11

1120 Kata
Pintu kamar itu kembali terbuka pelan, suara engselnya hampir tak terdengar. Nala yang sedang berdiri di dekat jendela refleks menoleh, mengira pria itu kembali. Namun, kali ini, kepala kecil seorang gadis dengan rambut hitam lurus yang diikat dua muncul dari balik pintu, hanya setengah tubuhnya yang terlihat. "Halo," sapa gadis kecil itu dengan suara pelan, penuh kehati-hatian, seperti takut jika kedatangannya tak diterima. Nala menatapnya sejenak, terkejut, tetapi kemudian bibirnya melengkung membentuk senyuman lembut. Gadis kecil itu terlihat begitu manis dan polos, mengenakan dress putih sederhana dengan pita merah kecil di bagian pinggangnya. Rambutnya yang diikat kembar menambah kesan lucu pada wajah bulatnya, dan pipinya yang sedikit kemerahan membuat Nala tak bisa menahan senyumnya. Melihat senyuman Nala, gadis kecil itu merasa lebih berani dan membuka pintu sedikit lebih lebar. Ia melangkah masuk dengan kaki kecilnya, memegang boneka kelinci yang sudah mulai usang tapi jelas kesayangan. "Namaku Cala," ucap gadis itu dengan suara riang, meski ada sedikit nada gugup. "Kata Sari, ada tamu di sini. Aku ingin berkenalan." Nala berlutut perlahan agar sejajar dengan gadis kecil itu. Ia mencoba menyembunyikan rasa gugupnya sendiri, tetapi kehadiran Cala yang polos dan ceria membuat suasana hatinya terasa lebih ringan. "Namaku..." Nala terdiam sejenak, lalu menghela napas kecil sebelum melanjutkan, "Panggil saja aku... Nala." Cala tersenyum lebar, matanya yang besar dan berbinar menunjukkan kebahagiaan. "Nama yang cantik, Aunty Nala!" katanya tanpa ragu, suaranya penuh kepolosan. Nala terkekeh kecil, sedikit merasa tersentuh oleh ketulusan Cala. "Terima kasih. Boneka kelincimu lucu sekali," ujarnya, menunjuk ke boneka yang dipegang Cala. "Oh, ini namanya Bubu!" Cala mengangkat bonekanya, memperkenalkannya seolah itu adalah teman baiknya. "Bubu selalu bersamaku. Kalau Aunty Nala sedih, aku bisa pinjamkan Bubu sebentar. Dia bisa bikin Aunty Nala senang, lho." Hati Nala mencelos mendengar ucapan polos itu. Anak sekecil ini menawarkan boneka kesayangannya demi membuat orang lain senang. Tanpa sadar, matanya terasa panas, tetapi ia tetap tersenyum. "Terima kasih, Cala. Kamu anak yang baik," ujar Nala dengan suara lembut. Cala mendekatkan diri, menatap Nala dengan tatapan ingin tahu. "Aunty Nala sakit, ya? Papiku bilang Aunty harus istirahat. Apa sekarang sudah lebih baik?" Nala mengangguk perlahan. "Sedikit lebih baik. Terima kasih karena kamu peduli." Cala tersenyum lagi, kali ini lebih lebar, dan duduk di lantai dengan posisi santai, seolah mereka sudah saling mengenal lama. Suasana kamar yang tadinya dingin perlahan terasa hangat dengan kehadiran gadis kecil itu. Bagi Nala, ini adalah momen kecil yang untuk pertama kalinya membuatnya merasa sedikit lebih hidup setelah sekian lama terjebak dalam gelap. Cala mulai memainkan boneka kelincinya, Bubu, di lantai dekat kaki Nala. Sesekali ia menirukan suara kelinci yang ceria, mencoba menghibur Nala dengan kelucuan khas anak kecil. Nala, yang semula hanya mengamati, perlahan tertawa kecil melihat tingkah Cala. "Aunty Nala, kalau aku main di sini, kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Cala sambil menatap Nala dengan mata besarnya yang penuh harapan. Nala mengangguk, senyumnya kembali terbit. "Tentu saja, Cala. Aku suka kamu di sini." Cala tersenyum lebar, menepuk tangan kecilnya di lantai. "Yeay! Aku janji nggak akan berisik. Papiku bilang, Aunty harus banyak istirahat." Ucapan Cala membuat Nala sedikit tersentuh. Anak ini begitu perhatian, meski mereka baru bertemu. "Cala, kamu anak yang sangat baik," puji Nala lembut. Cala mengangguk penuh percaya diri. "Iya dong! Aku selalu baik. Papi bilang begitu." Mendengar jawaban itu, Nala tersenyum lebih lebar. Hatinya sedikit lebih ringan dari sebelumnya. Kehangatan Cala perlahan-lahan menghapus sebagian ketakutannya. Namun, momen itu terganggu oleh suara ketukan pelan di pintu. Cala langsung menoleh, wajahnya berubah gugup. "Papi?" bisiknya, seolah takut tertangkap basah. Pintu terbuka, dan benar saja, Ebas muncul di ambang pintu, mengenakan setelan kerja lengkap, kali ini sudah rapi dengan dasi. Matanya langsung menemukan putrinya yang duduk di lantai bersama Nala. Ada sedikit kejutan di wajahnya, tapi tidak lama, senyum tipis terlukis di bibirnya. "Cala," panggilnya pelan, tapi tegas. Cala bangkit dengan cepat, boneka Bubu digenggam erat di tangannya. "Aku cuma main sebentar, Papi. Aunty Nala baik sekali!" ujarnya cepat, mencoba membela diri. Ebas menghela napas kecil, lalu menatap Nala. "Maaf kalau putriku mengganggu," katanya sopan, suaranya sedikit lebih lembut dari biasanya. Nala menggeleng pelan, senyum tipis masih menghiasi wajahnya. "Tidak sama sekali. Dia justru menghiburku." Ebas mengangguk, ekspresinya sulit terbaca. "Cala, sudah waktunya kamu ke ruang makan. Sari sudah menyiapkan sarapanmu." Cala tampak ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. Ia menoleh pada Nala, melambaikan tangan kecilnya. "Sampai nanti, Aunty Nala!" serunya ceria sebelum berlari keluar dengan bonekanya. Ebas menatap Nala sebentar sebelum berkata, "Jika ada yang kamu butuhkan, Mirna ada di luar. Jangan ragu untuk meminta." Nala hanya mengangguk pelan, dan pria itu pun pergi, menutup pintu dengan lembut. Ruangan itu kembali sunyi, tapi untuk pertama kalinya, kesunyian itu tidak terasa mencekam bagi Nala. Entah kenapa, kehadiran Cala dan bahkan Ebas, meskipun singkat, membawa rasa hangat yang tak pernah ia duga. Saat Ebas hendak beranjak pergi setelah menutup pintu, ia tiba-tiba berhenti. Pikirannya sejenak terganggu oleh kondisi Nala yang terlihat masih lemah. Ia menoleh kembali, menatap Nala yang berdiri di dekat jendela, tampak ragu-ragu untuk bergerak. “Nala,” panggil Ebas dengan nada lembut, tidak seperti biasanya. “Kalau kau belum makan, bagaimana kalau kita makan bersama?” tawarnya. Nala tampak terkejut mendengar ajakan itu, matanya membulat sejenak sebelum akhirnya menunduk. Ia berpikir sejenak, merasa bingung harus menjawab apa. Tapi ketika ia mengangkat wajahnya lagi, ia mengangguk pelan, senyum kecil menghiasi bibirnya. "Baik," jawab Nala akhirnya dengan suara hampir berbisik. Mendengar itu, Ebas tersenyum tipis. Sebelum dia sempat mengatakan apa-apa lagi, suara kecil yang penuh semangat terdengar dari balik pintu. “Aunty Nala ikut makan juga?” seru Cala dengan antusias. Ternyata gadis kecil itu belum benar-benar pergi dan sekarang muncul lagi di ambang pintu dengan boneka kelincinya yang setia di tangan. Nala menoleh dan tersenyum melihat Cala. “Iya, Aunty ikut,” jawabnya lembut. Cala bersorak kecil, mendekat dengan langkah-langkah kecilnya, lalu tanpa ragu menarik tangan Nala. "Ayo, Aunty! Kita makan bareng! Aku suka kalau Aunty ikut," katanya dengan mata berbinar. Nala terdiam sejenak, terkejut dengan kehangatan dan kepolosan anak kecil itu. Tapi ia tak menolak, membiarkan Cala menggenggam tangannya erat sambil berjalan perlahan menuju pintu. Ebas yang berdiri di sana hanya memperhatikan dengan tenang, menyembunyikan senyum kecil yang muncul di sudut bibirnya. “Cala, jangan buru-buru. Aunty Nala masih harus pelan-pelan,” ujar Ebas dengan nada sedikit memperingatkan, meskipun terdengar lembut. Cala menoleh dan mengangguk patuh, mengurangi langkahnya, tapi tetap memegang tangan Nala erat-erat. "Baik, Papi. Tapi Aunty harus ikut makan sama kita, kan?" tanyanya memastikan. Ebas menatap Nala sejenak, lalu mengangguk. "Ya, Aunty Nala makan bersama kita," jawabnya. Mereka bertiga berjalan bersama menuju ruang makan. Untuk pertama kalinya, meja makan yang biasa terasa dingin dan formal kini memiliki suasana hangat yang berbeda. Cala dengan cerianya menghidupkan suasana, sementara Nala perlahan mulai merasa diterima di tempat yang asing ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN