Pagi itu, sinar matahari masuk melalui jendela besar kamar tamu, menerangi sosok wanita berambut panjang yang berdiri memandang keluar. Rambutnya tergerai, sebagian menutupi wajahnya yang tirus, memberikan kesan rapuh namun tetap memancarkan keanggunan alami. Matanya tertuju pada taman yang hijau dan kolam renang yang tenang di luar sana, seolah mencari ketenangan dari segala kekacauan yang ia alami.
Ebas, dengan langkah tenang namun tegas, menghampiri pintu kamar itu. Ia mengenakan setelan kerja elegan tanpa dasi, dengan dua kancing atas kemejanya dibiarkan terbuka, memberikan kesan santai namun tetap berwibawa. Vest berwarna hitam yang membalut tubuh tegapnya semakin mempertegas sosoknya yang karismatik.
Dia mengetuk pintu perlahan sebelum masuk. Saat melihat sosok wanita itu berdiri di sana, punggungnya menghadapnya, Ebas berhenti sejenak. Lalu, dengan nada rendah namun cukup terdengar, ia berdeham, "Ehem."
Nala tersentak pelan, bahunya sedikit naik. Ketika ia menoleh dan melihat Ebas berjalan mendekat, ada rasa takut yang tampak di matanya. Ia memundurkan tubuhnya, menghindar tanpa sadar, membuat Ebas berhenti di tempat.
"Tenang," kata Ebas dengan suara yang lebih lembut dari biasanya, kedua tangannya terangkat sedikit, seperti ingin menunjukkan bahwa ia tidak berniat menyakitinya. "Saya hanya ingin berbicara."
Namun, Nala tetap berdiri di tempatnya, menunduk sedikit, menghindari tatapan Ebas. Dia tampak seperti anak kecil yang ketakutan, meski tubuhnya dewasa.
Ebas menghela napas pendek, matanya mengamati wanita itu dengan penuh perhatian. Dia tahu, rasa takut itu tidak muncul tanpa alasan. Ada sesuatu yang membuat wanita ini begitu waspada, begitu terjaga, bahkan di tempat yang seharusnya memberinya rasa aman.
"Kamu sudah merasa lebih baik?" tanyanya, suaranya masih tenang, mencoba membuka percakapan tanpa menekan.
Nala mengangguk pelan, tanpa mengangkat pandangannya. Dia tidak menjawab, hanya menggenggam erat kain piyama yang dia kenakan, tanda kegelisahan yang tidak bisa ia sembunyikan.
Ebas berdiri di tempatnya, tidak ingin mendesak. Baginya, kehadiran wanita ini sudah cukup mengusik banyak pertanyaan di pikirannya. Tapi satu hal yang pasti, ia ingin memberikan ruang agar wanita ini bisa merasa sedikit lebih tenang di bawah atapnya.
Ebas masih berdiri di tempatnya, memandang wanita itu yang tetap menghindari tatapannya. Setelah beberapa saat hening, ia menarik napas dalam dan berkata pelan, "Boleh aku bertanya?"
Nala mengangkat kepalanya sedikit, matanya masih menyiratkan keraguan dan rasa takut. Namun, ia tidak menjawab, hanya menatap Ebas dengan sorot mata waspada.
Melihat reaksi itu, Ebas melanjutkan dengan nada yang lebih lembut. "Aku tidak akan memaksamu. Aku hanya ingin tahu... siapa namamu?"
Nala terlihat ragu. Bibirnya sedikit terbuka, seolah ingin berbicara, namun tak ada kata-kata yang keluar. Kedua tangannya yang gemetar kini mencengkeram lebih erat kain piyamanya.
Ebas melihat itu, lalu dengan nada tenang menambahkan, "Tidak apa-apa kalau kamu belum siap memberitahu. Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja."
Mendengar kata-kata itu, Nala menundukkan kepala. Setelah beberapa saat, dia akhirnya berbicara, suaranya nyaris berbisik. "Na... Nala."
Ebas mengangguk pelan, seperti mengukir nama itu di pikirannya. "Nala," ulangnya, memastikan dia mendengar dengan benar. "Itu nama yang indah."
Nala sedikit terkejut dengan pujian itu, meskipun ia tidak mengangkat pandangannya.
Ebas memutuskan untuk melanjutkan dengan hati-hati. "Nala... malam itu, aku menemukamu di tengah jalan. Apa kamu ingat apa yang terjadi?"
Wajah Nala berubah, ekspresinya menjadi tegang. Matanya tampak berusaha menghindari pandangan Ebas, dan tubuhnya gemetar ringan.
"Aku... aku tidak tahu..." jawabnya akhirnya, suaranya terdengar putus asa.
Ebas menyadari ketidaknyamanan itu dan segera berkata, "Tidak apa-apa. Kamu tidak perlu memikirkannya sekarang. Aku hanya ingin tahu apakah ada sesuatu yang bisa aku lakukan untuk membantumu."
Nala tidak menjawab, hanya menggigit bibir bawahnya, berusaha keras menahan air matanya. Melihat itu, Ebas memutuskan untuk tidak menekan lebih jauh.
Dia mengambil langkah mundur, memberikan ruang pada Nala. "Kalau kamu butuh sesuatu, Mirna atau aku ada di sini. Kamu aman di rumah ini," ujarnya dengan tegas, mencoba meyakinkan.
Setelah memastikan Nala tidak terlalu tertekan, Ebas menatapnya sekali lagi sebelum berkata, "Istirahatlah. Aku akan pergi ke kantor sekarang."
Dengan itu, ia berbalik menuju pintu, memberi Nala waktu untuk menenangkan diri. Namun, meskipun ia meninggalkan ruangan, pikirannya masih dipenuhi dengan pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi pada wanita itu.
Ebas menghentikan langkahnya di ambang pintu ketika suara lembut namun ragu terdengar dari belakang.
"Tunggu..."
Ia berbalik perlahan, menatap Nala yang kini berdiri di tempatnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ada keengganan di wajahnya, tapi juga keinginan untuk berbicara lebih jauh.
"Terima kasih," lanjut Nala, suaranya nyaris berbisik. Namun, cukup jelas untuk Ebas mendengarnya.
Tatapan mereka bertemu. Mata Nala yang besar dan penuh emosi kini langsung menatap ke dalam mata Ebas. Ada luka di sana, begitu dalam dan tak tersembuhkan, tapi juga ada rasa terima kasih yang tulus. Tatapan itu seperti berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang diucapkannya.
Ebas terdiam, dadanya terasa berat oleh pandangan itu. Ada sesuatu yang asing, sesuatu yang menusuk perisai dinginnya. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, meskipun ia mencoba untuk tidak menunjukkan reaksi apa-apa.
"Tak perlu berterima kasih," jawabnya akhirnya, suaranya terdengar lebih rendah dari biasanya.
Ia berusaha mengalihkan pandangannya, tapi seakan terperangkap dalam mata Nala yang penuh dengan cerita yang belum terungkap.
Nala terlihat ingin mengatakan sesuatu lagi, tetapi ia ragu, akhirnya hanya menundukkan kepala. Namun, Ebas masih merasakan intensitas dari tatapannya yang barusan. Seperti ada sesuatu yang menghubungkan mereka, meski ia tidak tahu apa itu.
Ebas menarik napas dalam, mencoba menenangkan jantungnya yang berdegup tak terkendali.
"Aku pergi dulu," katanya pelan, memutuskan untuk memberi Nala ruang.
Ketika pintu tertutup di belakangnya, Ebas berdiri sejenak di koridor, punggungnya bersandar pada dinding. Ia menatap ke lantai, merasa ada sesuatu yang aneh merasuki dirinya. Tatapan Nala barusan tidak hanya meninggalkan kesan; itu seolah mengguncang dirinya, sesuatu yang belum pernah ia alami sebelumnya.
Menggeleng pelan, Ebas kembali melangkah pergi, namun pikirannya masih terjebak pada tatapan itu—tatapan yang terasa seperti memohon perlindungan sekaligus mengungkapkan rasa syukur yang mendalam. Tatapan yang, entah kenapa, membuatnya merasa lebih hidup.