8

1138 Kata
Setelah memastikan Cala kembali ke ruang tengah bersama Sari, Ebas melangkah menuju kamarnya di lantai tiga. Hari yang panjang di kantor belum sepenuhnya hilang dari tubuhnya. Rasa lelah mendera, namun pikirannya terus dipenuhi oleh bayangan wanita itu—dengan tubuh kurus, luka-luka, dan tatapan penuh ketakutan. Sesampainya di kamar, Ebas melepas jasnya dan menggantungnya rapi di balik pintu. Dia melonggarkan kancing kemeja satu per satu, membiarkan udara dingin menyentuh kulitnya yang mulai terasa gerah. Namun, meski tubuhnya sudah ingin menyerah pada kasur empuk di hadapannya, otaknya menolak berhenti bekerja. Dia memutuskan untuk memeriksa pesan di ponselnya. Ada beberapa laporan dari Galih yang dikirimkan saat dia di perjalanan pulang. Membuka salah satunya, ia membaca: "Tuan, saya sedang melacak identitas wanita itu. Hingga kini belum ada data pasti, namun saya akan segera memberi tahu Anda jika ada perkembangan." Ebas menghela napas panjang, meletakkan ponsel di meja kecil di samping tempat tidurnya. Dia memijat pelipisnya, mencoba menghalau rasa pusing yang datang karena kurang tidur dan tekanan pekerjaan. Namun, pikiran tentang wanita itu terus berputar di kepalanya. Mengapa dia berada di jalan malam itu? Siapa yang telah membuatnya menderita seperti ini? Tiba-tiba, suara ketukan pelan di pintu kamarnya mengalihkan perhatiannya. "Tuan," suara Mirna terdengar dari balik pintu. "Masuk," jawab Ebas singkat. Mirna membuka pintu perlahan, masuk dengan membawa secangkir teh hangat di nampan. "Maaf mengganggu, Tuan. Saya hanya ingin memberi laporan bahwa tamu Anda sudah lebih tenang. Tapi... dia masih belum mau bicara." Ebas menerima teh itu dengan anggukan. "Terima kasih, Mirna. Pastikan dia mendapatkan apa pun yang dia butuhkan. Jangan biarkan dia merasa sendirian." Mirna mengangguk dengan hormat. "Baik, Tuan. Saya akan terus menjaga dia. Tapi, maaf sebelumnya, saya merasa luka yang dia alami bukan hanya fisik. Sepertinya ada beban berat yang dia bawa." Ebas menatap Mirna sejenak, matanya menunjukkan kilasan emosi yang sulit dijelaskan. "Saya tahu, Mirna. Itu sebabnya saya membawanya ke sini. Dia perlu waktu untuk pulih. Dan kita akan memberikannya." Mirna tersenyum tipis, lalu membungkukkan badan sedikit sebelum keluar dari kamar, meninggalkan Ebas dengan pikirannya. Menyesap teh hangatnya, Ebas menatap keluar jendela, malam yang sunyi membentang di luar. Ada sesuatu dalam dirinya yang mengatakan bahwa kehadiran wanita itu di rumahnya bukanlah kebetulan. Dan entah bagaimana, dia merasa harus menjadi bagian dari penyembuhannya, meskipun dia sendiri tidak mengerti kenapa. Di satu sisi, tugas ini terasa seperti beban. Namun di sisi lain, itu terasa seperti takdir. **** Setelah selesai membersihkan diri dan berganti pakaian dengan setelan kasual, Ebas berjalan menuruni tangga menuju ruang makan. Aroma masakan yang lembut menyambutnya, membuat perutnya yang kosong sejak siang tadi sedikit merasa lega. Di meja makan, Cala sudah duduk manis dengan seragam tidurnya yang berwarna merah muda, dihiasi pola bunga kecil. Wajah cerianya langsung menyambut kehadiran Ebas. "Papi! Cepat duduk, Cala sudah lapar," serunya dengan nada manja. Ebas tersenyum tipis, melangkah ke kursinya. "Kenapa tidak mulai duluan? Bukannya tadi Papi sudah bilang kalau jangan tunggu Papi kalau lapar?" Cala menggeleng dengan tegas, pipinya menggembung seolah protes. "Enggak mau! Cala mau makan bareng Papi. Kalau enggak, makanannya enggak enak." Ebas hanya terkekeh kecil mendengar alasan polos putrinya. Dia mengambil sendok dan mulai mengambil makanannya. Sari dan pelayan lainnya sudah menyiapkan menu sederhana malam ini—sup ayam, nasi hangat, dan beberapa lauk kecil. Sambil makan, Cala mulai bercerita. "Papi, tadi Cala main puzzle sama Sari. Cala hampir selesai, tapi tiba-tiba Cala dengar ada suara dari kamar tamu itu." Ebas mengangkat alis sedikit, memandang Cala dengan tenang. "Lalu, Cala ngapain?" "Aku mau lihat siapa di dalam. Tapi sebelum sampai, Papi datang. Jadi aku enggak tahu siapa dia," jawab Cala dengan polos, sambil menyendok nasi ke mulutnya. Ebas hanya mengangguk, memilih untuk tidak terlalu membahas hal itu. "Papi sudah bilang, dia tamu Papi. Dia butuh istirahat, jadi kita harus biarkan dia tenang dulu, oke?" "Oke," jawab Cala patuh, meskipun wajahnya masih terlihat penasaran. "Tapi Papi, kapan Cala bisa main sama dia? Kalau dia sembuh?" Ebas tersenyum tipis, mengusap kepala putrinya. "Kita lihat nanti, ya. Kalau dia sudah siap." Percakapan mereka berlanjut dengan Cala yang mulai bercerita tentang hal-hal kecil di harinya—tentang puzzle, cerita dongeng yang dibacakan Sari, hingga rencananya untuk membuat gambar di buku mewarnai. Suaranya yang ceria membuat lelah di wajah Ebas sedikit memudar. Namun, menjelang akhir makan, Cala menatap Ebas dengan mata besar dan penuh harap. "Papi, malam ini Cala boleh tidur sama Papi, ya? Cala kangen banget sama Papi." Ebas terdiam sejenak, menatap wajah polos putrinya. Ia tahu hari-harinya di kantor sering kali menyita waktu yang seharusnya bisa ia habiskan bersama Cala. Akhirnya, ia mengangguk sambil tersenyum. "Boleh. Malam ini Cala tidur sama Papi." Wajah Cala langsung berseri-seri, senyumnya lebar. "Yeay! Cala sayang Papi!" serunya, lalu melompat dari kursi untuk memeluk ayahnya. Ebas menerima pelukan kecil itu dengan hati yang terasa lebih ringan. Di tengah segala beban dan misteri yang sedang ia hadapi, Cala adalah alasan terbesar untuknya terus bertahan. Sebuah pengingat bahwa di balik segala kerumitan dunia, ada satu hal yang tetap murni dan sederhana: cinta seorang anak kepada ayahnya. **** Setelah makan malam yang hangat bersama Cala, Ebas menggendong putrinya menuju kamar. Di sepanjang perjalanan, Cala tak henti-hentinya berbicara, bercerita tentang dongeng yang ingin ia dengar sebelum tidur. Suara ceria gadis kecil itu seperti melodi yang menghapus kepenatan di kepala Ebas. Begitu sampai di kamar Cala, Ebas menurunkan putrinya dengan lembut ke atas tempat tidur berlapis seprai berwarna pastel. "Papi bacakan cerita apa malam ini?" tanya Ebas, meskipun ia sudah tahu jawaban Cala. Cala melompat ke atas bantal dengan senyum lebar. "Putri dan naga! Tapi naganya harus baik, ya, Papi. Jangan jahat." Ebas mengangguk dengan sabar, mengambil buku dongeng dari meja kecil di sebelah tempat tidur Cala. Sambil membacakan cerita, matanya sesekali memperhatikan putrinya yang mulai menguap kecil. "...dan akhirnya, sang naga terbang tinggi membawa sang putri ke istananya, di mana mereka hidup bahagia selamanya." Ebas menutup buku itu perlahan, menyadari bahwa Cala sudah tertidur dengan tenang. Ebas memandang wajah putrinya yang damai dalam tidur. Dalam momen seperti ini, ia sering bertanya-tanya apakah dia telah cukup menjadi seorang ayah bagi Cala. Kehilangan istrinya tiga tahun lalu membuatnya tersadar bahwa Cala adalah satu-satunya yang ia miliki. Namun, beban pekerjaan dan dunianya yang dingin sering kali menjauhkan mereka. Dengan hati-hati, ia menyelimutkan Cala hingga ke dagunya, lalu mengecup kening kecilnya. "Selamat tidur, sayang," bisiknya pelan sebelum berdiri dan mematikan lampu utama, meninggalkan hanya lampu tidur berbentuk bintang yang bersinar redup. Ebas keluar dari kamar Cala dengan langkah ringan, tetapi pikirannya kembali kepada tamu misterius yang kini berada di mansionnya. Wanita itu, meskipun belum bicara sepatah kata pun, telah membawa perubahan dalam rutinitasnya. Dan entah bagaimana, ada dorongan dalam hatinya untuk melindunginya, seperti ia melindungi Cala. Sambil berjalan menuju ruang kerjanya, Ebas memutuskan satu hal: ia harus segera tahu siapa wanita itu dan apa yang telah terjadi padanya. Misteri ini harus dipecahkan, tidak hanya untuk wanita itu, tetapi juga untuk ketenangan pikirannya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN