🎤: Kodaline
Aku merasa cukup. Cukup dicintai, cukup dihargai, cukup berarti—tanpa harus membuktikan apa pun ke siapa pun.
***
Aku baru saja merapikan tali sling bag-ku ketika Mas Ay menggenggam tanganku. Paper bag berisi pakaian tempur kami tergantung di tangan kirinya. Namun, langkahnya tak berlanjut, justru berhenti, dan menahanku. Keningku sontak mengerut. “Ada yang ketinggalan, Mas? Jadi kepingin yang shocking pink?” godaku seraya melirik ke rak boxer pria di ujung ruangan.
Ia tergelak singkat. “Bukan, Dek.”
“Terus?”
Bibirnya mengatup rapat, lalu helaan napasnya terdengar resah.
“Tapi janji dulu. Jangan marah.”
“Mas bikin dosa apa?” balasku. Seingatku kami baik-baik saja dari tadi.
“Janji dulu,” pintanya lagi.
“Ngga mau!” tegasku. Ada rasa panas yang perlahan terbit di dad4.
Mas Ay terdiam. Ia menghela napas panjang. Tatapannya masih tertuju ke iris mataku, memantulkan raut wajahku yang tampak sedikit tegang. “Mas cuma ngga mau kamu bad mood. Kan kita lagi honeymoon, Dek,” ujarnya.
“Terus?” Aku menyahut, dingin.
“Itu … perkiraan Mas salah. Ajeng juga bohong.”
Aku mengerjap. Mendengar nama kakakku, napasku tercekat. Dua kata terakhir yang Mas Ay sampaikan barusan, meresap ke otakku. Ajeng. Bohong.
“Soal apa, Mas?” tanyaku, terdengar mencicit. Kami masih berbulan madu, kenapa harus membahasnya.
“Ajeng ngga ke luar negeri, Dek,” jawab suamiku. Ia memberi jeda singkat. “Jadi, dia bukan di New York seperti dugaan Mas,” lanjutnya.
Untuk beberapa detik, aku bergeming, mencoba mencerna informasi tersebut seperti memecahkan teka-teki yang baru saja diacak ulang. Lalu, naluri aneh membuatku memutar arah pandang, memalingkan wajah ke kaca jendela besar yang menghadap ke jalan luar toko. Dan di sana—seolah semesta merespons keterlambatan otakku—aku melihatnya.
Kak Ajeng.
Ia melangkah cepat. Nyaris berlari. Wajahnya tegang, fokus, seolah tengah mengejar seseorang. Atau sesuatu.
Tengkukku terasa dingin, tubuhku seolah membeku. Seakan aku melihat hantu dari masa lalu. Namun, itu bukan makhluk mistis, melainkan benar-benar kakakku. Masalahnya, kenapa dia di sini?
“Dek?”
Teguran itu membuatku tersentak. Aku buru-buru membalikkan badan, menyembunyikan wajah dari jendela. Mas Ay menatapku, alisnya mengerut penuh tanya. Ada apa? Apa suamiku berharap aku akan langsung lari ke luar, menjegat kakakku, dan mencaci makinya?
“Dia sudah lewat, Dek. Ngga lihat kita lagi,” lanjutnya.
“Lagi, Mas?” tanyaku.
“Iya. Sebelum kita masuk ke sini pun, dia ngga lihat kita.”
“Ngga sadar atau memang ngga peduli?” lirihku.
Mas Ay mendengus pelan, mengangkat bahu. “Ngga tau, Dek,” jawabnya. Ia lalu mendekat ke meja kasir kembali. “Permisi, Mbak,” ujarnya ke perempuan di balik mesih hitung. “Apa ada pintu keluar lain?”
Staf itu mengangguk. “Lewat belakang bisa, Pak. Mari saya tunjukkan.”
Kami mengikuti staf itu melewati selasar sempit. Heels-nya beradu dengan lantai marmer, menggemakan ketukan. Kami melewati gudang kecil, aroma campuran karton, tekstil, dan wangi samar lavender menyapa penciuman. Kotak-kotak pengiriman bertumpuk tinggi di sisi kiri, menyisakan lorong yang hanya cukup untuk satu orang melintas.
Begitu pintu belakang terbuka, embusan udara sore langsung membelai wajahku. Angin dari arah lembah tercium segar, sementara sorot lembut sang mentari membuatku menyipitkan mata. Normalnya, aku menyukai suasana seperti ini. Namun, kali ini tak ada kelegaan. Justru, ada yang mengganjal di pikiranku.
Aku merasa ... konyol.
Kenapa aku harus menghindar?
Kenapa aku yang malah berjalan cepat ke pintu belakang, seolah aku yang bersalah?
Mas Ay menanyakan pintu ini pasti karena melihat ekspresiku tadi, bukan? Karena aku diam. Karena aku ... merasa kedinginan meski matahari masih bersinar hangat.
Jalan desa begitu asri, teratur, dan cukup hening. Pepohonan berjajar di sepanjang trotoar kecil, dedaunannya bergoyang pelan. Jendela rumah-rumah penduduk masih terbuka lebar, artinya senja tak tergesa untuk datang. Burung gereja menari di udara, beterbangan melintasi kabel listrik yang membentang. Semesta seolah ikut berusaha meredamkan amarahku dengan keindahannya.
Aku enggan bicara. Entah kenapa, rasanya semua kata terlipat rapi dalam pikiranku yang mendadak sibuk.
‘Kalau Kak Ajeng ngga ke luar negeri, kenapa dia sini? Apa Kak Ajeng tau kami bulan madu ke Pinggan? Sebenarnya apa yang dia mau? Dia sengaja melakukan ini semua? Untuk apa? Atau keberadaannya di sini hanya kebetulan? Tapi kebetulan macam apa yang bisa mempertemukan kami di toko lingerie terpencil di dataran tinggi Bali?’
Aku bahkan tak sadar ketika kami sudah sampai di tempat parkir. Mas Ay meraih helm, lalu memakaikannya di kepalaku dengan lembut. Tangannya menuntunku, melekatkan telapak dan jemariku di bahunya sebagai tumpuan saat aku naik dan duduk di belakangnya.
Motor melaju pelan, menembus angin sore yang semakin dingin. Aku masih tak berkata-kata. Suamiku pun tak menuntut penjelasan. Bahkan saat kami melewati Kak Ajeng yang tengah berdebat dengan seorang pria, aku tak memberitahu suamiku. Hatiku justru berdoa; ‘Allah, jauhkanlah aku dan kakakku. Setidaknya hingga cintaku dan suamiku kokoh tak tergoyahkan.’
“Dek?”
Secangkir latte yang mengepulkan uap hangat berada di depan wajahku. Aku mendongak, mendapati senyum manisnya.
“Mas?” balasku seraya menerima pemberiannya. “Makasih,” ujarku tulus. “Mas bikin?”
“Ngga. Pesan,” jawabnya. Ia duduk di sampingku. Posisi kami sama seperti terbit tadi saat menonton cloud inversion.
“Kamu marah ya sama Mas?” tanyanya.
Aku menggeleng. “Kenapa harus marah, Mas?”
Ia menyesap latte-nya sejenak, begitu minuman legit tersebut melewati tenggorokannya, ia menghela napas pelan dengan mata yang menatap lurus ke lembah. “Mmm … karena Mas ngga bilang langsung soal Ajeng mungkin?”
“Mas lihat Kak Ajeng pas kapan memangnya?”
“Lagi kita jalan tadi. Dia turun dari taksi. Habis itu celingukan.”
“Makanya Mas tiba-tiba narik aku masuk ke toko lingerie?”
Suamiku mengangguk.
“Oh,” sahutku lirih. “Begitu ternyata.”
“Iya.”
Aku diam sejenak, menyesap latte-ku, menikmati serbuan rasa yang begitu menenangkan di indera perasaku. Setelah beberapa kali sesapan, barulah aku menoleh ke dirinya, di mana ia memperhatikanku lekat.
“Dilihatin mulu! Nanti naksir lo!” selorohku.
“Telat ngasih peringatannya, Dek,” balasnya. “Sudah terlanjur. Terlanjur suka, terlanjur dinikahin, terlanjur ditidurin.”
“Mas ih!” Aku tergelak renyah. Kusesap lagi kopiku. “Mmm … aku ngga marah kok, Mas,” ujarku kemudian.
“Tapi?”
“Ngga pakai tapi. Beneran ngga marah kok,” jawabku. “Makasih malah, Mas. Aku ngga yakin bisa nahan diri kalau tadi beneran tatap muka sama Kak Ajeng.”
Mas Ay setengah mengangguk. Maksudku, kepalanya tak lagi naik setelah menunduk. Ia kini memandangi permukaan gelasnya dengan ujung telunjuk yang menyusuri tepiannya. Seolah … ada sesuatu di pikirannya yang tak sanggup ia tuturkan.
“Nara ngga nyesal nikah sama Mas. Sama sekali ngga, kok,” ujarku.
Ia sontak menatapku. “Kamu baca pikiran aku?”
Aku terkekeh lagi. “Ngga, Mas. Sekadar tebakan. Atau … feeling lebih pas kayaknya.”
Tangannya yang bebas terulur, merangkulku di bahu. Satu kecupan ia hadiahkan di pipiku. Aku menoleh, menyambut ciumannya yang kemudian berlabuh di bibirku.
“Nara sayang Mas. Kayaknya sih gitu.”
Tawa renyahnya menyapa telingaku. “Jangan pakai kayaknya dong.”
“Gampangan banget ih istrinya Mas Ay.”
Ia tertawa lagi. “Akunya jago berarti. Jago naklukin seorang Ainara Manggarani. Coba dari dulu, ya Dek Ai?”
Kini aku yang tergelak. “Justru … di satu sudut hati Nara … sekarang Nara bersyukur kita menikah dengan cara seperti ini. Kalau pacaran, belum tentu kita sampai ke pelaminan, Mas.”
“Kenapa?”
Aku memalingkan wajah, menitikkan air mata.
Suamiku mengambil mug dari tanganku, meletakkannya bersama miliknya di atas meja kayu kecil tepat di samping kanannya. Setelahnya, ia memelukku. “Ada apa, sayang?”
Aku menyandarkan kepala di dadanya. Hangat. Nyaman. Namun juga … membuat sesakku kian terasa, seolah minta diledakkan.
“Mas, tau ngga?” bisikku. “Kak Ajeng tuh kayak vampir.”
“Vampir?”
“Iya. Tapi yang dia hisap bukan darah, melainkan energi.”
“Dementor itu mah.”
Aku terkekeh di tengah sedihku. “Salah, ya Mas?”
“Mas yang salah.”
“Mas salah apa?”
“Salah karena ngga ngajarin kamu apa bedanya vampir dan dementor.”
Tawaku menyembur lagi.
“Kan begitu hukumnya, Dek. Suami bertanggungjawab untuk semua kesalahan istrinya. Termasuk saat istrinya tersesat di antara dunia Twilight dan Harry Potter.”
“Mas ih, bisa banget sih bikin Nara ketawa.”
“Alhamdulillah kalau begitu, Dek,” tanggapnya. “Feeling better?”
Aku mengangguk. “Iya, Mas.”
“Lanjut ceritanya. Lega sejenak boleh, tapi bukan berarti ngga dicari solusinya.”
Jemarinya menyusup di helaian surainya, menyisirnya lembut. Rasanya nyaman, teramat nyaman.
“Nara selalu ngerasa capek kalau berhadapan sama Kak Ajeng, Mas,” ujarku kemudian.
Pelukannya mengencang. Tapi ia tak balas bicara. Jujur saja, itu lebih kubutuhkan saat ini—seseorang yang diam, namun mendekapku tulus.
“Dia selalu nujukin kalau serba lebih dari Nara. Lebih tinggi. Lebih cantik. Lebih modis. Lebih … segalanya,” ujarku lirih. “Setiap aku punya sesuatu yang lebih bagus dari dia, misalnya gadget atau tas, dia pasti beli yang lebih mahal, lebih keren. Terus bilang; ‘Ngga selalu yang otaknya lebih encer-nasibnya lebih cuan. Ngga usah kebayakan gayalah kalau rekening masih kering.’ Ibu Ayah ikutan capek tiap nasehatin Kak Ajeng, boro-boro dikerjain, didengar aja ngga. Ujung-ujungnya Ibu selalu bilang; ‘Sudahlah, Nara. Kakakmu memang begitu. Ngga usah dibalas. Nara tetap hebat di mata Ibu dan Ayah.’ Nyahut deh tuh dia dari kamarnya; ‘Hebat dari Hongkong!’ Kalau Nara ngebales, langsung tuh dia sinis; ‘Sensi banget sih lo. Baperan banget!’ Ya Allah … capek, Mas.”
Mas Ay tak memotong. Aku pun tak berharap demikian. Karena ini bukan kisah yang ingin kuceritakan untuk mendapatkan solusi—aku hanya ingin ia tau.
“Kalau temanku main ke rumah, dia marah-marah. Kayaknya ngga suka banget ada orang lain yang masuk ke rumah. Sampai pernah dia kehilangan gelang, wah Nara dikeplak Mas, nuduh kalau pasti teman Nara yang nyuri. Ayah yang ngga pernah ngebentak kami, sekali itu neriakin Kak Ajeng. Eh Kak Ajeng drama, nangis kejer. Taunya, besok paginya gelang yang dia cari-dipakainya. Katanya dia salah naruh, lupa kalau kemarin ganti tas dan gelang itu ada di tas dia yang lain. Minta maaf ke Nara pun ngga.”
“Astaghfirullah.”
“Tirta ….” Aku menarik napas dalam. “Dia juga pernah ditanyain Kak Ajeng. ‘Kenapa mau pacaran sama Nara?’ Tirta bilang nadanya ngeselin. Kayak ngerendahin Nara banget.”
“Tirta jawab apa?” balas suamiku.
Aku mengangkat wajahku, menatapnya. “Suka-suka sayalah mau pacaran sama siapa.”
“Tirta bilang begitu?”
“Iya. Kan dia tiap hari ngadepin orang kayak Kak Ajeng, Mas. Terus Kak Ajeng kesal. Baru ngomong ‘lo ngga tau kan kalau Nara-‘ dipotong sama Tirta. ‘Bukan donatur dilarang ngatur!’ katanya.”
“Waaah!”
“Makanya kalau Tirta datang, Kak Ajeng ngasih taunya gini; ‘cowok ngga guna lo tuh datang. Suruh pergi buruan, bawa sial doang paling.’”
“Astaghfirullah.”
“Beda banget pasti pembawaannya kalau lagi sama Mas ya?”
Suamiku mengangguk. “Paling kekurangannya yang kelihatan tuh dia boros. Tapi Mas pikir tuntutan juga sebagai seorang model.”
“Mas ngga mikir Nara jelek-jelekin Kak Ajeng kan?”
Ia mengecup keningku. “Ngga, sayang. Ekspresi kamu pas lihat Ajeng tadi, ngasih tau jauh lebih banyak dibanding cerita kamu sekarang.”
Aku menghela napas panjang, menenggelamkan wajahku di dadanya lagi, menghidu dalam wangi tubuhnya yang berpadu dengan lembut aroma musk dari parfumnya.
“Itu yang bikin Nara akhirnya paham kenapa Allah nyatuin kita dengan cara begini, Mas. Karena … kalau aku pacaran sama Mas dari dulu, besar kemungkinan dia bakal ganggu. Karena Kak Ajeng ngga pernah suka kalau aku punya sesuatu—atau seseorang—yang lebih baik dari milik dia.”
Mas Ay hanya memeluk lebih erat. Napasnya terdengar tenang.
“Aku bukan apa-apa, Mas. Aku ngga punya bakat spesial. Ngga bisa nyanyi, ngga bisa masak, ngga stylish. Intinya, apa yang Kak Ajeng bisa, aku ngga bisa. Sanking aku takut berubah jadi orang sejahat Kak Ajeng kalau aku punya keahlian yang sama dengan dia. Nara cuma menang di akademik.”
“Kamu menangin hatiku,” balas Mas Ay pelan, nyaris tak terdengar.
Aku tersenyum, mataku kembali berkaca-kaca.
Ia lalu mencium ubun-ubunku. Berkali-kali. Dan lama.
“Kalau sama Mas, kamu ngga perlu ngejar kemenangan, Dek. Karena kamu ngga lagi ikut lomba.” Ia menangkup pipiku, menatapku lekat. “Cukup jadi dirimu sendiri. Mas suka Nara yang seperti ini. Nara yang polos, yang cerewet, yang ngga ikutan malu waktu Mas malu-maluin diri di toko lingerie.”
Aku tergelak, bersamaan dengan air mata yang menitik. Namun, tangisku bukan lagi karena kesedihan, namun karena rasa syukur dan haru.
“Aku bangga akan hal-hal yang Ajeng remehkan dari kamu. Bahkan kekacauan yang kamu buat di dapurku bisa bikin aku merasa bahagia. Kalau nanti ada yang harus di-upgrade, kita lakukan sama-sama. Nara jadi lebih baik, Mas juga.” Ia tak menjanjikan apa pun, tapi menawarkan kehadirannya untuk membersamaiku.
“Iya, Mas.” Aku mengangguk. “Iya.” Lalu mengusap mataku yang sembab sebelum menerima pelukannya kembali.