Nala terlelap dengan tubuh yang masih lemah, namun pikirannya tidak tenang. Dalam tidurnya, mimpi buruk itu datang lagi, menyeretnya kembali ke neraka yang baru saja ia tinggalkan.
Dia melihat Angga, berdiri dengan senyum menyeramkan di sudut kamar. "Kau pikir bisa kabur dariku?" suaranya bergema, membuat tubuh Nala gemetar ketakutan.
Tiba-tiba, tangan kasar Angga mencengkeram pergelangan tangannya, menariknya dengan paksa. Di belakang Angga, ada wanita lain yang tertawa sinis sambil duduk di tempat tidur mereka—tempat yang seharusnya hanya untuk mereka berdua. Wanita itu mengenakan pakaian minim, matanya memandang Nala dengan penuh penghinaan.
"Dia ini? Lemah sekali," wanita itu mengejek sambil menyeringai, membuat Nala merasa semakin kecil dan tidak berdaya.
"Diam!" teriak Angga, lalu menampar Nala keras di wajah. "Kau milikku! Tidak ada yang bisa menyelamatkanmu, bahkan jika kau mencoba lari!"
Nala menangis, memohon ampun, tapi Angga tidak berhenti. Ia terus menyiksanya, mendorong, memukul, bahkan menarik rambutnya. Semua rasa sakit itu terasa nyata—terlalu nyata.
Ketika rasa sakit itu semakin tak tertahankan, Nala berteriak histeris, tubuhnya menggeliat-geliat di tempat tidur hingga akhirnya...
"Nona, bangun! Bangunlah!" Suara lembut namun penuh kepanikan membangunkannya. Sentuhan tangan hangat di bahunya membuat wanita itu tersentak dari tidurnya. Ia membuka matanya dengan napas terengah-engah, keringat membasahi dahinya.
Mirna menatapnya penuh perhatian. "Tenang, Nak. Itu hanya mimpi buruk," ucapnya dengan suara lembut, mencoba menenangkan wanita muda yang duduk gelisah di tempat tidur.
Wanita itu memandang Mirna dengan mata merah dan berkaca-kaca. Tubuhnya masih gemetar, dan napasnya masih memburu. Ia tampak bingung, seperti mencoba memahami di mana ia berada. Dan yang dia tahu dia sudah tak berada di neraka itu lagi.
"Bagaimana keadaanmu?" Suara lain terdengar, lembut tapi profesional. Wanita itu menoleh dan melihat seorang dokter berjubah putih berdiri tak jauh dari tempat tidurnya. Dokter itu adalah Diah, yang dipanggil oleh tuan rumah untuk merawatnya.
"Kau mengalami trauma berat," ujar Dokter Diah dengan nada penuh empati. "Tapi aku yakin kau akan lebih baik, asalkan kau mau menerima bantuan dan istirahat dengan cukup."
Wanita itu hanya mengangguk pelan, tanpa mengatakan sepatah kata pun. Ia menunduk, merasa asing di tempat yang tampaknya aman namun tetap membangkitkan rasa canggung di dalam hatinya.
"Kami tidak tahu namamu, Nak," Mirna mencoba membuka percakapan lagi. "Tapi tidak apa-apa. Kau bisa memberitahunya kapanpun kau siap."
Wanita itu menggelengkan kepala perlahan, masih diam. Tidak ada kata yang keluar dari bibirnya, hanya napas berat yang perlahan mulai teratur.
"Kami tidak akan memaksamu bicara," lanjut Mirna lembut, mencoba memahami bahwa mungkin terlalu banyak hal yang harus ia ceritakan tapi belum mampu ia ucapkan.
"Yang perlu kau lakukan sekarang adalah istirahat dan makan sesuatu," Dokter Diah menambahkan. "Tubuhmu sudah terlalu lemah. Mirna akan membantumu. Jika kau butuh bicara, kami ada di sini."
Mirna tersenyum penuh kehangatan, menepuk punggung tangan wanita itu pelan. "Kau aman di sini, Nak. Tidak ada yang akan menyakitimu lagi."
Namun, meski tubuhnya kini aman, bayangan mimpi buruk tadi masih terpatri dalam pikirannya. Tangisan dan teriakan dari masa lalu yang baru saja ia tinggalkan masih bergema di benaknya. Bahkan untuk mengucapkan namanya sendiri, ia belum merasa siap. Tapi mungkin, di tempat ini, dengan orang-orang yang tampaknya tulus ingin membantunya, ia bisa perlahan-lahan menemukan keberanian untuk membuka diri.
****
Cala duduk di atas karpet tebal di ruang tengah, bermain dengan boneka kecilnya sambil ditemani oleh Sari, babysitter setianya. Namun, suara samar-samar dari arah kamar tamu membuat gadis kecil itu mengangkat wajahnya. Suara itu tidak terlalu jelas, tapi cukup untuk membuat Cala penasaran.
"Sari," panggilnya dengan suara kecil tapi tegas, "Itu suara apa?"
Sari, yang sedang merapikan beberapa mainan Cala, terdiam sejenak. Ia tahu suara itu berasal dari kamar tamu—mungkin Nona yang ditolong Tuan Ebas tadi malam sedang mengalami sesuatu. Namun, ia tidak berani membahasnya.
"Ah, mungkin hanya angin, Nona kecil," jawab Sari dengan senyum ragu, berusaha mengalihkan perhatian Cala.
Namun, seperti biasa, jiwa penasaran Cala yang berusia tiga tahun tidak semudah itu dialihkan. "Aku mau lihat!" serunya sambil berdiri.
"Cala, tunggu!" Sari buru-buru mengejar, tapi gadis kecil itu sudah berlari kecil menuju kamar tamu, rambutnya yang halus bergoyang-goyang saat ia bergerak cepat.
Cala mendekat ke pintu kamar tamu dan hampir menyentuh kenop pintu ketika sebuah suara berat dan tegas memanggil dari belakangnya.
"Cala."
Suara berat dan tegas itu membuat gadis kecil itu langsung membalikkan badan. Matanya membesar saat melihat sosok tinggi ayahnya berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan formal yang masih rapi meski dasi di lehernya sudah dilonggarkan. Wajahnya memancarkan kelelahan, namun pesonanya tetap memikat seperti biasa.
"Papi!" seru Cala dengan suara manja, lantas berlari kecil menghampiri Ebas dan memeluk kakinya dengan erat.
Ebas membalas pelukan itu dengan kelembutan yang tak biasa terlihat di wajah seriusnya. Dia menunduk, pandangannya bertemu dengan mata putrinya yang berbinar-binar. "Apa yang kamu lakukan di sini, Nak?" tanyanya, suaranya terdengar tenang, namun penuh rasa ingin tahu.
"Ada suara, Papi. Cala penasaran," jawab Cala polos sambil menunjuk ke arah pintu kamar tamu.
Ebas mengusap lembut kepala putrinya, rambut halus Cala terasa lembut di tangannya. Ia menarik napas panjang, lalu menjelaskan dengan nada penuh kasih. "Itu suara tamu Papi. Dia sedang tidak enak badan. Dia butuh istirahat, jadi Cala tidak boleh ganggu, ya?"
Cala mengerutkan kening kecilnya, penasaran. "Dia sakit, Papi? Kenapa?" tanyanya lagi, nada kekhawatiran terdengar jelas.
Ebas tersenyum tipis, meski rasa lelah masih terpancar di wajahnya. "Iya, dia sakit. Tapi nanti dia akan sembuh. Sekarang, Papi ingin Cala kembali main sama Sari, ya? Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja."
Cala akhirnya mengangguk meski terlihat masih ingin tahu lebih banyak. Dengan langkah kecil, dia menggenggam tangan Sari yang berdiri tak jauh darinya, dan perlahan berjalan kembali ke ruang tengah.
Ebas menghela napas panjang, pandangannya kini beralih ke pintu kamar tamu. Diam sejenak, ia hanya berdiri di sana, mendengar keheningan di balik pintu itu. Lelah dari hari panjang di kantor masih terasa, namun pikirannya terus dihantui oleh pertanyaan tentang wanita yang kini ada di bawah atapnya.
Menyadari dirinya masih berdiri dengan jas yang belum dilepas, Ebas menggerakkan tangannya untuk melonggarkan dasinya lebih jauh. "Aku butuh jawaban," gumamnya pelan, sebelum melangkah ke kamar untuk melepas lelah, sembari menyusun langkah selanjutnya.