🎤: John Legend
To be loved fully doesn’t mean you start perfect. It means you’re chosen, just as you are, to be grown with—forever.
***
“Aku cium kamu lagi ya?”
Terlintas di pikiranku, apa mereka yang menikah karena dijodohkan atau tanpa pacaran sebelumnya juga seperti kami? Bahkan untuk hal sesederhana ciuman rasanya begitu membuat gugup.
Kedua tanganku bertumpu di bahunya. Aku lalu berjinjit, mengecup bibirnya singkat.
“Bukan begitu, Dek,” tanggapnya lembut. “Mas mau yang kayak gini ....”
Ia merendahkan postur, melingkarkan kedua tangan di bawah pinggulku, mengangkatku ke gendonganya dengan begitu mudah.
“Ini gendong, Mas. Bukan cium.” Aku terkekeh.
“Sabar dong. Ngga sabaran banget kepingin dicium.”
“Mas ih! Cubit nih!”
Ia tergelak. Aku … suka suara tawanya.
Mas Ay membawaku masuk ke kamar kami. Kakinya menendang pintu hingga tertutup rapat. Ia … mendudukkan aku di sebuah meja. Sejenak, ia menatap lekat seraya membelai lembut pipiku. “Let me show you,” lirihnya sebelum melekatkan bibir kami.
Suamiku menggerakkan bibirnya dengan lembut—membuka celah, menyisipkan bibirku, mengatup—berkali-kali, bahkan rasanya gerakan itu berirama. Tangan kiri Mas Ay melingkar di pinggangku, sementara tangan kanannya menahan kepalaku.
Aku memejamkan mataku, kedua tanganku meremas bajunya di bahu, bibirku mengatup, keningku mengerut. Aku … bingung harus bereaksi seperti apa.
Namun kekakuanku tak sedemikian lama. Jemariku mengendur, tanganku kini melingkari lehernya. Mungkin usapan di punggung dan suraiku yang membuatku merasa nyaman. Hingga … saat aku ingin mengikuti caranya menciumku, begitu celah bibirku terbuka, Mas Ay justru memainkan lidahnya.
Sensasi yang sungguh berbeda. Aku membeku lagi, kedua tanganku kembali turun dari lehernya untuk mencengkeram lengan kaosnya. Tapi, itu tak lantas membuat suamiku berhenti. Ia kembali membelai punggung, leher, pipi, juga kepalaku. Begitu aku merasa terbiasa, aku memberanikan diri membalas—menggerakkan bibir, menjulurkan lidah. Aku benar-benar tak tau apakah gerakan yang ku lakukan benar atau salah.
Lambat laun, aku terlarut dalam pengalaman baru ini. Mas Ay kian merapatkan tubuh kami, tangannya menyusup masuk ke balik kaosku, membelai punggungku langsung dengan jemarinya. Aku … melenguh. Dan saat menyadari suara yang memalukan itu, Mas Ay menarik dirinya pelan. Mataku terbuka, menatap wajah suamiku yang merona. Caranya memandangku, sulit untuk ku jelaskan.
“Dek?”
“Hmm?”
“Mas … mau,” ujarnya ragu. “Tapi, kalau kamu belum siap … kamu boleh nolak.”
Walau ia tak menjelaskan detail apa yang ia mau, dan apa yang boleh aku tolak … aku paham apa maksudnya. Aku tidak sebodoh itu sampai tak mengerti.
Aku menggeleng, meski ada ketakutan di hatiku akan masa depan yang masih gamang untuk ku percaya.
“Boleh?” tanyanya lagi.
Sedikit saja ku anggukkan kepala.
Mas Ay mengecup lembut ubun-ubunku lalu ke kening. Tangannya bergerak ke tepi kaos, melepaskan dari tubuhku. Refleks aku menutup dadaku dengan menyilangkan telapak tangan. Ia tersenyum lalu menciumku lagi. Kali ini, ciumannya menjalar—dari bibir, ke pipi, mengikuti garis leher, lalu ke bahu—sembari berusaha melepas kaitan braku. Hanya saja … itu tak kunjung berhasil. Ia mencondongkan tubuh agar bisa menerka cara membuka penyangga payudar4 tersebut. Dan momen tersebut terakhir dengan, “oh!”
Aku otomatis tergelak.
“Mas ngga tau cara bukanya, Dek,” akunya polos.
“Sekarang sudah tau?” balasku masih sambil terkekeh.
“Sudah.”
Dengan lembut, ia membuat tubuh bagian atasku tak berpenutup. Aku menunduk lagi … malu.
Suamiku menjepit daguku, memaksaku memandangnya. Ibu jarinya mengusap bibirku, lalu ia mendekat, mengajakku berciuman lagi. Masih dengan bibir yang beradu, jemari Mas Ay menjelajah tubuhku. Dari punggung, pinggang, perut, hingga ke dad4. Ia mengusap-usap area sensitifku, membuatku menggelinjang pelan, rasanya geli namun candu.
Aku larut dalam kenikmatan sentuhannya, tak ada sedikit pun keinginan untuk lari atau memintanya berhenti. Ciumannya berpindah—wajah, leher, lalu ke dad4. Di sana, ia ‘melahapku’, menghisap dan memainkan lidahnya hingga membuatku mengeluarkan suara-suara liar tak terkontrol. Aku … mulai gila. Tanganku menyusup di helaian surainya, menjambak-jambak pelan. Desahan dan erangan dari bibirku tak lagi ku khawatirkan, terlebih begitu sadar jika Mas Ay pun kian bersemangat setiap kali mendengarnya.
Ia lalu menggendongku, meletakkanku di atas ranjang dengan lembut. Sejenak berciuman, ia lalu menanggalkan kain yang tersisa di tubuhku. Aku … sungguh polos di hadapannya.
Giliran ia yang melepas pakaiannya. Dari kaos, celana training, hingga … pelindung area intimnya. Aku menelan salivaku sendiri. Pikiranku mulai mengkhayalkan bagaimana rasanya.
Mas Ay naik kembali ke ranjang, membuka kedua kakiku, memposisikan dirinya di atasku. Tak langsung menyatukan diri, ia kembali menciumku, namun kali ini sambil memainkan jemarinya di tubuhku—di bawah sana. Rasanya … sungguh luar biasa. Hingga, aku bergetar, melenguh panjang.
“Mas masuk, ya Dek?”
“Sakit, ya Mas?”
“Sebentar aja kok. Nanti pas sakit, Mas bisa berhenti dulu.”
Aku mengangguk.
Mas Ay menyisipkan lengan kirinya di pinggang bawahku, sementara tangan kananya mengarahkan alatnya ke depan ‘pintu masuk’.
Aku menarik napas dalam.
Berselang detik, saat ia mendorong, tanganku mencengkeram lengannya, dan air mataku spontan mengalir. “Mas … sa-kiiit,” rintihku.
“Tahan sebentar, Dek,” pintanya lembut, lalu mendorong sekali lagi.
Tangisku kian deras.
Mas Ay menelungkup di atas tubuhku, menopang diri dengan kedua sikunya. Jemari tangan kanannya mengusap lembut kepalaku. Ia mengecup lembut bibirku, menatapku syahdu. “Maaf, Dek.”
“Muat, Mas?”
Ia terkekeh. “Baru masuk dikit. Belum tau muat atau ngga.”
“Baru dikit tapi sakit banget.”
“Hmm. Kita tunggu sakitnya mereda, baru aku bergerak. Ya?”
Dan ternyata benar, rasa nyeri, perih, dan panas itu tak berlangsung lama.
“Mas sudah bisa gerak pelan-pelan?” tanyanya.
Aku mengangguk.
Kali pertama ini, tubuhku diam saja, aku tak tau harus melakukan apa. Lebih baik ikut bergerakkah? Tapi gerakan yang bagaimana? Daripada mengacau, ku pasrahkan saja semua pada suamiku.
Awalnya, masih ada rasa perih. Dan aku … merasa penuh. Lalu, saat Mas Ay bergerak, rasa nyeri berganti dengan sensasi lain yang membuat telapak kakiku naik ke betisnya, pinggang dan dadaku condong ke tubuhnya, jemariku meremas-remas sprei, dan bibirku melenguh tak terkendali. Di dalam sana ada rasa geli asing yang membuatku tak ingin tertawa.
“Mas … ah!”
Suamiku mempercepat temponya. Di bawah sana, tubuhku seolah menyempit dan siap untuk meledakkan sesuatu.
“Mas!”
“Tunggu, Dek. Se-dikit lagi.”
“Mm-maaas!” Aku bergetar, benar-benar meledak di dalam sana.
Berselang detik, atau nyaris bersamaan karena aku belum selesai dengan pelepasanku, suamiku mengerang keras.
***
Aku bergerak perlahan. Ada nyeri yang kurasa, sisa dari hubungan kami tadi. Namun, saat aku akan bangun, tangan Mas Ay menahanku.
“Kirain Mas tidur?”
“Hmm … ngantuk.”
“Nara mandi duluan aja, Mas. Siap-siap. Nanti kita ditinggal pesawat.”
“Bisa berangkat besok.”
“Sayang dong kamar hotelnya, Mas.”
“Oh iya, biar bisa main di atas awan.”
“Main apa?”
“Main sama kamu, tapi di atas awan.”
“Yang ada jeblos!”
Mas Ay tergelak. “Aku ikut mandi.”
“Ngga mau tidur dulu?”
“Di taksi aja.”
“Oke.”
Kami mandi bergantian, lalu mulai bersiap dengan cekatan. Tas kami tak banyak. Hanya satu koper medium dengan koper kabin di dalamnya yang terisi pakaian serta sepatu suamiku, lalu satu medium case lagi yang berisi barang-barangku. Mas Ay bilang, koper kosong yang tersisa itu untuk jaga-jaga jikalau aku kalap membeli berkotak-kotak pai su5u dan berbungkus-bungkus coklat.
Pukul 14.00 tepat, satu unit taksi berhenti tepat di depan kami. Mas Ay memindahkan koper ke dalam bagasi bersama driver, sementara aku menyusul meninggalkan teras lobi dengan langkah santai.
"Udah semua, Dek?" tanyanya seraya membukakan pintu.
"Udah, Mas," jawabku, lalu naik lebih dulu.
Perjalanan dari apartemen kami di kawasan Dharmawangsa menuju Bandara Halim Perdana Kusuma memakan waktu hampir satu jam. Untungnya lalu lintas cukup bersahabat di siang menjelang sore ini. Mas Ay menyandarkan kepala ke kursi, memejamkan mata.
“Mas mau tidur?” tanyaku pelan.
“Iya,” gumamnya, matanya tetap terpejam. “Boleh?”
Aku tak menjawab dengan lisan. Namun satu tanganku terulur, merebahkan kepalanya di bahuku.
Kami tiba di Bandara Halim sekitar pukul 14.55. Masih ada cukup waktu.
Mas Ay menggandengku masuk ke area keberangkatan. Langkahnya tenang. Check-in berjalan lancar. Aku senang, sementara Mas Ay terus tersenyum melihat ekspresiku yang antusias seperti anak kecil hendak liburan sekolah.
“Harusnya kita dari SoeTa aja ya? Biar dapat yang business class,” ujarnya.
“Tapi jauh banget ke bandara, Mas,” tanggapku. “Ini aja, tiketnya jadi mahal banget kan? Booking-nya aja baru kemarin.”
“Ngga,” timpalnya.
“Beda sih standarnya orang kaya,” selorohku kemudian.
“Kamu istrinya orang kaya.”
Aku tergelak renyah.
Kami duduk sebentar di ruang tunggu, tak banyak bicara. Ia menggenggam tanganku, mengusap-usap lembut dengan ibu jarinya. Mungkin karena AC bandara terlalu dingin atau karena diriku yang mulai gugup—aku sendiri tak yakin penyebab telapak tanganku terasa hangat dalam genggamannya.
Begitu boarding diumumkan, kami bergabung dengan penumpang lain yang mengantre. Tak lama, kami sudah duduk di bangku masing-masing, aku dekat jendela seperti permintaanku, dan Mas Ay di sebelahku—jemari kami masih saling bertaut.
“Nara pernah naik pesawat bareng suami sebelumnya?” tanyanya usil.
Aku menoleh, mengerutkan kening, mendengus keras. Ia tergelak, mungkin karena embusan napasku menyapu wajahnya tiba-tiba.
“Ini pertama kali Nara punya suami, Mas,” ujarku.
“Berarti … aku suami pertama dan satu-satunya.” Itu adalah pernyataan.
“Kalau Mas ngga bikin dosa besar, iya.”
Ia terkekeh. “Deal!”
Pesawat mulai mundur perlahan dari apron. Mas Ay melongok ke arah jendela, lalu menoleh padaku.
“Siap?” tanyanya.
Aku mengangguk.
Ketika roda pesawat mulai bergulir di landasan, aku menghela napas panjang. Lalu ... semakin cepat, semakin bergetar, dan akhirnya—meninggalkan daratan.
Jakarta perlahan mengecil di balik kaca jendela. Dan saat awan mulai menghampar, tanganku masih dalam genggaman tangannya.
“Nara?”
“Hmm?”
“Selamat bulan madu, sayang.”
Aku tersenyum kecil. “Selamat bulan madu juga, Mas.”
Dan dalam hati, aku berharap perjalanan ini—bukan hanya menuju Bali, namun juga menuju hidup baru kami—akan penuh tawa dan cinta yang terus tumbuh, dari ketinggian mana pun kami memulainya.
“Jadi, tiket bulan madu yang sebelumnya sudah disiapin hangus begitu aja, Mas?” tanyaku setelah pesawat stabil di udara.
“Iya,” jawabnya, tersenyum lagi. Aku mencoba mengingat-ingat, apakah Mas Ay memang seroyal ini memberi senyuman? Seingatku tidak.
“Sayang ya aku ngga punya visa Schengen,” ujarku lagi.
“Nanti punya, diurusin kantor.”
“Ya tapi kan jadi ngga ke Milan. Maksud aku, kalau aku ada visa, tiket honeymoon itu ngga akan hangus.”
“Tetap hangus, Dek.”
“Kok?”
“Kita pilih destinasi lain dan atur keberangkatan lagi, sekalipun kamu punya visa Schengen.”
“Oh iya sih, pemilik tiket yang terdaftar kan bukan Nara, ya Mas?”
“Tempat kita bulan madu, pilihan kita. Kamu dan aku,” ujarnya lembut di balik tatapan tegas.
Aku paham apa maksudnya. Milan adalah pilihan Kak Ajeng, bukan pilihanku. Mas Ay pasti tak mau kami berbulan madu dengan membawa jejak kakakku. Karena bisa ditebak, aku justru akan menderita menjalaninya. Begitu bukan?
Aku mengangguk. Tak ada yang perlu diperdebatkan lagi. Kata-kata suamiku sederhana, namun isinya … dalam. Sesuatu yang hanya bisa datang dari seseorang yang menjalani pilihannya dengan sadar—bukan sekadar karena keadaan.
“Yeiiiy! Aku senang! Akhirnya ke Kintamani! Pinggan, wait for us!” seruku pelan, menahan bahagia. Ia tersenyum lagi, mengacak-acak pucuk kepalaku.
Kaca jendela di sampingku menyimpan bias sinar matahari yang menembus awan. Langit tampak bersih, damai, dan tak menyimpan apa pun yang harus dikenang—sama seperti kami, yang meninggalkan cerita lama di daratan, lalu perlahan belajar menulis ulang kisah yang baru.
Yang hanya tentang kami.
Aku dan dia.
Ayden dan Ainara.