KECELAKAAN WAKTU ITU

1014 Kata
"Bian." Alea bersimpuh dengan tubuh gemetar. Ia meraih kepala Bian ke pangkuannya. "Bian, Bangun! Bangun, Bian!" Alea berteriak sambil menggoyangkan tubuh Bian. Tubuh pria itu penuh darah. "Bian! Bangun, Bian!" Alea berteriak sambil menangis. Kedua tangannya menopang wajah Bian. Darah mengalir dari kepala Bian dan membasahi wajahnya yang terlihat pucat. Kedua mata Bian berkedip. "Al-le-a ...." Suara Bian tercekat di tenggorokan. Kedua mata Bian berkedip, merasakan pandangannya yang mengabur. Sementara darah masih mengalir dari kepalanya. "Bian, bangun! Aku mohon ...." "A-le-a ... ma-af-kan-a-ku ...." "Aku akan memaafkanmu, tapi kau harus bangun, Bian!" Alea berteriak panik. Bian tersenyum tipis. Wajahnya berubah pucat seperti kapas dengan darah yang terus mengalir. "Tidurlah!" Suara Laras membuyarkan ingatan Bian tentang kecelakaan yang dialaminya tiga tahun yang lalu. Air mata pria itu menetes membuat Laras yang melihatnya ikut bersedih. "Tidurlah! Jangan memikirkan dia lagi. Kamu harus beristirahat, Bian." Laras memeluk tubuh Bian. Air matanya ikut mengalir, merasakan kesedihan yang dialami putranya. "Tidak perlu disesali, semuanya sudah terjadi. Kamu tidak boleh terus terjebak dalam masa lalumu, Bian. Semuanya sudah lama berlalu." Laras mengusap air mata Bian. "Sudah tiga tahun berlalu. Kamu seharusnya bangkit dan kembali menata hidupmu. Bukankah Alea juga sudah bahagia di sana bersama pilihannya? Lantas, kenapa kamu justru masih terjebak di masa lalu?" ucap Laras lagi. Memperingatkan pada Bian jika Alea sudah bahagia bersama lelaki yang kini dicintainya. Dalam hati Laras terus berpikir, bagaimana caranya agar Bian mau berubah dan perlahan melupakan Alea. Sudah hampir tiga tahun ini, Bian terus meratapi nasibnya. Laras tahu, tidak akan mudah bagi Bian untuk melupakan semuanya begitu saja. Semua rasa cintanya yang terlambat datang untuk Alea, membuat Bian harus kehilangan perempuan itu. Rasa penyesalan yang teramat dalam pada Alea karena perbuatannya di masa lalu, membuat Bian semakin tersiksa. Meskipun Bian sudah meminta maaf pada Alea, tetapi, kata maaf saja ternyata belum cukup baginya. Apalagi, saat melihat sikap Alea yang begitu membencinya. Sampai pada akhirnya, kecelakaan itu pun terjadi dan merenggut semua yang dimiliki oleh Bian. "Lupakan dia, dia sudah bahagia bersama orang lain. Kamu juga harus bahagia, Bian." Laras berbisik di telinga Bian kemudian memeluk putranya. "Apa yang kamu lakukan untuknya, sudah lebih dari cukup untuk membuktikan padanya, kalau kamu benar-benar menyesal telah menyakitinya di masa lalu." "Mama ...." "Kamu sudah kehilangan semuanya demi menolong perempuan itu, apa menurutmu itu belum cukup?" "Aku tidak pernah menyesal telah kehilangan semuanya karena kecelakaan itu, Ma. Aku tidak menyesal karena sudah menolong Alea meski akhirnya aku kehilangan semuanya." "Dasar bodoh! Kenapa cinta membuatmu menjadi sangat bodoh?" "Karena perempuan itu pun pernah menjadi bodoh karena terlalu mencintaiku, Ma." *** Bian duduk di atas kursi rodanya. Wajahnya menengadah memandang langit. Sinar matahari menerpa seluruh tubuhnya pagi itu. Pagi yang sangat cerah. Namun, sayangnya Bian tidak bisa melihat matahari di pagi itu. Semenjak kecelakaan itu terjadi, Bian mengalami cidera kepala yang cukup serius, sehingga ia harus rela kehilangan penglihatannya. Pada awal tidak bisa melihat, Bian merasa dunianya hancur seketika. Ia merasa kehilangan semua harapannya. Apalagi, saat itu Bian baru saja berniat ingin memperbaiki hubungannya dengan Alea. Wajah tampan itu merenung, membiarkan sinar matahari menyapa kulitnya yang memerah karena rasa hangat dari sang mentari. Ingatannya kembali pada saat Bian masih di rumah sakit waktu itu. Rumah Sakit, tiga tahun yang lalu .... Kenzo menatap wajah pucat penuh luka di hadapannya. "Bian, aku berterima kasih padamu karena kamu telah menyelamatkan Alea. Kamu bahkan rela bertaruh nyawa dan membiarkan dirimu yang terluka demi melindungi Alea. Perempuan yang pernah kamu benci dan kamu sakiti dengan begitu dalam." Kenzo menjeda ucapannya. "Namun, aku tahu pasti jika perasaanmu saat ini sudah berbalik. Kamu yang dulu sangat membencinya, sekarang justru sangat mencintainya. Kamu bahkan rela menyelamatkan Alea dan mengorbankan dirimu. Mengabaikan fakta, kalau nyawamu juga sangat berharga." "Aku sangat berterima kasih padamu. Hanya berterima kasih. Jadi, sebaiknya kamu jangan berpikir karena kamu sudah menyelamatkannya, kemudian kamu bisa kembali memilikinya." Kenzo melanjutkan ucapannya. "Tidak! Dulu Alea memang sangat mencintaimu, bahkan teramat sangat mencintaimu. Namun, kamu dengan begitu bodohnya terus melukai dan menyakitinya." "Bian, sekali lagi aku berterima kasih padamu. Aku berterima kasih karena kau telah membiarkan Alea selamat. Tapi, kamu harus ingat, kamu adalah masa lalu Alea, sementara aku adalah masa depannya. Bahkan jika suatu hari kamu memaksanya untuk terus di sampingmu, aku sangat yakin, kalau dia tidak akan pernah bahagia bersamamu. Raganya bisa bersamamu, tapi hatinya adalah milikku. Alea sudah memberikan hatinya untukku dan saat ini, dia bahagia bersamaku." Kenzo meneruskan kalimatnya dengan penuh percaya diri. "Bukankah kamu sangat mencintainya? Jadi, biarkan aku menjaganya dan membuatnya terus bahagia." Kenzo terus menatap wajah Bian. Pria itu terlihat begitu menyedihkan dengan perban di kepalanya, juga di kedua kakinya. Mulutnya terpasang ventilator untuk membantunya bernapas. Ada selang infus yang terpasang di tangannya, ada juga selang makanan yang terpasang di hidungnya. Sementara di samping pria itu berbaring, terdapat layar monitor yang memperlihatkan kondisi detak jantung, tekanan darah, hingga kadar oksigen dalam darahnya. Pada layar tersebut juga terlihat garis-garis yang menunjukkan grafik detak jantung pasien, yang mengeluarkan suara sesuai detakan jantung. "Bian, semoga kamu cepat sembuh. Terima kasih karena kamu telah menyelamatkan Alea ." Kenzo berbalik melangkah mendekati pintu, menatap Bian sebentar, kemudian keluar dari ruangan itu. Sementara di atas ranjang, jari-jari tangan Bian bergerak, dan perlahan mengepalkan tangannya. Semua kalimat yang diucapkan oleh lelaki yang baru saja berlalu dari hadapannya itu membuat hatinya serasa ditusuk ribuan jarum. Kenzo. Lelaki yang membuat Alea berpaling darinya. Lelaki yang telah membuat Alea jatuh cinta dan melupakan dirinya. Lelaki itu pula 'lah yang telah menyelamatkan Alea pada saat wanita itu terpuruk dan terluka karena perbuatannya. Semua yang dikatakan oleh Kenzo memang benar. Seandainya saat ini Alea bersamanya, itu karena Alea merasa bersalah padanya. Raga Alea bersamanya, tetapi, hatinya tetap milik Kenzo. Mengingat itu semua, hati Bian semakin sakit. "Apa kamu benar-benar sudah melupakan aku, Alea? Apa semua ucapan pria itu benar jika saat ini kamu sudah menyerahkan hatimu untuknya? Jika benar kamu bahagia bersamanya, aku rela melepaskanmu untuk dia." Bian masih memejamkan mata. Lelaki itu masih dalam keadaan tidak bergerak. Namun, alam bawah sadarnya, masih mendengar semua kalimat yang diucapkan oleh orang lain. Termasuk seseorang yang baru saja datang dan kini berada di sampingnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN