangkan?
Tapi kini, setelah melihat bocah lelaki yang sibuk menikmati ice cream nya dengan mulut penuh serta mata abu yang berbinar, Arka mengerti. Sangat mengerti hingga membuat dadanya sesak kala mengingat apa yang dia lakukan Lima tahun lalu.
Lihat itu, siapa yang lima tahun lalu dengan kejam ingin melenyapkan anak sekecil itu. Terlebih saat masih di dalam rahim ibunya.
Itu elo bego! Benak Arka berteriak. Ya, benar dia memang sekejam itu. Seolah menjadi b******k saja tidak cukup.
"Aska suka?" Arka adalah salah satu dari sedikit orang yang tidak begitu menyukai makanan manis, seperti ice cream. Tapi melihat bagaimana bahagianya Aska menikmati ice creamnya, Arka tidak bisa untuk tidak bertanya.
Aska yang sedang sibuk menyantap ice creamnya, mendongkak menatap Arka yang hampir saja dia lupakan keberadaannya. Karena ice cream.
"Uhm." Aska meringis dingin, mengangguk sebagai tanggapan. "Enak om! Ice cleam nya juga gede!"
Arka tersenyum, tangan kekar nya terulur, jemari Arka menyeka sisa ice cream yang belepotan di pipi serta sudut bibir Aska.
"Pelan-pelan." Peringat Arka.
Aska menggeleng, lalu meringis dingin lagi. "Uhm, abisnya halus cepet-cepet. Nanti mama malah."
Arka diam, rasanya tidak rela kembali jauh dengan Aska. "Mama pernah marahin, Aska?"
Tanpa menghentikan kegiatannya, Aska berfikir sebentar. "Pelnah, kalo Aska nakal, mama malah." Jawab anak itu.
"Mama pernah mukul Aska?" Sekali saja Arka tau jika Nara pernah memukul putranya, dia-Arka tak akan pernah melepaskan wanita itu.
Aska menggeleng. "Mama gak pelnah mukul Aska. Tapi mama suka nagis kalo liatin Aska tidul." Ya, Aska tau.
Aska tau jika selama ini, Ibunya akan menangis saat malam datang. Sambil memperhatikan nya yang tertidur.
Arka tertegun di tempatnya. Benarkah? benarkah wanita itu menangis? Apa Nara menyesal telah melahirkan Aska? Tiba-tiba saja, rasa sesak memenuhi d**a Arka saat berfikir, bisa saja Nara menyesal telah melahirkan putranya.
Melihat wajah Aska yang berubah sendu, Arka mengusap pucuk kepala anak itu. "Ayo abisin, ice creamnya. Om anterin Aska pulang."
***
Nara panik, dia panik saat tak mendapati Aska di sekolahnya.
Tadi di tempat kerja, Nara harus pulang sedikit telat karena bos tempat nya bekerja meminta Nara membersihkan tempat itu terlebih dahulu sebelum pulang.
Alhasil, beginilah sekarang. Kepanikan Nara bertambah saat beberapa guru dan satpan yang Nara tanyai berkata bawa tadi seorang lelaki berjas membawa Aska pergi.
Lelaki itu begitu mirip dengan Aska. Warna bola mata mereka juga sama. Kemiripan dua orang itu membuat orang-orang berfikir bahwa lelaki itu adalah ayah Aska.
Jadi, satpan membiarkannya membawa Aska pergi.
Mirip? Manik mata abu selain milik Aska? siapa? tidak mungkin 'dia' kan?
Mata Nara terasa panas, jantungnya berdetak cepat. Dia sudah dua kali bolak-balik rumah-sekolah, tapi Aska tak kunjung ditemukan. Satpan sekolah juga ikut mencari Aska, tapi tetap tidak ketemu.
Sekarang, Nara berada di depan halaman rumahnya. Berharap Aska pulang nanti nya.
"Mbak, jangan nangis. Bisa aja Aska diajak main sama orang tuanya, Rendy, kan?" Ucap Rani.
Rani adalah seorang mahasiswi yang kebetulan kostan nya berada dibelakang rumah Nara. Dia adalah salah satu orang yang Nara repotkan jika Nara ada keperluan dan tidak bisa membawa Aska bersamanya. Selain orang tua yayan.
"Enggak Ran, tadi pas disekolah gurunya Aska udah nelfon mamanya Rendy, dia bilang Aska gak ada sama dia."
"Mungkin main sama temennya, Na. Kamu sabar dulu aja, nanti siapa tau Aska pulang."
Fitri, ibu dari yayan itu mengusap punggung Nara dengan lembut. Menenagkan.
"Semoga aja, Mbak."