Mulai Lelah.

1250 Kata
Belakangan ini dia kesulitan untuk tidur. Kesal, marah, seperti ada api di dalam tubuh yang tidak sanggup ia padamkan. Jihan pernah dengar bahwa yang sulit itu bukanlah menenangkan orang lain melainkan diri sendiri. Saat ini Jihan sadar, dia sedang marah pada diri sendiri karena tidak tahu harus berbuat apa terhadap perasaan dan nasib hubungan dengan sang pacar. Jihan menatap satu persatu foto dia dan Abhi yang tersimpan di galeri ponsel, detail setiap kenangan itu di pungut satu persatu. Jihan tahu rasa yang ditahan ini terasa sangat sesak, tapi jika dia ungkapkan, Jihan sangat takut justru bisa merusak. Jujur saja yang menahan tetap diam akhir-akhir ini karena takut dengar jawabannya tak sesuai harapan. Terakhir komunikasi dengan Abhi hanya semalam, berjanji akan menghubungi kembali. Nyatanya, sampai siang ini yang di dapati tidak ada. Jihan tidak berharap banyak, jika tidak sempat menelepon setidaknya satu Chat pendek saja sudah bisa menjadi air yang berhasil menyiram rasa panas di dadànya. Semakin dewasa, Jihan semakin sadar, bahwa dia tak butuh hanya seorang pacar. Dia butuh tempat pulang, penenang saat kepala terasa akan meledak seperti sekarang karena pekerjaan yang menuntut, atau pendengar saat hatinya terasa sesak dan isinya siap berhamburan keluar. Bodohnya dia mengantungkan harapan padanya, karena lima tahun bagi Jihan bukan waktu sebentar, dan harus berakhir dengannya bukanlah tujuan Jihan bisa bertahan sejauh ini. Selesai makan siang, Jihan dan Maya kembali ke ruangan. Sebenarnya masih ada waktu lima belas menit lagi jam istirahat. Jihan tidak berlama-lama karena sedang tak ingin berada di tempat ramai dengan pikiran yang sedang berkelana. Syukurlah, Maya seperti menyadari perasaan Jihan yang sedang kalut hingga Maya biasanya cerewet, hari ini terlihat ikut diam. Ponsel Jihan berdering sebelum dia menyalahkan laptop. Mama telepon. "Halo" Terdengar suara Mama. "Halo Ma" balas menyapa, "Ya, Ma?" "Teteh, sehat?" Mama selalu bertanya kondisi Jihan terlebih dahulu. Nggak, jika itu pertanyaan diarahkan pada hati teteh, Ma.... Ingin sekali dia berkata seperti itu. "Sehat. Mama?" Fisiknya sehat, tidak hati. "Sehat. Teteh dikantor? Ini mama telepon, ganggu kerjaan teteh, nggak?" "Iya dikantor lagi istirahat. Kenapa, Ma?" "Katanya Juju, udah kabari teteh?" Tanya Mama berhati-hati. Jihan tahu keputusan akan diambil keluarga kali ini berat, nama adik wanita satu-satunya adalah Juwita. Juju adalah panggilan sayang Jihan untuknya dengan selisih usia mereka tiga tahun, kebetulan mereka hanya dua saudara. Ikatan sangat kuat, Jihan sangat menyayangi Juju. Bulan depan adiknya lamaran, calon suaminya akan dipindahkan kerja ke Kanada, jadi memutuskan untuk bawa Juju tentu dengan ikatan yang sudah sah. Juju punya pikiran untuk menolak karena tidak enak hati harus melangkahi sang Kakak. Mengatakan, akan berusaha bisa jalin LDR seperti Kakaknya. Walau Juju tidak punya keyakinan bisa sepertinya. Jihan bahkan dapat gelar The Queen untuk status pacaran LDR yang bagi Juju sangat luar biasa, bisa bertahan selama itu. Bagaimana dengan perasaan Jihan? Jihan menyayangi Juju lebih dari diri sendiri walau keputusan ini akan membuat sebagian pandangan orang-orang yang mencibir hidupnya, akan semakin mengejek. Tapi, Jihan tak akan peduli seperti biasa. Paling penting untuknya adalah kebahagiaan Juju. Takdir Tuhan pun memilih dan menghendaki Juju yang lebih dulu menikah. "Sudah Ma, awal bulan depan, kan? Teteh pasti pulang ke Cipanas." Setelah lulus kuliah, Papa pensiun dan pilih mengurus perkebunan keluarga. Papa memang investasi di kampung halaman, katanya dia ingin menghabiskan masa tua di tempat yang hijau, segar dan menenangkan. Jihan juga sesekali pulang ke Cipanas, jika kepalanya sudah sangat penat dengan kerjaan. Di sana sangat menenangkan, selain tempat dan kondisi alam, berada dekat dengan orang tua dan keluarga adalah tempat yang memang selalu nyaman. Mama diam beberapa detik, tidak langsung menanggapi. "Teteh, ikhlas?" Tanya Mama lagi. Jihan sangat menyadari ada rasa sedih di suara Mama. "Mama tahu teteh lebih dari siapa pun. Nggak ada aturan nikah di dalam keluarga harus berurutan... Iya, kan? Kalau soal adat, apa itu syarat beri hadiah karena melangkahi atau apalah itu, nggak usahlah pakai begituan. Terpenting buat teteh, Juju bahagia." Jihan sangat tahu Mama saat ini sedang dilema, Mama menyayangi mereka berdua sama besarnya. Orang tua selalu ingin lihat anaknya bahagia secara bersamaan. "Jangan pedulikan omongan orang tentang aku, Ma." ucap Jihan menebak apa yang jadi beban pikiran mama, memikirkan perasaan sang anak. Jihan baik-baik saja, walau pun omongan orang diluar sana pasti ada saja yang tentu tak mengenakkan. Jihan tidak peduli, because you were not born to impress someone to you. "Mama hanya pastikan langsung dari teteh." "Aku baik-baik saja, Ma. Percayalah." kata Jihan dengan yakin agar mama semakin percaya. "Kabari kalau kamu mau kesini." "Pasti Ma, aku nggak akan lewati makanan yang mama siapkan setiap teteh pulang." Nasi liwet, pepes ayam, sambal, lalapan segar dari kebun. Ya, makanan kampung, sederhana tapi rasanya luar biasa. Jika Jihan tidak mengabari mama ketika akan pulang, dia pasti akan kecewa karena mama tidak menyiapkan makanan-makanan luar biasa itu. Mama terkekeh lega mendengarnya. "Teh.." panggilnya lagi, dan kali ini perasaan Jihan jadi tidak nyaman "Abhi bagaimana kabarnya?" Pertanyaan paling di hindari Jihan. Susah payah Jihan menelan ludah, mencoba terdengar normal. "Baik ma, baru dari Jakarta. Cuman sebentar, langsung balik lagi. Jadi nggak bisa ke Cipanas" Kalau Abhi agak lama, Jihan yakin mereka pasti akan ke rumah orang tua Jihan. "Mama boleh undang Abhi datang ke acara lamaran Juju, teh?" "Ya udah biar nanti aku yang telepon Abhi, ma." Keyakinan berada di angka nol koma satu persen, Abhi sudah pasti tidak datang. Tapi mengatakan itu akan memancing curiga Mama, Jihan tak mungkin bercerita pada mama sekarang. Masalah Jihan yang dilangkahi Juju saja sudah jadi dilema buat Mamah. Perbincangan mereka berakhir setelah mama bercerita bahwa papa sekarang mulai menanam stroberi, tidak hanya sayur-mayur. Lalu papa baru membuat greenhouse seluas delapan puluh meter persegi untuk tanaman pakcoy, perkebunan orang tuanya juga sekarang punya Website dan menggunakan media sosial untuk perluas pasar. Karyawan juga sudah bertambah banyak, Jihan senang mendengarnya. Niat awal hanya sekedar hobi papa dan mama, kini malah berbuah manis. Papa malah berharap Jihan mau ikut mengelola perkebunan, itu adalah tawaran bagus, Jihan akan pertimbangkan jika sudah jenuh dan tidak tahu apa lagi yang mampu buat dia untuk bertahan di kota Jakarta ini, jauh dari keluarga. Balik lagi ke hubungan Jihan dan Abhi, keluarganya tahu dia menjalin hubungan dengan Abhi sejak awal. Mereka saling terbuka tentang keluarga masing-masing, sudah saling dibawa ke keluarga untuk dikenalkan. Jalurnya sudah terbuka, kan? Bukan hal sulit jika mereka akan melangkah ke jenjang pernikahan, tinggal mereka bicara, merancang, menjalankan. Jihan memejamkan mata, menekan rasa sesak itu agar tidak muncul ke permukaan. Akan buruk jika dia menangis sekarang, Jihan tak akan melakukan hal memalukan seperti itu. Posisinya sekarang seperti sedang patah hati padahal Abhi masih bersama dirinya. Ah sudahlah! Pasti selalu tidak baik meski wanita berlogika bagus sekali pun karena ketika berurusan dengan hati, perasaan akan mengambil peran rasionalnya sampai kerjaan lain ikut terasa jadi berat. Jihan sampai punya keinginan kuat untuk pergi dari kantor saat itu juga lalu dalam bayangan bermalas-malasan sambil meratapi nasib cinta di atas tempat tidur nyamannya. Tok... tok... tok... "Boleh saya masuk?" Suara ketukan pintu dan seseorang yang muncul menarik Jihan ke realitas. Ya, cinta tidak boleh sampai menghambat siklus hidup Jihan yang sudah susah payah di bentuknya ini. "Oh, ya... silakan Pak Ruri! Ada yang bisa saya bantu?" Lelaki itu membawa langkahnya dengan sangat berkarisma, tatapan yang lagi-lagi tidak Jihan suka setiap menatapnya terlihat bagai Jihan seorang tikus putih dan dia adalah predatornya. Ruri berhenti di dekat meja, sialnya harum parfum maskulin mahal lelaki itu sangat menusuk hidung Jihan. "Tentu, Jihan Salim." Mata Jihan membola, Ruri memanggil dengan nama langsung dan lengkap, jelas saja terasa asing di telinga Jihan, sebelumnya tidak pernah seperti ini. [to be continued]
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN