Jihan memarkirkan mobil di zona parkir khusus untuk para atasan di perusahaan, hari ini Jihan tidak menyanggul cepol rambutnya sehingga menunjukkan rambut lurus sepunggung yang diikat ekor kuda. Dari semua bagian anggota tubuhnya, rambut adalah bagian favorit Jihan. Dia sangat mencintai rambutnya selain alis yang tebal dan rapi alami. Jihan bersyukur ikut mama yang rambutnya panjang, hitam dan lurus. Jihan memakai blazer berwarna grey, dengan celana grey dan kaus turtle neck putih tanpa lengan.
Dia sangat nyaman dengan gaya kantor seperti itu dibanding memakai rok span diatas lutut.
Ponselnya berdering tepat saat mematikan mesin mobil, matanya melirik monitor ponsel. Nama Maya tertera di sana. Astaga asistennya itu pasti sudah panik karena Jihan sedikit telat!
Jihan menjawab sambil menutup pintu mobil, lalu menguncinya. "Halo Maya—“
"Lo di mana sih?!" Suara panik Maya menyambut Jihan yang bahkan belum selesai bicara. "Pak Ruri udah menunggu lama nih!" beritahunya.
Ruri dan Jihan kedudukannya sama. Posisinya di perusahaan ini tidak lebih tinggi, Ruri jelas bukan atasan Jihan. Tapi, Jihan tahu apa yang membuat Maya merasa tidak enak, itu karena Ruri anak pemilik perusahaan tempat mereka bekerja. Orang-orang menghormatinya sama seperti Pak Ardyan, pemilik perusahaan ini. Terkecuali Jihan, dia tetap melihat Ruri hanya rekan kerja yang di ukur berdasarkan kemampuan kerjanya bukan status pribadinya.
"Tempat parkir, menunggu berapa lama sih memang?" Jihan sudah di lobi, berhenti di depan Lift lalu menekan tombol naik.
Ting!
Pintu terbuka, Jihan membawa langkahnya masuk.
"Yaaah, lima menitan." jawab Maya. “Tapi, gue nggak enak.” Lanjutnya sambil berbisik, pasti Maya ada di sana bersama Ruri.
"Baru sebentar itu. Lo udah siapkan bahan presentasinya, kan?"
"Begitu sampai juga udah langsung disiapkan, Bos! Makanya cepat kesini, gue kan nggak enak sama pak Ruri dan Gandih, mereka sudah menunggu lo lama!" Maya harus mengulang-ulang kalimatnya, seakan Jihan tidak dengar kalimat sama sebelumnya yang dia ucapkan.
Jihan menarik napas dalam, Maya kalau panik memang menyebalkan, dia sudah sangat hafal.
"Gue udah di lift, nggak sampai satu menit sampai." Jawabnya lalu mematikan panggilan tersebut.
Tidak berselang lama Jihan sudah sampai di lantai delapan belas, tempat meeting diadakan di divisi yang Ruri pimpin. Dari luar Jihan memperhatikan, bagaimana ekspresi Maya dengan sedikit aneh, duduk di dekat Gandih—Maya bersandar sambil memperhatikan layar laptopnya, sedangkan Gandih terlihat memperhatikan Maya—Asistennya itu sedikit risi sehingga terkesan menghindari Gandih. Dua lelaki itu sama buruknya, suka tebar pesona.
Sedangkan Ruri, Jihan melihatnya duduk santai dengan mengotak-atik ponsel pintarnya. Ada empat gelas yang diduga berisi teh atau kopi sudah tertata manis diatas meja tersebut, sama sekali tidak tampak sebagai orang yang sedang gelisah karena menunggu seperti paniknya Maya tadi.
Jihan menghela napas, dia teringat waktu lalu ketika Ruri datang ke ruangannya dan memanggil dengan nama, Jihan tidak menganggap itu terlalu penting, menganggap lelaki itu hanya sedang bosan memanggilnya seperti biasa ‘Bu Jihan’, memang sebenarnya usia mereka juga tidak jauh.
Dia mengetuk pintu kaca sebelum masuk. Seluruh mata tertuju padanya.
“Maaf untuk keterlambatan saya.” Dia minta maaf karena terlambat beberapa menit. Tidak menunda Jihan minta ijin untuk mulai, mengambil posisi berdiri di depan tapi Jihan agak tersinggung karena pria di depannya memandang dengan aneh, Jihan menyebutnya bagai predator. Seperti biasa.
Jihan tahu sepak terjang pria di depannya ini. Jihan tak tahu apa yang sedang dipikirkan dengan kepalanya itu selain tatapan mata yang sedang terlihat menilai tubuh Jihan.
“Hm... Pak Ruri!” Gandih dan Maya bahkan sudah sengaja berdeham, Ruri tetap tak mendengarkan mereka.
"Pak Ruri!" Dia mengerjap terkejut mendengar suara Jihan yang sengaja di tinggikan.
Damn! Aku sudah nggak peduli lagi status Ruri yang merupakan anak pemilik perusahaan ini. Dia lebih dulu yang tidak profesional dan kurang ajar padaku! Pikir Jihan
Dia terlihat akan mengomel dan menatap kesal pada Gandih yang hanya mengedikan bahu dan terkekeh.
"Bisa kita mulai meeting-nya? Saya sudah terlambat dan kita akan terlambat selesainya jika malah main-main." Ujar Jihan sarkasme.
Ruri menegakkan duduknya, kalau orang lain pasti sudah tersinggung. Lelaki itu malah menyeringai dengan sangat menyebalkan untuk Jihan. “Kita bisa main-main nanti, Jihan.” Jawabnya ambigu.
“Maksudnya?” Jihan mengernyit.
Ruri terkekeh, “Lupakan, ayo mulai!”
Jihan menahan diri saat itu juga ingin melempar wajah sok tampan Ruri dengan laptop di depannya. Akhirnya Jihan berusaha fokus pada presentasi, Jihan menjelaskan konsep iklan yang diminta klien.
“Seperti biasa klien kita meminta produk mereka dikemas dalam iklan yang bagus, menarik dan sesuai dengan anggaran.” Jihan menutup presentasi tersebut.
Selesai Presentasi, di lanjutkan dengan diskusi hingga Jihan bisa lega begitu meeting selesai. “Terima kasih atas waktunya, Pak Ruri dan team.”
Ruri mengangguk dan berdiri, sempat ada posisi canggung ketika Jihan menunggu Ruri berjalan lebih dulu tetapi lelaki itu masih berdiri.
“Silakan, perempuan lebih dulu.” Katanya.
Jihan tidak akan terjerat ucapan khas Playboy itu. Hanya tersenyum tipis dan melenggang di depan Ruri namun karena langkah Jihan terlalu terburu-buru, kakinya terbelit kabel panjang di sana. Jihan benar-benar sedang bermasalah dengan Heels akhir-akhir ini.
“Argh!” teriak Jihan, kehilangan seimbang dan memejamkan mata ketika tahu akhirnya akan mendarat ke lantai. Namun, dia membuka mata begitu tangan seseorang memeluk pinggang menarik Jihan hingga bokòngnya menyentuh sesuatu yang empuk—sialnya bukan diatas kursi, melainkan di pangkuan Ruri!
Double s**t!! Memalukan sekali!!
“Jihan, Hm...” suara Ruri begitu terdengar dekat di telinganya, bodohnya mengapa Jihan bukan langsung bangun malah menoleh hingga tatapan mata mereka bertemu. Dari dekat, Jihan bisa melihat bola mata lelaki itu yang sehitam buah zaitun. Gelap dan misterius.
“Jihan, nggak apa-apa?” suara Maya kembali terdengar, bagai malaikat menyadarkan Jihan dengan posisi yang sangat tidak pantas. Jihan langsung berdiri, dan setelah tadi sangat percaya diri mengangkat dagu tinggi-tinggi, sekarang dia tidak punya nyali juga berusaha menutupi pipinya yang merona.
“Pak Ruri, Maaf.” Bisiknya lalu Jihan menarik Maya untuk segera keluar dari ruangan tersebut akan kembali ke ruangan.
Jihan yakin Ruri saat itu masih duduk dan menikmati wajah Jihan yang malu dengan seringai khasnya yang menyebalkan. “Pelan-pelan Jihan atau kamu bisa jatuh lagi.” suara Ruri bahkan masih terdengar oleh Jihan. Dan terdengar menggodanya.
Damn you Ruri! Argggh!
Jihan ingin berteriak di depan wajah lelaki itu.
***
“Jihan, kok bisa lo ceroboh banget?” tanya Maya.
“Salahkan kabelnya.” Sungutnya kesal. Memang Jihan mengharapkan hal itu terjadi? Dia mulai memikirkan akan bagaimana setelah ini saat harus bertemu Ruri?!
Sial! Sial! Sial!
Tidak berhenti mengutuk diri sendiri.
"Yeah, lo menyalahkan kabelnya! Kabelnya kan diam aja, lo yang gerak.” Maya terkikik geli, tidak menghiraukan Jihan yang kesal.
“Please, Maya. Gue nggak mau bahas ini lagi.” Jihan berharap Maya mengerti.
Maya akhirnya diam, Jihan hampir bersyukur tetapi satu pertanyaan Maya membuat Jihan tidak jadi melakukannya. “Jihan, gue merasa kalau pak Ruri setiap bertemu lo dan tadi itu memandang lo begitu banget, ya?"
Jihan sudah menduga Maya akan membahas ini karena Ruri jelas-jelas memandang dengan pandangan yang membuat Jihan pribadi risi. Bahkan, tadi Jihan mendengar dengan jelas Gandih terdengar meledek Ruri yang terang-terangan tertarik padanya.
Seperti biasa, Jihan tidak menanggapi. Sejujurnya, jika Jihan disuruh mengurutkan pria-pria brengsèk di kantor ini, Ruri akan dia tempatkan di posisi paling pertama. Artinya Ruri jenis pria yang harus Jihan jauhi.
Ya ampun! percaya diri sekali diriku. Seolah Ruri tertarik padaku saja. Batin Jihan.
Jihan yakin dia jelas bukan tipenya, dan semoga memang bukan karena yang Jihan dengar, Ruri selama ini berkencan dengan cewek-cewek sekelas model, pramugari atau cewek cantik dan berkelas lainnya. Bahkan, Jihan pernah dengar dari gosip-gosip yang beredar bebas di kantor bahwa Ruri sering berlibur dengan pacarnya. Entahlah Jihan tidak ingin repot memikirkan yang bukan urusannya.
"Kayak begitu bagaimana, Maya?" Jihan minta Maya menjelaskan secara gamblang.
"Ya... begitu kayak nafsu sama lo—ups!" Jihan mendelik mendengarnya, Maya malah tertawa. "Haha... Ih serius gue! Ruri sepertinya memang suka deh sama lo, Han."
"Ngaco ah! Udah ngapain sih bahas dia!" Jihan mencoba menghentikan pembicaraan yang tidak membuatnya nyaman ini.
"Soalnya bukan kali ini aja gue nggak sengaja memergoki Ruri menatap lo begitu.” Maya tidak bisa di hentikan, asumsi itu miliknya. “Awalnya sih gue kira dia cuman nilai lo layak atau nggak buat jadi pacar selanjutnya. Tapi, lama kelamaan gue melihatnya berbeda, gaya tengilnya malah lebih ke tatapan mengagumi."
Maya sangat sok tahu. Pikir Jihan.
Walau Jihan dibuat merinding mendengarnya.
Masa sih Ruri sudah sering memperhatikan aku seperti itu? Pikir Jihan lagi.
Maya tak akan berhenti mengoceh jika Jihan balas, jadi Jihan hanya mengedikkan bahu cuek dan pilih tidak berkomentar lagi. Hatinya berdoa semoga itu hanya penilaian Maya yang salah.
"Maya." Panggil Jihan lagi.
"Ya?"
"Kejadian barusan, lo bisa lupakan?" Jihan tahu dia akan jadi bahan gosip hangat jika kejadian tadi sampai terdengar seluruh karyawan perusahaan.
Maya mengangguk ragu, "lo bisa percaya gue, tapi di sana ada orang selain kita." Maya benar, jika sudah begitu Jihan hanya bisa masa bodo dan menulikan telinga bila sampai membuat semua orang bicarakan dirinya.
Jihan dan Maya kembali sibuk di meja kerja masing-masing, Jihan mengusap wajah. Menatap layar laptop dan berkas-berkas laporan pekerjaan divisi sambil berusaha tetap fokus pada pekerjaan ini. Pekerjaan ini harus selesai segera. Jihan harus sibuk bekerja dan berhenti memikirkan ucapan Maya tentang Ruri.
“Astaga, ada apa denganku?!”
Ternyata sulit, Jihan mendesah kesal ketika harus berulang kali membaca ulang berkas-berkas itu karena tidak bisa fokus dan kesal karena tidak seharusnya memikirkan masalah lain, lebih tepatnya hm... Ruri saat masalah sesungguhnya adalah hubungannya dengan sang kekasih, Abhi.
***
"Lu bikin fake account? Really?" Jihan berdecak tak habis pikir pada sahabatnya. Salsa tiba-tiba muncul di depan pintu apartemen malam ini. Dia menyengir tanpa dosa, lalu bilang mau menginap. Jadilah mereka tidur-tiduran santai di kasur kamar Jihan sebelum tidur.
Women talk's ala mereka kalau dulu dilakukan bertiga, Jihan, Salsa dan Esa. Tapi, setelah Esa menikah, mereka tahu batasan jika Esa bukan wanita sebebas dulu. Ketika sudah menikah, bukan lagi tentang diri sendiri. Jihan jadi ingat bagaimana kebersamaan mereka dulu, kadang dua temannya terutama Salsa sering meracuniku melihat drama Korea, mereka maraton semalaman.
Waktu cepat sekali berlalu, semakin banyak perubahan dan Jihan rindu masa-masa menyenangkan dulu.
"Gue buat ini karena mau stalking calon pelakor yang lagi dekat-dekati Radit! Ya kali gue pakai real akun gue, kalau-kalau gue misalnya nggak sengaja ngelike entar ketahuan. Bahaya, kan? atau ternyata akunnya di gembok, gengsi follow dia kalau pakai akun asli!" cerocos Salsa.
Jihan tertawa.
“Sah-sah saja sih kalau lo punya fake account, asalkan nggak buat bully.” Jihan menanggapi. Jihan yakin teman-teman lainnya juga ada yang membuatnya, Rata-rata buat follow olshop atau idolanya dan kebanyakan seperti Salsa untuk stalking mantan, gebetan, mantan pacar, dan lain-lain
“Gue nggak sejahat itu, Jihan.” Sangkal Salsa. Jihan yakin Salsa tidak akan melakukan itu.
Jihan lalu membiarkan sahabatnya itu melakukan kesibukan tidak berfaedah tersebut sementara dirinya melamun dan sibuk dengan pikiran sendiri.
"Ih oke gue ke mana-mana kali dari pada nih cewek!" Salsa melempar ponselnya sambil berdecak kesal. Mengejutkan Jihan.
“Lo hanya cemburu nggak jelas, Sal.” Komentar Jihan, kenal kekasihnya. Radit pria baik, terlihat sayang sekali sama Salsa. Sudah beberapa kali mengajak Salsa untuk serius, tapi wanita sinting ini belum mau menikah karena masih belum yakin dengan Radit.
Jika Jihan yang berharap Abhi memberi kepastian seperti Radit, justru Salsa yang tidak memberi kepastian pada Radit. Rumit, ya? Tetapi memang seperti ini hidup, satu dan lainnya lebih tahu kapasitas hidup dan keinginan masing-masing. Terkadang, apa yang diharapkan bisa di dapatkan oleh orang lain dengan mudah.
"Mana sini gue lihat!" Jihan mengambil ponsel Salsa yang tadi dilemparnya
"Kalau gue jadi radit, Ya... gue pilih dialah dari pada lo!" Kata Jihan lagi sengaja memancing-mancing emosi Salsa.
Jujur saja, memang jika dilihat dari berbagai foto yang dipajang di akun cewek yang di sebut-sebut Salsa bibit pelakor di hubungannya dengan Radit, cewek ini memang cantik, tipe cewek sempurna pujaan banyak kaum Adam. Tak heran followers-nya sampai ratusan ribu begitu.
"Tau ah, Lo sama radit sama aja! Mata kalian kayaknya memang minus deh, periksa sana!" Dia turun dari kasur, merampas ponselnya kembali dengan kasar. Lalu Jihan melihat dia menghubungi Radit.
Jihan meringis mendengar Salsa memarahi Radit tanpa alasan yang jelas. Jihan heran sendiri sama Salsa bukan sekarang saja, sudah sering sengaja sekali mencari tahu akun Pacarnya, cewek yang lagi dekat sama pacarnya, atau mantannya. Terus pas Salsa sudah ngestalk jadi kesal sendiri. Seperti sekarang, kayaknya perempuan memang hobi mencari penyakit ya. Pasang surut hubungan mereka hadapi, Salsa dan Radit tetap bersama atau Radit yang lebih banyak mengalah pada Salsa.
“Jihan, lo melamun apa sih? memikirkan Abhi? Pasti Abhi sih, nggak mungkin cowok lain.” tanya Salsa yang sudah kembali berbaring di sisinya.
Jihan menggeleng kecil, “Gue mengantuk, Sal. Gue tidur duluan ya, jangan lupa lampunya di matikan nanti.”
“Ya...” Salsa mendengus, sudah hafal sekali karakter Jihan yang tidak terbuka pada orang lain terutama urusan hati.
[to be continued]