Setelah kepergian Kenzo, beberapa saat kemudian, Alea datang menuju ruangan Bian. Setelah mendapatkan izin dari dokter, perempuan itu masuk dengan baju khusus ke dalam ruang ICU.
Air matanya luruh seketika saat ia melihat Bian terbaring tak berdaya di atas ranjang pasien dengan beberapa alat medis yang terpasang di tubuhnya.
Apalagi, saat ia melihat kepala Bian yang tertutup perban. Ingatannya langsung kembali pada kejadian kecelakaan kemarin. Saat itu Alea melihat sendiri darah yang keluar dari kepala Bian, bukan hanya di kepalanya, tetapi Alea juga melihat darah yang keluar dari kedua kaki Bian yang terlihat hancur karena terlindas ban mobil.
Mengingat itu, tangis Alea kembali pecah. Perempuan itu tak kuasa menahan segala kesedihannya.
Alea mendekati Bian yang belum juga tersadar pasca operasi. Perempuan itu meraih tangan Bian dan menggenggamnya pelan.
"Kenapa kamu lakukan ini, Bi? Kenapa kamu menyelamatkan aku dan mengabaikan keselamatanmu sendiri?" Alea menangis di samping Bian.
"Harusnya kamu juga bisa ikut berlari denganku, bukan? Kenapa kamu malah membiarkan dirimu celaka dan membiarkan aku selamat? Apakah kamu memang sengaja? Sengaja, agar aku bisa kembali mendekat padamu? Apa kamu merasa belum cukup menyakiti aku, Bian?"
Alea menelungkupkan wajahnya pada tangan Bian. Ia menangis di sana. Menangis sambil terus memegang tangan pria yang dulu pernah dicintainya dengan begitu dalam. Pria yang selama bertahun-tahun bertahta dalam hatinya.
"Kenapa kamu tak pernah berhenti menyakiti aku, Bian? Kenapa kamu selalu saja membuat hatiku sakit? Bahkan di saat aku sudah bahagia bersama dia, kamu masih saja membuatku menangis dan sakit hati." Alea menangis sambil menatap wajah pucat di depannya.
Teringat kembali saat pria itu menarik tangannya, kemudian memeluknya dengan erat.
"izinkan aku memelukmu sebentar saja, hanya sebentar. Aku sungguh-sungguh merindukanmu ...."
"Aku hanya ingin memelukmu sebentar saja. Setelah ini, aku janji aku tidak akan mengganggumu lagi, Alea."
Kata-kata Bian sebelum kejadian kecelakaan itu, kembali terngiang di telinga Alea. Membuat Alea semakin merasakan sakit di hatinya. Jantungnya serasa diremas-remas.
Alea yakin, dia sudah tidak memiliki perasaan apapun terhadap Bian. Namun, saat melihat Bian mempertaruhkan nyawa hanya demi menyelamatkan dirinya membuat hati Alea merasakan kesakitan yang luar biasa.
Apalagi, melihat keadaan Bian yang seperti ini. Rasanya, Alea benar-benar tidak bisa memaafkan dirinya sendiri.
"Apa sekarang kamu sudah puas, Bian? Apa sekarang kamu puas menyakitiku lagi, dan lagi?"
"Kenapa, Bian? Bahkan di saat aku sangat membencimu, aku masih sangat merasakan sakit di hatiku saat melihatmu seperti ini? Aku sungguh tidak rela melihatmu seperti ini, Bian." Alea menatap wajah Bian yang terlihat pucat. Ada beberapa luka kecil dan memar di sekitar wajahnya.
Alea membelai wajah Bian dengan berlinang air mata. Pria ini adalah pria yang bertahun-tahun pernah dicintainya. Bohong, kalau Alea tidak merasakan apapun saat berdekatan dengannya seperti ini.
"Aku lebih suka melihatmu menangis dan menyesali perbuatanmu padaku. Aku lebih suka melihatmu menangis, saat kamu melihatku dari jendela kamarmu. Aku lebih suka melihatmu menangis karena menyesal. Menyesali perbuatanmu karena telah membunuh anakku, Bian. Anak kita ...." Alea menangis, merasakan sakit di hatinya.
Alea melingkarkan tangannya pada perut Bian, kemudian jarinya ia masukkan pada sela jari Bian yang terasa dingin. Alea menyatukan tangannya, sementara kepalanya ia sandarkan pada bahu Bian.
"Kamu bilang, kamu ingin memelukku bukan? Sekarang aku memelukmu, apa kamu bisa merasakannya?"
"Bangunlah! Kamu harus bangun. Aku ingin kamu melihat, kalau aku juga bisa bahagia tanpamu. Aku ingin kamu juga merasakan kesakitan yang aku rasakan. Aku ingin kamu tahu, bagaimana sakitnya saat orang yang kamu cintai mencintai orang lain."
Alea terisak sambil memeluk Bian. Hatinya bergetar, saat ia mengingat masa lalunya bersama pria itu.
"Aku ingin kamu merasakan sakit yang sama sepertiku, sakit seperti saat kamu membawa Amara ke rumah dan lebih memilih perempuan itu. Aku ingin kamu merasakannya, Bian, Bangunlah! Bangun, aku mohon ...." Alea masih terus menangis.
Air matanya kini sudah mengalir membasahi baju Bian. Perempuan itu terus memeluk Bian sambil menangis. Meluapkan segala emosi dan semua isi hatinya selama bertahun-tahun.
"Aku membencimu, Bian. Aku membencimu, kenapa kamu lakukan ini padaku?"
Alea bangkit, melepaskan pelukannya. Ia menatap wajah Bian yang masih terdiam dengan kedua mata terpejam. Pria itu bahkan tidak tahu kalau saat ini Alea sedang menangisinya. Menangis kesal karena Bian dengan seenaknya menyelamatkannya dari kecelakaan dan membuat ia dilema.
Dilema karena Alea tidak mungkin terus menerus berada di samping Bian. Namun, rasa kesal itu tidak dapat menutupi rasa sakit di hatinya saat melihat sendiri bagaimana Bian mempertaruhkan nyawa hanya untuk melindunginya.
"Bian, aku memang membencimu, tapi aku juga tidak pernah berharap melihatmu dalam keadaan seperti ini. Apalagi, semua yang terjadi padamu disebabkan olehku. Aku tidak bisa menerimanya, Bian. Bagaimana mungkin orang yang begitu aku benci justru menyelamatkan aku?" Alea kembali membelai wajah tampan Bian yang terlihat pucat. Air matanya masih terus mengalir pada kedua pipinya.
Sementara itu, tanpa Alea sadari, jari tangan Bian bergerak.
"Maafkan aku ... maaf!" Tangis Alea kembali luruh. Perempuan itu tak kuasa menahan kesedihannya.
"Maafkan aku, kalau bukan karena aku, kamu pasti masih baik-baik saja." Alea memeluk Bian, sambil terus terisak.
Alea bangkit, saat mendengar suara pintu terbuka. Seorang perawat datang menyuruhnya keluar, tetapi, Alea meminta waktu sebentar lagi. Sang perawat mengangguk, kemudian berdiri di belakang Alea.
Alea mengusap tangan Bian yang terasa dingin, kemudian membelai wajah pria itu. Alea mendekatkan wajahnya pada Bian, mendaratkan bibirnya pada sudut bibir Bian yang terluka.
Bian yang berangsur-angsur sadar, merasakan debaran jantungnya berpacu dengan cepat saat dia merasakan rasa hangat di sudut bibirnya. Sudah sekian lama, akhirnya Bian kembali merasakan hangat bibir Alea, meskipun hanya sekilas. Bian kembali menggerakkan jemarinya saat tangan Alea sudah melepas genggaman tangannya. Bian bermaksud ingin kembali meraih tangan perempuan itu dan menggenggamnya erat. Namun, kata-kata Alea selanjutnya membuat ia mengurungkan niatnya. Tangan yang tadinya ingin meraih Alea ke dalam pelukannya, kembali lemas tak bertenaga.
"Maafkan aku, Bian. Cepatlah bangun, agar aku bisa merawatmu. Aku janji, aku akan terus disampingmu sampai kamu sembuh. Nanti kalau kamu sudah pulih, aku akan kembali padanya. Aku mencintainya sebesar aku mencintaimu dulu, bahkan mungkin lebih besar. Aku tidak mau kehilangan dia seperti aku kehilanganmu di masa lalu."
"Saat kamu dulu lebih memilih perempuan itu daripada aku, duniaku terasa hancur. Apalagi, saat kamu lebih mempercayai kata-kata perempuan itu, sehingga kamu terus menyiksaku dan membuatku kehilangan anak kita karena keegoisanmu."