🎤: Yura Yunita
Ia tak pernah bilang semua akan baik-baik saja. Tapi caranya menggenggam tanganku membuatku yakin, kami akan menghadapi semuanya bersama.
***
“Morning, sayang.” Suaranya menyapaku. Masih parau. Berarti belum lama ia terbangun lebih dulu dariku.
Tak semudah membalik telapak tangan. Faktanya, pribahasa itu tak berlaku untuk situasiku saat ini. Menikah dengan seorang pria yang bahkan sebelumnya jarang sekali kuajak bicara. Dan pagi ini, aku kembali membuka mata di sisinya. Jika kemarin aku yang menatapnya sebangun tidur, hari ini gilirannya memperhatikanku.
Aku menarik tepi selimut, menenggelamkan diri di bawahnya.
Suara tawa Mas Ay menyapaku.
Gegas kubersihkan sudut-sudut mataku. Namun, belum sempat aku keluar dari persembunyianku, ia justru ikut bergabung, tanpa aba-aba merengkuhku, melekatkan bibir kami.
Aku … tentu saja tak ingin menolaknya. Ya, aku menyukai caranya menyentuhku. Gesekan ujung jemarinya di kulitku membuatku ingin terus memeluknya. Desahan dan erangannya membuatku merasa luar biasa. Apakah normal semudah ini jatuh cinta lagi? Atau aku yang tersihir euforia?
“Mas Ay?”
Ia membuka matanya lagi, menatapku seraya tersenyum. Ujung telunjukku menyentuh bibirnya, ikut menyungging senyum. Harusnya aku merutuki diriku, bukan? Bisa-bisanya aku membangunkannya saat ia baru saja akan terlelap.
“Subuhan dulu, Mas,” ujarku. “Nanggung. Sebentar lagi paling adzan.”
“Ayo.”
“Nanti habis shalat baru tidur lagi.”
“Mau lihat cloud inversion sama kamu.”
“Bukan mau main di atas awan?”
“Ngga jadi, takut jeblos.”
Aku tergelak.
Ia mengulurkan tangannya, mengusap sayang di kepalaku.
“Kok semalam Mas ngga minta?” tanyaku kemudian. “Apa ngga kepingin karena capek banget pas paginya dilanjut ke sini?”
“Kepinginlah, Dek.”
“Kata temen Nara yang sudah nikah, pas honeymoon tuh lanjut terus, Mas.”
Lagi-lagi, ia tergelak. Sepertinya suamiku memang senang tertawa. “Takut kamu makin sakit, biar istirahat dulu,” ujarnya. Ia lalu mengangkat tubuhnya, duduk di ranjang sebelum perlahan beringsut ke tepi ranjang. “Aku kepingin setiap kita bercinta, kita sama-sama happy, bukan karena sekadar aku yang memberi nafkah batin atau kamu melakukan kewajiban sebagai istri.” Benar kan? Suamiku cerewet, namun aku menyukai caranya bicara. “Sekarang sakit ngga, Dek? Atau tambah sakit?”
“Semoga ngga, Mas,” jawabku.
Ia menoleh, tersenyum kembali. “Ayo mandi?”
“Mas duluan aja.”
“Kenapa? Ngga mau bareng?”
“Aku kepingin pipis, masa Mas di situ?”
“Ngga apa-apa.”
Aku menggeleng.
“Ya sudah, Mas mandi buru-buru.”
Kami bergiliran membersihkan dan mensucikan diri, lalu menegakkan dua rakaat pembuka hari bersama. Baru saja aku mengusap wajah selepas berdoa, getar ponselku di atas nakas mengalihkan perhatian. Aku menerima kecupan di kening dari Mas Ay lebih dulu, membalas dengan mengecup kedua pipinya, baru pindah ke tepi ranjang seraya mengetuk notifikasi chat dari Esa.
Aku tiga bersaudara. Kak Ajeng si sulung, berselang empat tahun barulah aku terlahir, dan satu setengah tahun kemudian Esa muncul. Adikku pendiam, suaranya jarang terdengar. Ia tahan duduk mematung berjam-jam tanpa bicara. Jadi, saat mendapati ia berdialog dengan Mas Ay sebelum resepsi pernikahanku, jujur saja aku nyaris tak percaya. Maksudku … apa cuma aku yang tidak akrab dengan Mas Ay selama suamiku itu pacaran dengan Kak Ajeng?
Mahesa: Mbak, Kak Ajeng ngangkat telpon Mama. Katanya nanti kalau urusannya sudah beres, dia pulang.
Mahesa: Mama bilang kalau Mbak dan Mas Andra menikah.
Mahesa: Kak Ajeng ngga jawab lagi.
Mahesa: Ayah marah. Nangis, Mbak. Malu.
Mahesa: Ayah ngga mau nyari Kak Ajeng katanya.
Mahesa: Maaf aku jadi ganggu honeymoon-nya Mbak Nara. Aku jahat apa, ya Mbak? Masa aku ngarep Kak Ajeng ngga usah pulang lagi aja.
Aku menghela napas panjang. Mas Ay sudah duduk di sampingku. Aku tak menoleh padanya, namun kuduga ia ikut membaca chat Esa. Tak apa, aku tak keberatan, dan tak ada yang ingin kusembunyikan.
Nara: Aku juga jahat. Aku juga ngga kepingin Kak Ajeng pulang.
Mas Ay tidak berkata apa-apa. Ia hanya duduk di sisiku, bahunya bersandar ringan pada lenganku. Tidak ada tanya, tidak ada komentar. Seolah hadirnya khusus untuk memberiku ketenangan. Sejujurnya, aku bersyukur ia tidak memaksaku bicara. Aku malas membicarakan Kak Ajeng, atau soal pathological sibling jealousy-nya yang kerap membuatku nyaris gila. Aku lelah menjelaskan pada dunia, apalagi soal hal-hal yang bahkan sulit aku pahami.
Sampai akhirnya, semburat jingga mulai mengusik horison, menyapa titik pandang kami melalui celah tirai tipis. Kami pun bangkit, lalu mengenakan sweater hangat dan syal yang sudah kusiapkan tadi malam. Mas Ay menggulung lengan jaketnya, mengisi thermos kecil dengan teh tubruk dan air panas. Aku meraih kamera digitalku, memastikan kartu memori yang terselip masih memiliki ruang untuk menyimpan memori pagi ini.
“Duduk sini, Dek,” ujarnya begitu kami beranjak meninggalkan kamar.
Kami duduk berdampingan di kursi rotan lounger yang menghadap langsung ke hamparan kabut. Dunia di bawah sana tampak seperti negeri lain yang paralel di semesta—lenyap di balik lautan putih yang mengalir pelan dan tenang. Cloud inversion, begitu istilah para fotografer menyebutnya. Tapi bagiku, bagi mata yang pertama kali menyaksikannya tanpa lensa, fenomena ini lebih mirip mukjizat, di mana awan menggumpal di lembah, sementara langit di atasnya justru terang, sejuk, dan luas tanpa batas.
Dedaunan di sekitar kami basah oleh embun, memantulkan cahaya fajar yang baru saja menembus sela punggung Gunung Batur. Cahaya itu tidak menyilaukan, justru indah dan menghangatkan. Kabut bergulung pelan, membelai atap-atap rumah yang masih terlelap.
Dan mungkin … karena keindahan itu, atau karena ketenangan yang ditawarkan pagi ini, segala yang rumit di hati terasa mampu kuredam. Aku akhirnya membuka suara.
“Kak Ajeng itu lahir dengan jantung bocor, Mas,” ujarku tanpa menoleh. “Tapi lubangnya nutup sendiri pas dia umur lima tahun.”
Mas Ay diam saja. Aku menoleh, menatapnya. “Mas tau?” tanyaku kemudian.
Ia menggeleng. “Ngga,” jawabnya singkat.
“Takut Mas mikir dia ngga perfect kali,” sambatku kemudian.
Aku lantas diam kembali, menghela napas panjang sebelum meninggalkan kursiku sejenak. Aku berdiri di tepi jacuzzi dengan tutup tumbler berisi teh panas.
“Aku foto, ya Dek?” ujar Mas Ay.
Setelah beberapa foto terambil, aku kembali duduk di sampingnya. Hasilnya tidak terlalu buruk, meski kalau aku yang mengambil pasti hasilnya jauh lebih bagus.
“Bagus kan? Kamu cantik,” ujarnya.
“Mas les fotografi gih.”
“Buat apa?”
“Biar bisa fotoin aku dengan hasil pro.”
“Itu pro banget," tanggapnya, mendelik ke kamera.
Aku mendecak, ia tergelak renyah.
Kurebahkan kepalaku di bahunya. Tangan kirinya terulur, merangkul bahuku hangat.
“Dari kecil … aku ngga ingat Kak Ajeng pernah benar-benar baik ke aku,” ujarku lagi. “Waktu Nara SD, dia sering banget usil. Tapi isengnya tuh … ngga lucu, Mas. Pernah satu kali, dia masukin remahan biskuit ke tas aku. Ditaruhnya di sela-sela buku. Tas aku jadi dikerubungi semut, dan aku digigit-gigit.” Aku menghela napas pelan. “Tumbler aku pernah dia isi pasir, buku PR aku ditumpahin air, sepatu aku dicemplungin ke got. Kadang kalau Mama atau Ayah marahin dia, malah aku yang dia salahin, katanya aku bikin dia kesal.”
Mas Ay mengeratkan rengkuhannya, namun aku tak berani menoleh, satu sudut hatiku masih khawatir ia justru menganggapku tengah menjelek-jelekkan mantan kekasihnya. Tatapanku tetap lurus ke kabut yang bergulung.
“Aku pernah dengar Ayah ngomong ke Kak Ajeng waktu dia SMA. Aku sengaja nguping diam-diam, Mas. Ayah nanya kenapa dia jahat banget ke aku. Dan Kak Ajeng malah marah ke Ayah, katanya … dia benci aku, karena semenjak aku lahir, Ayah dan Mama jadi lebih sayang ke aku.” Suaraku mulai serak, tercekat. “Padahal aku ngerasa ngga gitu, Mas. Justru Mama sama Ayah selalu lebih khawatir ke Kak Ajeng. Jarang ada kemauan Kak Ajeng yang ditolak. Aku malah sering harus ngalah.”
Aku mengeratkan syalku, menegakkan punggungku, menyesap tehku yang kini hangatnya terasa pas.
“Belakangan, Kak Ajeng lagi suka beli lingerie.” Aku menoleh ke Mas Ay sekilas, memastikan ia masih menyimak. Ya, suamiku masih menatapku lekat. “Dia pamer gitu ke aku waktu, Mas. Katanya lingerie itu buat malam pertamanya. Mahal, limited edition. Barangnya … lingerie yang semalam aku sobek itu.”
Mas Ay tampak mulai paham arah ceritaku.
“Aku ngga tau gimana, mungkin Mbok Ti salah naruh waktu beresin setrikaan. Lingerie itu masuk ke lemari aku. Mana warnanya sama dengan piyamaku, dikira satu stel mungkin. Dan pas si Mbok nge-pack buat aku pindahan ke unit Mas … ya kebawa.”
Aku terdiam sejenak, menarik napas panjang.
“Aku ngga suka lihat itu, Mas.” Entah apakah suamiku paham. Membayangkan lingerie yang diperuntukan Kak Ajeng bercinta dengan Mas Ay membuat darahku mendidih. “Makanya aku sobek. Aku ngga mau ada jejak Kak Ajeng ngikut ke pernikahan aku.”
Mas Ay tak langsung bicara. Ia meraih cangkir di tanganku, meneguk hingga tandas, menyatukan dengan tumbler, baru kemudian mengulurkan tanganya untuk memelukku erat.
Dan saat aku menatapnya, ia … menciumku. Hangat, manis, dan lembut.
“Aku mencintaimu, Nara.”
Aku terdiam sejenak.
“Aku ngga tau harus bilang apa,” ujarnya lagi. “Kalau semua memori buruk kamu bisa disobek, aku mau bantu nyobekin juga, sampai habis, ngga lagi bersisa. Aku bakar kalau belum cukup. Yang penting kamu utuh. Kamu bahagia. Kamu ngga ngerasa dikecilkan. Dan ... kamu aman sekarang, ada aku.”
Mataku berkaca-kaca. Dalam hati aku tau, seandainya ada pelukan yang paling aman di dunia, mungkin pelukan suamiku ini salah satunya.
“Sama aku … kamu ngga usah ngalah. Bilang apa pun harapan kamu. Bilang apa pun yang kamu mau. InshaaAllah, Mas akan usahakan, Dek.”
Langit mulai terang. Kabut mulai menyingkap sedikit demi sedikit pemandangan magis dari alam yang Tuhan cipta tampak begitu indah. Namun, di antara semua itu … yang paling menenangkan tetap tatapan dan senyuman pria di sampingku. Pria yang bahkan tanpa banyak tanya … mau memahami lukaku.
Aku menghabiskan jarak di antara wajah kami … menciumnya.