9

1254 Kata
Ebas keluar dari kamar tamu dengan perasaan yang tak menentu. Suara isakan wanita itu terus terngiang dalam pikirannya, dan meskipun dia berusaha keras untuk mengabaikannya, ada perasaan yang sulit dia ungkapkan, sesuatu yang jauh lebih mendalam daripada sekadar rasa tanggung jawab. Di lorong mansion yang sepi, langkahnya terdengar berat. Ebas berhenti di depan jendela besar yang menghadap taman belakang mansion. Matanya terpaku pada pemandangan malam yang sunyi, namun pikirannya kembali melayang pada wanita itu. Ia menundukkan kepalanya, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Tidak seharusnya ia merasa seperti ini. Dulu, ia tidak pernah peduli sebesar ini terhadap orang lain, apalagi seseorang yang belum ia kenal. Tapi mengapa perasaan itu begitu kuat ketika berhadapan dengan wanita itu? "Tuan?" Suara Mirna memecah keheningan, membuat Ebas menoleh. Mirna berdiri di ujung lorong, wajahnya kembali memancarkan kekhawatiran. "Apakah semuanya baik-baik saja?" Ebas menghela napas panjang. "Dia masih mengigau. Apa yang bisa kita lakukan untuk membantu dia lebih baik, Mirna?" Mirna mendekat, memandang Ebas dengan penuh perhatian. "Kami sudah berusaha memberinya kenyamanan, Tuan. Tapi, dia perlu waktu. Kadang-kadang, trauma seperti ini tak bisa sembuh dengan cepat. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah memberinya tempat yang aman untuk beristirahat, dan memberi perhatian." Ebas mengangguk perlahan, menyadari bahwa Mirna benar. Mereka hanya bisa memberinya waktu dan ruang. Namun, hatinya tidak bisa tenang. "Dan bagaimana jika dia tidak pernah mau mengungkapkan siapa dirinya?" tanya Ebas, suara sedikit bergetar. Mirna menatapnya dengan lembut. "Mungkin dia hanya butuh waktu untuk mempercayai kita, Tuan. Tidak semua orang bisa dengan mudah membuka diri setelah apa yang dia alami. Yang penting adalah kita memberinya kesempatan untuk merasa aman." Ebas diam sejenak, merenungkan kata-kata Mirna. "Kamu benar," jawabnya akhirnya, meski hatinya masih dibebani banyak pertanyaan yang belum terjawab. Di dalam hatinya, Ebas merasa ada sesuatu yang lebih dalam yang mengikatnya dengan wanita itu. Mungkin itu adalah rasa tanggung jawab, atau mungkin sesuatu yang lebih, sesuatu yang lebih emosional. Tapi yang jelas, dia tidak bisa begitu saja melepaskan wanita ini tanpa mengetahui lebih banyak. "Saya akan terus mengawasi situasi ini," katanya akhirnya, dengan tekad yang lebih kuat daripada sebelumnya. Mirna mengangguk, tahu bahwa Ebas sedang berjuang dengan perasaan yang mungkin tidak pernah dia rasakan sebelumnya. "Kami akan melakukan yang terbaik, Tuan. Saya yakin, dia akan kembali seperti sedia kala." Ebas kembali ke kamar tidurnya, namun pikirannya masih tertinggal di kamar tamu. Ada sesuatu yang harus ia pecahkan, dan dia tahu, itu tak akan mudah. Tapi ia juga tahu, ia tidak bisa mengabaikan rasa tanggung jawab yang kini ada di dalam hatinya. *** Baru saja Ebas memejamkan matanya, mencoba menenangkan pikirannya yang masih berkecamuk. Dia berbaring di tempat tidur, berusaha untuk tidur sejenak dan melepaskan diri dari beban yang menghantuinya. Namun, tidak lama setelah itu, ponselnya bergetar, memecah keheningan malam. Dengan sedikit kesal, Ebas meraih ponselnya dan melihat nama yang tertera. Galih, asisten pribadinya. Ebas menekan tombol untuk menerima panggilan. "Tuan Ebas," suara Galih terdengar dari ujung telepon, "Saya baru saja menerima informasi yang Anda minta. Saya sudah mengirimkan detailnya melalui email." Ebas duduk kembali di tempat tidur, matanya langsung terfokus pada ponselnya. "Apa yang kamu temukan, Galih?" suaranya tenang namun penuh harap. Galih melanjutkan, "Tuan, wanita yang Anda temukan itu ternyata bernama Nala. Dia berasal dari keluarga yang cukup dikenal, namun belakangan ini mengalami masa-masa sulit. Saya masih mengumpulkan lebih banyak informasi, tetapi sepertinya ada kaitannya dengan permasalahan besar yang melibatkan keluarganya." Ebas mengernyitkan dahi, merasa semakin penasaran. "Keluarga yang dikenal? Apa maksudmu?" Galih menjawab dengan nada hati-hati, "Saya sedang menggali lebih dalam, Tuan. Saya ingin memastikan informasi ini akurat sebelum kita melangkah lebih jauh." Ebas menarik napas panjang. "Kirimkan semua yang kamu temukan ke email saya sekarang," perintahnya. "Saya ingin tahu lebih banyak tentang Nala. Segera." "Baik, Tuan. Saya akan segera mengirimkannya." Setelah panggilan berakhir, Ebas membuka email di ponselnya. Beberapa dokumen penting tentang wanita itu muncul di layar. Nama lengkapnya, riwayat keluarganya, dan beberapa informasi terkait masalah yang sedang dihadapi keluarganya. Ebas menatap layar ponselnya, mencerna setiap detail yang ada. Ternyata, Nala bukan wanita sembarangan. Ada cerita kelam yang menyelimutinya, dan itu membuat hati Ebas semakin berat. Namun, di sisi lain, ia merasa semakin terikat dengan wanita ini, meski belum sepenuhnya tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia tahu satu hal—keputusan-keputusan berikutnya akan sangat menentukan, baik untuk dirinya sendiri, maupun untuk wanita itu. *** Ebas membaca detail demi detail dalam email itu, matanya menyapu setiap kata dengan penuh perhatian. Nama itu, Arunika Naladhipa. Dari keluarga Dhipa Karyasa, salah satu keluarga yang dulu cukup dikenal dalam dunia bisnis. Namun, perhatian Ebas terhenti pada satu nama lainnya—Revangga Pamungkas. Nama suami wanita itu. Matanya menyipit, pikirannya langsung berputar. Revangga Pamungkas. Nama itu seperti lonceng kecil yang berdentang di kepalanya, seolah ia pernah mendengar nama itu sebelumnya. Ebas menyandarkan tubuhnya di kursi, jemarinya mengetuk-ngetuk meja di depannya. “Revangga Pamungkas…” gumamnya, mencoba mengaitkan memori yang terlintas dengan nama itu. Dua tahun menikah, katanya? Dan sejak saat itu, Nala tak lagi memiliki kabar tentang keluarganya. Pernikahan hasil perjodohan, dipaksakan oleh keadaan. Pernikahan yang didasarkan pada kebutuhan bisnis, bukan cinta. Ebas menghela napas panjang, merasa situasi ini memiliki kemiripan dengan kehidupannya sendiri. Pernikahan tanpa cinta, hanya kewajiban. Sebuah kehidupan yang tidak pernah ia pilih, dan ternyata wanita itu mengalami hal yang sama. Namun, apa yang terjadi setelah pernikahan mereka? Kenapa keluarga Dhipa Karyasa menghilang dari peredaran? Kenapa Nala terdampar di tengah jalan dalam kondisi seperti itu? Pertanyaan-pertanyaan ini membuat Ebas semakin ingin tahu. Ia kembali menatap layar ponselnya, mencoba mencerna lebih banyak informasi. Dalam hati, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Nama Revangga Pamungkas dan kegelapan yang menyelubungi cerita ini membuatnya yakin bahwa apa pun yang dialami Nala, tidaklah sederhana. “Galih,” panggilnya, menekan tombol panggilan cepat. “Ya, Tuan?” suara Galih terdengar di ujung telepon. “Aku ingin kau cari lebih banyak tentang Revangga Pamungkas. Semua yang kau bisa temukan. Fokus pada hubungan dia dengan keluarga Dhipa Karyasa dan apa yang terjadi setelah pernikahan mereka.” “Baik, Tuan. Saya akan segera menggalinya.” Ebas menutup telepon dan kembali bersandar, tangannya mengusap wajahnya perlahan. “Revangga Pamungkas…” gumamnya sekali lagi, nama itu terasa seperti kunci untuk membuka semua misteri ini. Namun, semakin ia memikirkan pria itu, perasaan familiar itu semakin kuat. Seolah-olah ia sudah tahu bahwa nama itu akan membawa lebih banyak masalah daripada jawaban. Ebas bersandar di kursi kerjanya, tubuhnya yang tegap tampak rileks namun penuh kewaspadaan. Jarinya yang panjang dan kokoh mengelus lembut bibirnya, sebuah kebiasaan yang sering dia lakukan saat berpikir keras. Cahaya dari layar laptop memantulkan garis tegas pada rahangnya yang kokoh, menambah kesan maskulin pada wajahnya yang tampan. Mata hitamnya yang tajam menatap layar dengan penuh konsentrasi, sorotnya mengisyaratkan kecerdasan dan ketegasan seorang pria yang terbiasa memegang kendali. Rambutnya yang rapi, sedikit berantakan setelah hari yang panjang, justru menambah daya tarik alaminya. Meski tampak lelah, auranya tetap memancarkan pesona dingin yang sukar didekati, sebuah karisma yang membuat siapa pun sulit menolak pesonanya. Ebas menghela napas panjang, mengusap wajahnya sebentar sebelum kembali fokus pada data di depannya. "Jadi dia sudah menikah? Dua tahun pernikahan, dan berakhir seperti ini?" gumamnya, suara baritonnya terdengar berat namun penuh kekuatan. Namun, bukan hanya data itu yang menarik perhatiannya. Ada sesuatu di balik informasi ini yang menggugah rasa ingin tahunya lebih dalam. Sebuah cerita kelam yang belum terungkap, membuat pikirannya terus memutar kemungkinan demi kemungkinan. Meski dingin dan tampak tak tergoyahkan dari luar, ada sesuatu di dalam hatinya yang mulai terusik. Sesuatu yang selama ini ia abaikan, kini perlahan bangkit. Dan pesona itu, perpaduan antara ketegasan dan kerentanan, semakin membuatnya terlihat seperti pria yang sulit ditandingi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN