🎤: Bryan Adams
Aku tak pernah tahu seperti apa rasa tenang yang sempurna, sampai memelukmu di bawah air hangat dan mendengar napasmu yang mulai teratur lagi.
***
“Tetap aja ramai, ya Mas? Padahal bukan peak season,” ujar Nara.
Aku menoleh, tersenyum sejenak. “Kan orang-orang ke Bali ngga hanya untuk liburan, Dek.”
“Iya sih. Nara doang kayaknya yang ke Bali cuma buat liburan. Itupun jarang,” tanggapnya.
“Mau cari properti di sini? Nanti kita cek tabungan dan aset untuk pembeliannya. Siapa tau cukup. Jadi, kapan pun kamu kepingin ke Bali, tinggal flight, ngga harus nunggu liburan. Short escape pas weekend pun bisa.”
Nara justru tergelak. Ia menarik tangannya dari genggamanku, menyisipkan di sikuku. “Mas?”
“Apa, sayang?”
“Mas emang aslinya cerewet ya?”
Kini aku yang tertawa. “Masa sih Mas cerewet?”
“Mmm … berarti sama Nara aja ya? Atau karena booster euforia?” tanyanya lagi.
Aku menggeleng. “Ngga tau juga. Karena baru kamu yang bilang aku cerewet,” tanggapku.
“Mas tersinggung ya?”
“Nggalah. Kenapa juga jadi tersinggung? Agak mikir aja, apa iya aku jadi banyak ngomong kalau sama kamu?”
“Alhamdulillah kalau gitu. Cerewetnya, banyak ngomongnya, senang ceritanya, sama Nara aja, ya Mas?”
“Iya. InshaaAllah.”
Kami mendarat di Bandara I Gusti Ngurah Rai sekitar pukul 19:45 WITA. Langit sudah gelap, namun embusan angin laut khas Bali tetap menyapa lembut saat kami melangkah keluar dari pintu kedatangan domestik. Seorang pria berkemeja hitam kasual tampak menggenggam papan nama bertuliskan Mr. A3 & NYONYA. Ia berdiri beberapa meter di depan sana, menjemput kami, sambil menyunggingkan senyum ramah.
“Mr. A3 apa kabar?” sapanya ramah seraya mengulurkan tangannya padaku.
“Alhamdulillah baik, Bli,” tanggapku. “Ngapain pakai papan nama begitu? Lupa sama saya?”
“Biar seru. Kan baru kali ini datang setelah bernyonya,” tanggapnya.
“Kenalin, Dek,” ujarku pada Nara. “Mas selalu pakai mobilnya Bli Made kalau ke sini.”
Sejenak mereka saling berjabat tangan sembari memperkenalkan diri. Aku mengawasi, siap menepis jikalau salamannya terlalu lama.
“Mobilnya ini, Mas. Sudah siap, full tank, tinggal jalan,” ujar Made kemudian, lanjut memaparkan sedikit instruksi standar.
Setelah menyerahkan kunci, ia pun pamit. Convertible car berwarna merah yang aku sewa kini jadi kendaraan resmi bulan madu kami.
“Waaah! Keren!” ujar Nara seraya mengelus body mobil kami. “Kita naik ini, Mas?”
“Iya. Nanti di hotel bisa sewa motor juga kalau mau lebih praktis.”
“Oke.”
Ia menatapku, terkekeh renyah. Suara yang begitu merdu di telingaku. Ditambah sorot bahagia di matanya. Bahkan memandangnya saja, membuatku otomatis tersenyum.
Aku membukakan pintu, menunggunya duduk dengan nyaman.
“Siap, Dek?” tanyaku dari balik kemudi. Aku mengulurkan tangan, memeriksa seat belt-nya. Jaga-jaga saja.
Nara mengangguk. “GPS-nya mau dipasang, Mas?”
“Oh, iya. Tolong, Dek.”
Aku menginjak pelan pedal gas, membawa mobil kami bergerak menuju pintu keluar bandara, sementara Nara sibuk memasukkan tujuan ke aplikasi maps lalu meletakkan ponselnya di phone holder.
“Hampir tiga jam perjalanan, Mas,” ujarnya.
“Kita makan malam dulu?” tawarku.
“Boleh deh, Mas.”
“Oke.”
Kami melaju meninggalkan bandara. Berhubung sudah malam, aku tak membuka atap mobil meski udara Bali malam ini tak panas, justru cukup menyegarkan.
“Kepingin makan apa, Dek? Selera lokal atau western?”
“Lokal. Mas?”
“Ayo. Nasi campur ayam mau?”
“Mau. Mas ngga lagi kepingin yang western?”
“Apa aja Mas makan. Lapar soalnya.”
Mobil melaju ke Nusa Dua, di mana salah satu warung makan lokal legendaris berada. Salah satu tempat yang selalu menjadi tujuanku di pulau ini jika terlalu malas berwisata kuliner. Kami ditemani suasana malam Bali yang khas—lampu-lampu jalan yang remang, toko oleh-oleh yang mulai sepi, dan suara debur ombak dari kejauhan. Jalanan relatif lengang, membuat laju kendaraan kami terasa mulus. Sesekali, Nara menyoroti jalan dengan kamera digitalnya, merekam kilasan suasana untuk disimpan.
Sekitar setengah jam kemudian, tibalah kami di sebuah warung makan yang tampak biasa dari luar, namun kendaraan yang terparkir di halamannya cukup ramai.
Nara turun lebih dulu, menghirup dalam-dalam aroma bumbu rempah yang menyeruak dari dapur semi terbuka. Ia lalu mundur beberapa langkah, mengangkat kameranya, meng-capture fasad situs kuliner legendaris ini.
“Wangi banget, Mas,” ujarnya seraya melirik ke arah wajan besar yang sedang mengepul.
Kami masuk, memilih tempat duduk di salah satu sudut, dekat dengan kipas angin. Pelayan datang membawa menu, namun aku langsung memesan, sementara Nara mengikuti pilihanku.
“Dua nasi campur ayam betutu, dua es jeruk, dua air mineral pakai es.” Pelayan itu mengulang pesanan kami. Aku dan Nara mengiyakan sebelum pemuda tersebut berjalan menjauh.
Beberapa menit kemudian, makanan tiba. Dua piring nasi dengan suwiran ayam betutu, telur, urap, dan sate lilit tersaji. Sambal merahnya tampak segar dan menantang. Disajikan dengan tampilan yang menggugah selera.
Sejenak merapal doa, kami lanjut melahap, sensasi pedas, segar, dan gurih langsung meledak di mulutku.
“Enak banget!” ujar istriku, lalu kembali menyuap.
“Kepedasan ngga, Dek?” tanyaku.
“Ngga, Mas. Pas pedasnya,” jawabnya. “Mas?”
“Aman,” tanggapku. “Oh iya, kita belum ngobrol banyak, ya Dek?”
“Iya. Mas ada yang mau ditanyain ke Nara?”
“Mmm ….” Aku bergumam, lalu menyuap lagi, tak langsung menjawab pertanyaannya. “Kamu dulu deh. Ada yang mau ditanya ke aku?”
“Banyak!” sahutnya otomatis.
Aku terkekeh, nyaris tersedak. “Silahkan dimulai pertanyaanya.”
“Mas tajir dari lahir?”
Kali ini, aku terbatuk. Kunyahanku salah jalur saat ditelan. Nara mengusap-usap punggungku, sementara aku mengatur napas lalu menyesap minumanku begitu batukku mereda.
“Nara salah nanya, ya Mas?” tanyanya kemudian.
“Ngga,” jawabku, terbatuk sedikit lagi. “Ngga nyangka aja sama pertanyaannya.”
“Soalnya Nara kan taunya Mas Ay tuh Dept Head. Belum lama juga kan diangkatnya?”
“Iya, belum ada setahun.”
“Itu dia. Tapi … Mas ngga punya hutang dengan aset segitu banyaknya.”
“Belum banyak kok, Dek.”
Nara mengernyit. “Itu merendah atau nyindir Nara yang duitnya dikit tapi jajannya banyak, Mas?”
Aku tersenyum menatapnya. “Mas anak petani aren.”
“Papa petani aren, Mas?”
“Iya.”
Nara mengangguk. “Maaf, ya Mas … Nara ngga pernah ngulik-ngulik tentang Mas ke Kak Ajeng. Kalau Nara nanya pun, Kak Ajeng ketus banget. ‘Ngapain sih lo nanya-nanya! Kepo banget!’ gitu katanya. Nara kalau sudah digituin malas untuk nyari tau.”
“Ngga apa-apa, Dek,” tanggapku.
“Terus, Mas?”
“Waktu Mas kecil, kebunnya Papa ngga seberapa luas. Tapi alhamdulillah hasilnya cukup untuk nyekolahin Mas dan Kalista. Pas kelas tiga SMA, Papa nyuruh Mas kuliah di tempat terbaik. Di situ Mas ragu, takut Papa maksain diri membiayai Mas. Cuma Papa bilang gini, ‘Papa mau Mas sekolah yang tinggi. Jadi orang hebat. Justru karena Papa orang biasa, Papa mau anak-anak Papa hidupnya lebih baik dari Papa, lebih mapan. Kalau perlu, kuliah di luar negeri pun akan Papa upayakan biayanya. Untuk Mas dan keluarga Mas sendiri kok nantinya. Kalau Papa dan Mama inshaaAllah hidup seperti sekarang pun sudah cukup.’”
Aku memberi jeda sejenak, menyuap dan mengunyah lagi. Nara pun sama, namun titik pandangnya lekat ke wajahku.
“Akhirnya Mas kuliah. Eh naksir adik tingkat.”
Nara memukul pelan tanganku, lalu terkekeh. “Terus, Mas?”
“Semester enam, pas magang, Mas freelance bikin campaign kecil-kecilan buat usaha UMKM. Di situ awal mulanya Mas belajar sistem pengelolaan brand. Hasil kebun Papa—gula arennya—kan biasa dijual ke pengepul. Nah, Mas kepikiran … kenapa ngga coba Mas bantu kelola langsung?”
“Wah! Nara penasaran banget bagian ini,” timpal istriku.
Aku tersenyum. “Mas belajar bikin kemasan, branding produk, bikin akun sosial medi4. Bikin blog. Bahkan Mas sempat ikutan bazaar-bazaar kewirausahaan di kampus-kampus. Mas kasih nama produk itu Manisnya Kita.”
Mata Nara membelalak, tercengang. “Lho? Itu produk Mas?”
“Iya, Dek.”
“Ya ampun, Nara ke mana aja sih,” ujarnya lagi.
“Yang penting sekarang jadi tau, kan?”
“Iya, Mas,” lirihnya, memberengut. “Produknya gula aren aja, ya Mas?”
“Ada gula aren, sirup aren murni-tapi ini masih khusus untuk supply ke UMKM-UMKM, dan granola lokal-yang produksinya memang belum banyak. Waktu itu, Mas cari koneksi ke toko-toko oleh-oleh, restoran, toko kue. Alhamdulillah, ada yang nerima.”
“Ngga bisa nih kayak begini!” gumam Nara.
“Kenapa?” tanyaku seraya terkekeh.
“Ngga bisa! Nara ngga boleh secepat itu naksir lagi sama Mas Ay! Ngga! Ngga boleh!” selorohnya. “Gimana sih, kenapa juga Mas harus keren banget!”
Aku kian tergelak.
“Terus? Papa Mama makin sibuk dong untuk menuhin pesanan?” tanyanya lagi.
Ku anggukkan kepalaku.
“Beneran ih, keren banget tau, Mas.”
“Semuanya karena kepikiran, ‘apa bisa kebun kecil Papa jadi lebih besar kalau dikelola dengan pendekatan modern’. Akhirnya hasil dari penjualan itu Mas putar lagi buat beli lahan tambahan di kampung. Lama-lama kebun aren Papa bertambah dari cuma setengah hektar, sekarang sudah sepuluh hektar.”
“Dari hasil branding dan jualan sendiri?”
“Iya. Papa Mama awalnya ngga percaya. Mas sempat dimarahin Papa karena takut Mas jadi ngga fokus kuliah. Belum lagi resiko rugi. Tapi, Mas diam aja, tetap jalanin idenya Mas. Alhamdulillah pelan-pelan beliau berdua lihat sendiri hasilnya. Dan waktu Mas lulus, Mas punya dua pilihan—meniti karir dari perusahaan ke perusahaan atau fokus ke usaha sendiri. Mas pilih gabung perusahaan aja, sambil urus kebun di belakang layar. Lima tahun yang lalu, Mas mulai main saham juga. Pas keuntungan usaha tambah besar, Mas beli bitcoin.”
Nara menatapku lekat, lalu bertanya dengan suara pelan, mungkin ia khawatir mengorek terlalu dalam. “Terus, Papa kan sekarang tinggal di Jakarta, Mas … yang ngurus kebun dan produksi siapa?”
Aku menghabiskan nasiku sejenak, lalu meneguk air jeruk di gelasku hingga tandas. Setelahnya, barulah kisah keluargaku kembali berlanjut. “Papa kena HNP, Herniated Nucleus Pulposus. Hernia tulang belakang. Dulu sempat sering ngangkut panenan sendiri dari kebun ke jalan utama. Ngga mau digantikan orang, karena sering berujung dicuri. Mungkin itu yang jadi pencetusnya.”
Istriku mengangguk-angguk pelan. “Papa operasi di mana Mas?” tanyanya. Ada kekhawatiran di sorot matanya.
“RSPI, sama dr. Irgi,” jawabku.
“I see.”
“Operasi saraf tulang belakang. Sempat recovery cukup lama. Sekarang sih sudah bisa aktivitas ringan, tapi ya … Mas minta Papa Mama pensiun total. Mas ada karyawan tiga orang buat urus kebun dan lima orang untuk ngawasin produksi. Jadi, Papa tinggal kontrol dari rumah. Sesekali Kalista sidak untuk mastiin produk kita ngga menurun kualitasnya.”
Nara mengangguk lagi. “Serius lho, Mas … Nara kagum.”
“Mas harap, Nara bisa paham situasi keluarga Mas. Mas ngga cuma kepala keluarga kita. Tapi, Mas juga tulang punggung keluarga. Mas ngga mau lihat Papa Mama kerja berat terus sampai tua, terlebih kondisi kesehatan Papa juga kurang baik. Giliran Mas yang gantian jaga beliau berdua. Dan ngga cuma Papa Mama, tapi Ayah Ibu juga.”
Tangan Nara terulur, menggenggamku erat. Tak banyak kata, namun tatapannya menyampaikan semuanya. Kagum, hangat, dan … mungkin sedikit haru.
Dan di tengah tawa orang-orang, asap dari kompor yang masih mengepul, dan sambal yang menyisakan perih di lidah … kami menghabiskan makan malam kami dengan sedikit membagi kisah yang selama ini kami tak tahu-menahu.
***
Mobil lanjut melaju melewati jalan-jalan berliku khas Bali di malam hari. Lampu-lampu jalan menyala temaram, kios-kios lokal mulai tutup, dan lalu lintas di sekitar perlahan kian sepi. Begitu kami mulai menanjak ke arah utara, suasana pun berubah. Aku mematikan AC, membuka celah di setiap jendela, membiarkan udara sejuk memenuhi kabin.
Perjalanan seolah membawa kami naik ke langit. Di kanan kiri, siluet pohon dan kontur bukit terhampar laksana lukisan bayangan. Sesekali lampu vila atau warung kecil muncul sebagai titik-titik cahaya. Kami melewati daerah Tampaksiring, lalu masuk ke wilayah yang lebih sunyi.
“Hati-hati, Mas. Gelap banget,” ujar istriku.
“Iya, tapi view-nya bakal cakep banget pas bangun besok pagi,” balasku tanpa menoleh.
Begitu mobil memasuki area penginapan, kami disambut suasana hening dan udara yang dingin dan segar. Lampu-lampu di sekitar vila kaca menyala temaram, dan di kejauhan samar terlihat siluet Gunung Batur yang berdiri kokoh.
“MashaaAllah tabarakallah,” gumam Nara saat kami turun dari mobil. “Ngga kebayang indahnya besok.”
Suara serangga malam terdengar merdu. Suhu udara terasa pas—tidak menusuk, namun cukup untuk membuat kami saling merapat saat berjalan ke unit glamping kami. Lantai kayu nan hangat menyambut kami saat aku membuka pintu kamar.
Lalu … kami tertegun.
Sebuah kamar mungil nan cantik dengan jendela kaca besar menghadap ke lembah, tempat kabut akan bergulung esok pagi. Ada bathtub luar ruangan dan jacuzzi mungil menghadap jurang, menyajikan pemandangan surga. Di luar, kerlap-kerlip lampu-lampu dari rumah-rumah desa tampak seperti hamparan berlian.
“Mas?” panggil istriku. “Mas mau ke kamar mandi ngga? Nara mau bersih-bersih dan ganti baju.” Ia terlihat sibuk membuka koper.
“Ngga,” jawabku. Aku mendekatinya, duduk di tepi ranjang, memerhatikannya lekat.
Namun, sesaat kemudian, ia terdiam, menatap sehelai baju tidur berpotongan seksi yang terjatuh di atas kakinya. Baju itu meluncur bebas dari lipatan piyama di genggamannya.
Entah mengapa, hatiku mengatakan ada yang salah di sini. Kami menikah mendadak. namun Nara memiliki lingerie seksi seperti itu. Aku menggauli istriku pagi tadi, dan aku yang mengambil kesuciannya. Kemungkinannya hanya dua, Nara memang biasa memakai baju tidur terbuka, atau … itu bukan miliknya.
Aku menunduk, berusaha meraih baju itu. Namun, Nara merebutnya cepat. Ia mengayun langkah tergesa, menjauh dariku. Pintu kamar kami terbuka, aku bergegas menyusulnya. Di depan tempat sampah, Nara menarik baju itu kuat-kuat hingga helainya terkoyak, lalu membuangnya.
“Dek?” tegurku saat ia melewatiku saat masuk kembali ke kamar.
Tak ada tanggapan, ia kembali ke depan koper, mengambil baju dan pouch berisi produk toiletries. Nara kemudian masuk ke kamar mandi, suara shower pun menyapa telingaku.
Aku terdiam di depan pintu kamar mandi, mengatur napas beberapa kali. Otakku mencoba berpikir, apa yang memicu istriku sedih. Helaian pakaian di tubuh ini aku tanggalkan, lalu mengayun langkah menyusulnya. Ia menoleh, namun tak bicara apa pun. Ku dekati dirinya, di bawah rintik air, ku lingkarkan kedua tangan di tubuhnya, memeluk erat.
“Aku mencintaimu, Nara.” Entah apakah kalimat itu berguna. Aku … hanya ingin ia mengingatnya.