10. AYDEN: 🎵 YOU MAKE IT EASY

2415 Kata
🎤: Jason Aldean Dia tertawa lepas di depanku, dan di detik itu aku sadar—kebahagiaan itu sesederhana melihat orang yang kita cintai merasa nyaman jadi dirinya sendiri. *** Sarapan datang tepat pukul tujuh. Kami menikmatinya seraya berendam di jacuzzi. Uap tipis teh tubruk di tangan kanan, tangan kiri menggenggam jemari istriku. Warna wajahnya tampak lebih baik, semoga saja tak lagi ada hal yang mengganggu bahagianya. Aku menyapukan pandangan ke sekitar, merasa diberkati. Pagi di Pinggan seperti hidup dalam dunia lain. Kabut belum benar-benar lenyap, embun masih melekat di kaca, namun pemandangan indah dan senyuman Nara mengubah tempat ini menjadi sepotong surga. “Mas?” “Apa, sayang?” “Mau Nara kasih tau rahasia?” “Mau.” “Kemarin itu … pertama kali Nara naik pesawat.” Aku sontak terdiam. Ia justru tergelak melihat ekspresiku. “Mas jangan syok gitu dong,” kekehnya. “Nara jadi kayak cewek yang upgrade kasta melalui pernikahan.” “I’m sorry. Mas ngga maksud bikin kamu ngerasa begitu, Dek,” timpalku tulus. “Ih, malah minta maaf. Memangnya aneh banget ya Mas dengan ngga pernah naik pesawat?” Aku menghela napas panjang. Dan dengan jujur, aku mengangguk. “In my opinion,” tanggapku. “Aneh, tapi ngga berarti salah, ngga juga bermaksud merendahkan,” jelasku. “Nara paham kok, Mas,” sahutnya. “Kenapa? Kamu fobia ketinggian?” tanyaku kemudian. “Nggalah. Kalau fobia masa Nara mau naik pesawat? Minimal Nara minta dibius biar ngga sadar selama penerbangan.” “Iya sih.” “Ngga ada alasan khusus, Mas. Terjadi begitu aja,” ujarnya. “Makanya Nara seneeeng banget waktu Mas Ay iyain ke sini. Nara sering go0gling tempat ini gara-gara ngga sengaja lewat di explore Instagr4m.” “Mas juga seneeeng banget ke sini sama kamu.” “Mas pernah nginap di sini sebelumnya?” Aku menggeleng. “Cuma jalan-jalan aja sama teman-teman dekat.” “Sahabat Mas banyak?” “Ngga. Dua orang aja. Dari kuliah. Algar dan Kylo.” “Algar … yang atlet renang, anak Managemen?” “Betul sekali. Baru lulus S1 tuh dia. Terlalu sibuk sama karir. Lagian kan umur karir atlet pendek. Rencananya umur 31 dia bakal pensiun.” “Serius, Mas?” Aku memberengut. “Kamu ngefans?” Nara tertawa. “Ngga, Mas. Cuma pernah dengar aja soal Bang Algar. Pas di kantin deh, teman-teman pada heboh.” “Kamu ngga ikutan heboh?” “Nara hebohnya kalau lihat Mas. Jantung Nara berulah. Pasti langsung kabur,” ungkapnya, lalu terkekeh. “Coba ngga kabur, aku ajak kenalan.” “Iya, ya Mas?” Aku bergumam. “Oh iya, Mas. Kalau atlet badminton pensiun kan istilahnya gantung raket, kalau atlet sepak bola tuh gantung sepatu. Kalau atlet renang apa yang digantung, Mas?” Aku meliriknya tajam. “Mikirin apa?” “Nara serius nanya ih,” tanggapnya di antara gelak. “Ngga ada istilahnya, Dek. Apalagi gantung k4ncut, bukan!” Tawanya malah semakin geli. “Kan Nara ngga tau, makanya nanya. Mas malah marah-marah ih.” “Pertanyaannya yang aneh.” “Mas tuh yang mikir jawaban aneh. Kan bisa aja Mas jawab gantung kacamata renang, gantung medali.” Aku ikut terkekeh. “Kalau kamu, Dek? Punya sahabat?” “Ada, Mas. Dua juga. Kami dekat dari SMA. Dua-duanya dapat rezeki lanjut S2 ke luar negeri. Briony di Sydney. Ines di Kuala Lumpur. Habis akad kemarin, aku langsung kasih tau mereka. InshaaAllah libur kuliah mereka mau pulang. Nanti aku kenalin ke Mas. Tapi kenalannya jangan salaman, biar ngga nyetrum.” Tawaku pecah. “Malah ketawa!” ketusnya. “Ternyata begini rasanya ada yang cemburu,” timpalku. “Kayak Nara aja yang pernah cemburu,” timpalnya. “Oh iya, Mas ngga bisnisan bareng sama Bang Algar dan Bang Kylo?” “Kalau Kylo kamu kenal,Dek?” “Sekedar tau aja, Mas.” “Hmm … belum kepikiran ngebisnis bareng sih. Masih sibuk sama karir masing-masing,” jawabku. “Tapi, mereka tau kalau Manisnya Kita punya Mas?” “Tau, sayang. Mereka ada invest juga pas awal-awal Mas usaha. Jadi, sampai sekarang masih dapat bagi hasil. Masing-masing dapat sepuluh persen.” “I see.” Kami lalu terdiam, menatap pemandangan lembah yang kian jelas sembari menyuap potongan buah dan pancake. Hingga, rasa penasaranku tak lagi terbendung. “Kalau aku, boleh nanya sesuatu?” tanyaku kemudian, setelah hening menjeda beberapa menit. Nara memberi anggukan. “Mmm … kenapa kamu putus sama Tirta, Dek?” Istriku terkekeh sejenak. “Gimana ya jelasinnya, Mas … ya ngga jodoh aja sih.” “Pasti. Kan jodohmu itu aku.” “Iya. Gitu, Mas.” Namun, aku terus menatapnya. Entahlah, aku hanya ingin tau, sedalam apa aku harus menyelami hatinya dan membuatnya fokus mencintaiku-bukan sekedar kewajiban. “Mamanya ngga suka sama Nara, Mas,” ungkap Nara akhirnya. “Dan sahabatnya resek.” “Gimana maksudnya?” “Jadi, kami tuh sama-sama anak kedua, Tirta empat bersaudara. Tapi, Tirta yang kontribusinya paling banyak di rumah. Bukan karena sulung dan yang nomor tiganya pengangguran, ya ada-ada aja deh alasannya biar ngga ikutan ngeluarin uang, padahal mereka ikut makan masakan rumah yang notabenenya bahan-bahan dibeli dengan uang Tirta, tinggal di situ juga.” “Orangtuanya ngga kerja?” “Kalau ibunya memang ibu rumah tangga sejak awal, Mas. Nah ayahnya Tirta, stroke pas pulang dari wisudanya Tirta. Lumpuh dari pinggang ke bawah. Tadinya sama seluruh tubuh sebelah kanan, tapi sekarang tangan sudah bisa digerakkan, ngomongnya aja yang agak kurang jelas.” “Subhanallah.” “Tirta tuh punya sahabat, si Sassa. Rumah mereka dekatan. Tajir mampus. Tapi, broken home, dan lumayan berpengaruh besar ke mentalnya.” “Terus?” “Ngandelin Tirta banget. Tapi, royal sangat juga ke orangtuanya Tirta.” “Ngiket Tirta ya?” “Kurang lebih begitu, Mas.” “Suka kali sama Tirta?” “Ya pastilah, Mas.” “Tirta tau?” “Ngga mau mikirin itu kata dia.” “Berarti Tirta ngga suka.” “Iya, Mas. Tirta bilangnya begitu. Ngga suka sama Sassa. Tapi karena sudah kenal dari kecil, Sassa baik ke keluarganya, ibu dan ayahnya Tirta juga kayak yang berharap Tirta sama Sassa aja … makin-makin kan Tirta ngga bisa gerak.” “Tapi kalian pacaran,” ujarku. “Cuma enam bulan, Mas,” sahutnya. “Nara ya ngga tahan. Masa tiap kali kami lagi jalan, si cewek itu punya terus alasan ngubungin Tirta. Dan Tirta ngga bisa ngga ngangkat.” “Kenapa?” “Dalam enam bulan itu, Mas … sudah dua kali Sassa nyayat tangannya sendiri. Dan itu gara-gara Tirta bilang ngga bisa nyamperin dia berhubung lagi jalan sama Nara.” “Kuntilanak!” Aku memaki perempuan bernama Sassa itu. “Emang.” “Tirta ngga bisa tegas?” “Belum bisa, Mas. Dia masih takut kalau Sassa benar-benar bunuh diri.” “Tapi, bakalan bisa meledak lho dipendam begitu,” tanggapku. Nara mengangguk. “Pas putus itu, kita lagi mau nonton, Mas. Udah beli popcorn dan minuman. Pas di depan pintu teater, Sassa nelpon. Kata dia, orangtuanya berantem lagi, dan itu nelpon sambil nangis-nangis, minta Tirta datang. Karena kesal, Nara minta ikut. Nara mikirnya, mungkin kalau sudah kenal sama Sassa, kami bisa berteman, atau at least Nara bisa memaklumi sikapnya dia.” “Ternyata?” “Pas sampai rumahnya Sassa, itu cewek lagi cekikikan, dong Mas.” “Hah?” “Hmm. Lagi nonton, ketawa sampai nangis. Dan ngga ada jejak sedih di wajahnya. Nara kesal, balik badan, keluar dari rumah itu. Pas di teras, ada tukang kebunnya yang nyapa. Mungkin karena kadung murka, Nara nanya apa benar orangtuanya Sassa habis ribut barusan. Taunya, orangtuanya sudah ngga pulang dua hari.” Aku terperangah. “Emang dia sengaja biar Tirta ngga jalan sama Nara.” “Terus?” “Nara pergi. Tirta ngejar, tapi Nara bilang sudah ngga bisa jalanin sama Tirta. Nara minta putus.” “Tapi, kalian satu Departemen. Di kantor nanti gimana, Dek?” Nara menghela napas panjang. “Nanti aja dipikirin, Mas. Tinggal hadapi. Setahu Nara, Tirta bukan orang yang ngga bisa milah mana situasi pribadi dan profesional.” “Well, I hope so.” “Aamiin, Mas.” Setelah menyelesaikan sarapan, kami lanjut saling membelai dalam diam di atas ranjang. Tak ada percakapan yang mendesak untuk dibahas, tak ada rencana yang harus segera disusun. Hingga akhirnya kami tertidur ditemani aroma kayu pinus yang menyusup melalui celah-celah ventilasi. *** Matahari sudah tinggi ketika kami bangun. Nara mengusulkan untuk jalan-jalan keliling desa. Aku sepakat. Satu unit motor kami sewa dari resepsionis—praktis untuk jalanan yang sempit dan berbukit seperti ini. Convertible car kami tinggal di pelataran parkir, untuk esok lusa menikmati keramaian di pusat kota. Kami berboncengan, angin dingin membelai pipi. Pinggan di siang hari berwajah segar dengan keindahan sawah terasering, kabut tipis bak renda renda di langit, dan aroma kayu bakar yang samar tercium dari dapur-dapur rumah penduduk. Berhubung sudah lapar, kami mampir ke sebuah warung makan di pinggir jalan utama. Aku memesan ayam goreng sambal matah dan seporsi nasi putih, sementara Nara memilih sate lilit dengan nasi merah. Sederhana, namun hangat dan mengenyangkan. “Lain kali, kita nginep lebih lama di sini, ya Mas?” ujarnya seraya menyeruput es kelapa. “Masih kurang ya tiga hari?” Ia mengangguk, lalu terkekeh. “InshaaAllah,” jawabku. “Selama kamu masih mau liburan sama cowok cerewet ini.” Nara mencengir. “Selama Mas ngga keberatan pendengar setianya kayak Nara,” balasnya. “Daftar jadi pendengar Mas seumur hidup ya?” “Kirain sudah terdaftar.” “Formalitas aja, Dek. Konfirmasi ulang.” Kami tergelak ringan bersama. Berkeliling desa kecil ini sungguh tak menjemukan. Kami bahkan tak sadar jika hari sudah memasuki sore. Selepas menitipkan motor di sebuah tempat parkir, kami berjalan kaki menyusuri jalur yang mengarah ke Pasar Desa Pinggan, sebuah kompleks kecil yang menjadi lokasi toko-toko lokal, galeri anyaman, butik baju Bali modern, hingga kedai kopi artisan berjajar damai. Banyak bangunan berfasad bambu dan rotan, membuat kawasan ini berkesan unik. Kami berhenti di beberapa tempat, mengagumi pajangan, membeli beberapa souvenir menarik, dan tentu saja mengabadikan banyak momen dalam kamera. Lalu … aku melihatnya. Ajeng. Ia baru turun dari satu unit taksi yang berhenti sekitar dua puluh meter di depan kami. Rambutnya tergerai. Wajahnya menoleh ke kiri, namun matanya belum menemukan kami. Tanpa berpikir panjang, aku meraih tangan Nara, menggandengnya masuk ke sebuah tenant terdekat. Begitu pintu kaca tertutup, kami baru sadar—ruang itu didominasi lingerie dan bikini tipis-tipis dengan manekin berpose tanpa malu. Nara menoleh ke arahku dengan ekspresi antara bingung dan geli. “Mas?” Aku membalas tatapannya, antara ingin tertawa dan … merasa m3sum. “Kita salah masuk, ya Mas?” Saat ia akan berbalik hadap, aku justru merangkulnya, memaksanya mengayun langkah ke sebuah lorong dengan manekin yang bokongnya memakai tali. ‘Tali? Emang ngga risih nyelip begitu?’ “Malah ngelihatin pant4at patung!” omel Nara. “Itu pantatnya diselipin tali, Dek.” “Iya, ya Mas? Apa rasanya coba?” “Mau nyobain, Dek?” Nara justru terkikik lalu memukul lenganku pelan. “Kita ngapain di sini, Mas?” “Mmm … kali aja kamu perlu underwear.” Ia tak menyahut. “Kan kita nikah tiba-tiba, kamu ngga terima seserahan dari aku. Gimana kalau mau nyicil? Setau Mas, lingerie dan pakaian dalam include bukan?” ‘Anj1r, makin jago main silat lo, Ndra! Silat lidah!’ Dari semua tempat yang bisa kusinggahi untuk menghindari pertemuan tak diinginkan, kenapa harus di toko lingerie? Mataku menyapu cepat. Br4, p4nty, bodysuit, babydoll, pakaian-pakaian setipis tisu. Warna-warna pastel sampai hitam metalik. Berbahan normal sampai jaring-jaring. Rendanya terlalu banyak. Transparannya minta ampun. “Astagfirullah!” Tatapanku kembali ke Nara yang spontan menunjukkan tag harga ke depan mataku. Rp 315.000, 00 untuk sebuah celana d4lam jaring-jaring tipis berwarna hitam. Konyolnya, Nara lanjut memperlihatkan sesuatu padaku. Bagian bawah p4nty itu ... sobek. “Masa bolong begini tiga ratus ribu, Mas?” “Kayaknya biar ngga repot lepas-lepas, Dek.” Ia menutup mulutku, sepertinya aku memutar volume suara terlalu kencang. “Shht!” Di saat yang sama, penjaga toko mendekati kami, menanyakan apa ada model dan jenis tertentu yang kami inginkan. Karena tak ada yang spesifik, aku meminta Nara memilih apa pun yang ia mau. Tak perlu memikirkan harga. Aku bahkan memilih beberapa lingerie yang kubayangkan akan sangat seksi di tubuhnya. Termasuk … celana sobek jaring-jaring hitam tadi. ‘Baru ngebayangin aja udah gerah gue!’ “Mas ngga beli?” tanya Nara kemudian. “Masa Nara doang yang beli?” “Mmm … Mas beli boxer aja deh. Buat dinas.” Nara tergelak. Aku pun menahan tawaku. Kami beranjak ke rak bagian belakang yang isinya berbagai pakaian dalam pria, dari model yang sopan, sampai model yang melihatnya saja aku malu. “Ini koleksi summer terbaru kami, Pak. Materialnya rayon premiun. Dingin di kulit, banyak disukai,” ujar si mbak pramuniaga. Aku menghela napas panjang. “Mbak, saya ditemani istri saya saja milih-milihnya boleh?” pintaku, nyaris memelas, menahan malu. Perempuan itu nyaris terkekeh. Ia mengangguk, menjauh beberapa langkah dari kami. Aku kini pura-pura membolak-balik dua boks dengan gambar pria six pack di sampulnya. “Mas suka yang begitu?” tanyanya. “Hmm?” “Boxer warna shocking pink sama ungu gonjreng,” jawab Nara sambil menunjuk dua kotak yang kupegang, kedua ujung bibirnya tampak berkedut. “Cocok banget buat dinas, Mas.” Aku mengangkat kedua kemasan itu, menutup wajahku, merutuki diri sendiri sejenak. Sementara Nara, jelas memecahkan tawa. “Dek?” “Kenapa Mas?” “Ngga mau bantuin milih ukuran?” tanyaku sok serius, mencoba mengembalikan harga diriku. “Cari yang jaring-jaring, biar couple-an sama punya kamu.” “Oke, kita cari ya?” Ia menyeringai, lalu berjinjit, berbisik di telingaku. “Tapi nyobanya nanti malam, ya?” Aku nyaris menjatuhkan satu boks dari tanganku. Candaannya tak kujawab, melainkan menatapnya lama. Matanya berbinar, pipinya kemerahan karena menahan geli, dan … demi Tuhan, bahkan di tengah rasa kikuk, ia tetap membuatku ingin menciuminya. Dan itulah yang kulakukan. Satu kecupan ringan di pelipis, seraya menyelipkan satu set boxer dengan warna aman—hitam, tentu saja—ke keranjang belanja. “Mas beli beneran? Itu ada jendelanya lho, Mas. Bisa dibuka.” “Biar tinggal masuk,” bisikku. “Ayo cari lagi, yang jaring-jaring buat Mas belum nemu, Dek.” Nara terkikik lagi. “Jangan-jangan, besok-besok Mas jadi suka ngajak Nara masuk toko ginian. Perlu dirutinin apa, Mas?” ‘Kalau ada yang mau Mas lakukan berulang-ulang, itu bukan masuk ke toko lingerie, Dek … tapi bikin kamu senyum dan ketawa kayak sekarang—seolah … Mas lah sumber bahagiamu.’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN