🎤: Glenn Fredly
Kalau dulu aku diam karena tau kamu milik orang lain, sekarang aku bicara supaya kamu tau ... kamu memang selalu kucinta.
***
Tiba di pusat jajanan, aku memarkir motorku di halaman muka sebuah coffee shop milik temanku lalu mengajak Nara ke tenda bubur ayam yang tidak pernah aku lewatkan jika menghabiskan pagi di kawasan ini.
“Lho, pengantin baru kok muncul di sini?” tanya Mang Daud, sang penjual.
“Biar istri ngga usah masak, Mang,” jawabku.
“Oh iya,” tanggapnya, lalu mengangguk sopan pada Nara. “Berarti dua ya? Mr. A3 lengkap, Tetehnya?”
“Saya ngga pakai cakwe dan kecap manis, Mang,” jawab Nara.
“Oke!”
Sementara Mang Daud sibuk menyiapkan pesanan, aku menyapukan pandangan, mencari meja kosong—yang ternyata tak ada.
“Penuh, Mas,” ujar Nara.
“Di bawah pohon belakang masih kosong, Teh,” sambar Mang Daud. “Mau di situ?”
“Oke, di situ aja, Mang,” jawabku.
“Gorengan disiram sambal kacang kayak biasa juga ngga?” tanyanya lagi.
“Pasti dong, Mang.” Aku menyahut.
“Tempe mendoan dua, tahu satu, pisang goreng dua?”
“Kamu mau gorengan ngga, Dek?”
“Ada?” balas Nara.
“Ada. Enak gorengannya, kayak bikinan Mama.”
Nara tersenyum. “Mau tempe mendoan dan pisang goreng deh.”
“Dua puluh ribu lima, Teh,” ujar Mang Daud. “Dua aja?”
“Gede-gede, ya Mang?”
“Oh iya, pasti!”
Nara menggeleng panik. Aku menahan kekehanku.
“Ngga usah deh, Mang. Minta aja nanti, takut ngga habis,” ujar istriku.
“Oke sip!” tanggap Mang Daud. “Silahkan duduk heula. Nanti Mamang antar pesanannya.”
Aku meraih tangannya, kugenggam seraya melangkah ke area makan di belakang tenda ini. Ada bangku yang melingkari sebuah pohon besar di sana.
“Kamu belum pernah ke sini, Dek?” tanyaku.
“Pernah, Mas. Tapi ngga pagi begini. Terlalu jauh dari rumah kalau untuk jogging.”
“Malam minggu ramai di sini.”
“Iya, selalu malam minggu ke sininya, Mas.”
Aku mengangguk, bernapas dalam. “Sama Tirta?”
“Mas kenal Tirta?”
“Ngga, sekedar tau namanya aja.” Aku menghela pelan. “Agak kagetnya waktu tau kalau ternyata kalian pacaran justru setelah aku dan Ajeng jadian.”
“Siapa yang bilang, Mas?”
“Esa. Kemarin pas kamu lagi didandanin buat resepsi. Soalnya aku taunya kamu sudah lama banget pacaran sama Tirta.”
“Karena Mas sempat lihat aku gandeng Tirta pas nganter Kak Ajeng pulang?”
“Iya.”
“Aku habis jatuh itu, Mas. Sandalku alasnya licin. Tirta bawa aku ke tukang urut, aku pegangan ke lengannya Tirta karena masih nyeri kalau jalan.”
“Oh?”
Nara terkekeh. “Justru aku yang syok lihat Mas sama Kak Ajeng.”
“Kamu ngenalin aku?”
Ia tak menjawab, namun menatapku lekat.
Tersua hening sejenak, hanya gemeresik dedaunan yang digoda embusan angin menjadi latar suara di antara kami. Hingga Mang Daud yang memecah kebisuan saat membawakan pesanan kami.
Aku mengunyah dalam diam. Pikiranku melayang ke malam itu.
***
Setahun yang lalu.
Ia melewatiku, masuk ke dalam rumah.
“Istirahat ya?” ujar pria yang mengantarnya.
“Makasih banget, Ta,” sahut Nara.
“Sama-sama. Kalau sudah mau ngantor, kabarin aku, biar aku jemput. Oke?”
“Eh ngga usah.”
“Harus! Aku bersikeras pokoknya. Daripada aku nungguin kamu dari subuh di depan rumah.”
Tawa renyah Nara menyapa pendengaranku. “Oke. Nanti aku kabarin.”
Usai saling membalas salam, pria itu pamit pulang. Ia mengangguk singkat ke Ajeng, juga padaku.
“Yang cewek tadi siapanya kamu?” tanyaku. Agak tak sopan memang, mengingat baru kali ini aku mendatangi tempat Ajeng tinggal. Ia dipilih menjadi Brand Ambassador salah satu produk dari perusahaan tempatku bekerja. Berhubung akulah yang menduduki posisi Marketing Communications, tentu saja segala urusan endorsement dan aktivasi kampanye ada di bawah tanggung jawabku, termasuk bersinggungan dengan para perwakilan merek.
Ajeng mendengus pelan. “Adikku.”
“Nara adik kamu?”
Kening Ajeng mengerut, disusul kekehan singkat.
“Oh, aku lihat datanya waktu Nara interview,” jelasku.
“Interview-nya sama kamu?”
“Ngga.” Aku terdiam sejenak. “Tapi aku kagum sama dia.”
“Karena?” balas Ajeng.
Aku tersenyum simpul, lalu menyandarkan punggung ke sandaran kursi. “Salah satu campaign tahun lalu, pasti kamu tau—produk Cleaniq yang kalah banget di pasar, padahal dari semua uji yang dilakukan, ngga ada yang sebagus hand sanitizer punya kita.”
Ajeng mengangguk, menyimak dengan saksama.
“Nah, tim dari kantor Setiabudi yang bantu rebranding narasinya. Salah satu kontennya sampai viral di Instagr4m, bukan karena dance atau endorse artis, tapi karena copywriting-nya.”
“Kalimatnya apa?” tanya Ajeng.
“Karena pulang sehat adalah cara paling sederhana untuk bilang aku sayang kamu.”
Ajeng terdiam sejenak. Ia mengerjap, lalu melipat tangannya di dad4. “Itu ... Nara yang bikin?”
Aku mengangguk. “Tepat banget memang naruh Nara di posisi Content Narrative Strategist. Waktu meeting lintas divisi, salah satu analis sales bilang lonjakan penjualan setelah campaign itu sampai 36% dalam dua bulan. Semuanya gara-gara tone baru yang dia bawa.”
Ajeng memutar matanya. Lalu terkekeh. “Sampai bikin kamu kagum?”
“Iya,” balasku cepat. “Dia cerdas. Nulisnya tenang tapi dalam. Ngga berisik tapi ngena. Jarang ada yang kayak gitu.”
Ajeng memandangku. Tatapannya sama sekalui tak bisa k*****a. Terlalu datar.
“Sampai segitunya kamu merhatiin adikku?” tanyanya.
Aku diam. Rasanya masih terlalu dini jika aku jujur pada Ajeng bahwa Nara menarik bagiku. Bahwa aku memperhatikan gadis mungil itu sejak di bangku kuliah. Meski tak lama, karena saat ia menjadi mahasiswi baru, aku sudah mulai jarang beredar di kampus berhubung sibuk mengerjakan skripsi dan mulai mengembangkan jaringan relasiku. Jadi, mendapati kami bekerja di satu perusahaan, terlebih ternyata Nara adalah adik Ajeng … apakah akhirnya ada kesempatan untukku mendekati Nara?
“Kalau cowok tadi siapa?” tanyaku kemudian.
Ajeng tersenyum kecil, yang rasanya senyuman itu tak sampai ke sorot matanya. “Pacarnya. Udah lama. Serius banget. Katanya udah ngobrolin nikah juga.”
Dadaku menghangat—bukan karena senang. Lebih ke ... kecewa?
“Gitu ya,” jawabku pendek. Hatiku terasa nyeri.
***
“Kak Ajeng bilang, kalian pacaran,” ujar Nara.
Aku menoleh, mendapati mangkuknya yang masih terisi tiga per empat.
“Ngga enak, ya Dek?” tanyaku, khawatir.
“Enak kok, Mas.”
“Kamu sakit?” dugaku lagi seraya meletakkan punggung tangan di keningnya.
“Ngga, Mas,” jawab Nara, tersenyum manis.
Aku menghabiskan isi mangkukku yang memang tinggal dua suap saja, meletakkan wadah kosong itu di samping kiriku. “Mau aku suapin?” tawarku.
Kali ini, Nara tergelak renyah. “Memangnya Mas ngga malu nyuapin Nara di tempat umum begini?”
Ku ambil mangkuk itu dari tangannya, mulai menata isinya di sendok, lalu menyodorkan suapan ke depan mulutnya.
Ia … menerima.
“Kapan Ajeng bilang kami pacaran?” tanyaku kemudian.
“Mas tadi melamun ya?”
“Tadi?”
“Sebelum Nara bilang kalau Mas dan Kak Ajeng pacaran, Nara bilang apa?”
Aku tersenyum lalu menggeleng. “Iya, tadi aku ngelamunin kebodohanku,” jawabku. “Karena malam itu, aku pikir kalian beneran pacaran. Ajeng malah bilang kalian sudah serius banget.”
“Kak Ajeng bilang gitu?”
“Hmm,” gumamku. “Taunya aku dibohongin.”
Nara mendecak.
Aku menyodorkan satu suapan lagi lalu menyuap potongan besar pisang goreng berbalur sambal kacang ke mulutku sendiri.
“Habis Mas pulang, Kak Ajeng ke kamar aku, kegirangan kayak orang habis menang undian. Katanya kalian resmi pacaran,” ujar Nara kemudian setelah menelan kunyahannya.
Mataku sontak membelalak, kunyahanku berhenti.
“A Mas,” pintanya kemudian.
Seperti robot, aku menyodorkan sesendok bubur untuknya. Dan … mengunyah lagi.
“Kami cuma pacaran delapan bulan, Dek,” ungkapku.
“Hah?”
“Kamu ngga ingat waktu aku sering muncul di Setiabudi?” tanyaku lagi.
“Ingat, Mas,” jawab Nara.
“Nah itu aku coba nekat, nyari celah buat dekatin kamu. Ajeng juga orangnya asik, dengan mudahnya kami temenan begitu aja. Atau ... karena aku sebegitu kepinginnya dekatin kamu, jadi ya sama Ajeng—yang notabenenya kakak kamu—refleks aku pun berusaha seasik mungkin. Sampai akhirnya, aku dengar sendiri Tirta bilang kalau dia sayang banget sama kamu.”
“Kapan?”
“Lagi di Langit Senja.” Adalah sebuah kafe yang biasa aku datangi untuk makan siang jika datang ke kantor Setiabudi. “Aku duduk di belakang kursi kalian.”
“Mas nguping?”
“Iya.” Aku mengaku.
“Dan lagi-lagi, setengah-setengah doang.”
“Apanya?”
“Itu, Tirta baru nembak, Mas. Jadian mah belum.”
“Bodo amatlah.”
Nara tergelak renyah. “Terus?”
“Waktu itu, terasa banget kalahnya. Baper banget aku.”
Tawa istriku semakin geli.
“Selang beberapa hari kemudian, Ajeng nanya, kenapa kayak males gitu balas chat dia, dan kalau ditelpon ngga ngangkat.”
“Mas jawab apa?”
“Ngga aku jawab.”
“Terus?”
“Ajeng ke kantor. Dia nungguin aku, mau ngomong katanya.”
“Jangan bilang ....”
“Iya, Ajeng nyatain perasaannya. Ngajak jadian.”
“Mas langsung mau?”
“Persisnya ngga begitu,” jawabku. “Aku jujur ke dia, ada cewek yang aku suka. Dan sudah lama aku punya perasaan itu.”
“Terus?”
“Kamu terus mulu.”
“Lanjut kalau gitu, Mas.”
“Intinya, Ajeng bilang ngga masalah, dia bakalan berusaha bikin aku jatuh cinta ke dia.”
“Dan berhasil?”
“Nara?”
“Apa, Mas?”
“Pernah ngga kamu peduli sama seseorang, tapi kamu ngga pernah mengkhawatirkan dia?”
Istriku menggeleng pelan.
“Itu yang aku rasakan ke Ajeng. Aku menuruti maunya, tapi… cukup sampai di situ. Aku peduli, tapi aku ngga pernah gelisah kalau dia lama ngga kasih kabar. Aku nggak pernah terpikir buat nyamperin dia ke tempat syuting atau pemotretan, kecuali dalam konteks hubungan kerja. Aku ngga pernah ngerasa perlu tau dia lagi di mana, sudah makan atau belum,” jelasku. “Sementara sama kamu … sejak kita kerja di satu perusahaan—meski beda lokasi kantor—aku jadi sering cari alasan ke Setiabudi.”
Nara terdiam, mungkin bingung harus menjawab apa.
Aku menyodorkan suapan lagi, yang masih ia terima.
“Waktu kamu ngelintas di lorong pantry sambil bawa minuman buat tim kamu … aku ngikutin dari jauh. Waktu kamu presentasi pertama kali ke divisi produk, aku diam-diam masuk ke ruang meeting, ikut duduk di belakang—padahal aku ngga wajib hadir di sana.”
“Karena aku?” tanyanya.
Aku tersenyum, mengangguk. “Karena kamu. Mungkin lebih tepatnya … aku penasaran.”
Ia terkekeh, lalu mengambil mangkuk dari tanganku, menyuap sisa buburnya sendiri. “Kenapa Mas ngga bilang apa-apa dari dulu?”
“Kayaknya … aku kebawa arus salah paham. Percaya dengan apa yang Ajeng bilang. Ditambah semesta yang kayaknya kompak banget ikut ngerjain aku. Liat aja gitu sweet moment kamu sama Tirta,” jelasku. “Kamu kelihatan bahagia. Dan aku pikir, siapa aku, coba? Cuma kakak kelas yang bahkan kamu ngga ingat pernah satu kampus.”
Nara menggigit bibir bawahnya, ada seulas senyum di sana.
“Terus, setelah itu gimana?” tanyanya. “Maksudnya, sama Kak Ajeng.”
Aku menghela napas panjang. “Kami pacaran, iya. Tapi … aku ngga pernah punya rencana menikahinya.”
“Maksud, Mas?”
“Tiga bulan yang lalu, Ajeng bilang kamu dan Tirta sudah fixed mau nikah tahun depan. Berhubung aku akan ditugaskan ke Stockholm, Ajeng ngajak nikah sebelum aku pergi.”
“Kak Ajeng yang ngajak nikah?”
“Iya.”
“Serius, Mas?”
“Ngapain aku bohong?”
“Alasannya apa?”
“Biar ngga dilangkahi kamu, dan biar bisa ikut ke Stockholm, jadi ngga ldr-an.”
“Dan Mas mau?”
“Kenapa aku harus ngga mau?”
“Kenapa Mas mau?”
“Aku mau pacaran sama Ajeng tapi ngga mau nikahin dia? Aku baj1ngan dong, Dek?”
“Tapi kan Mas cintanya sama aku?”
“Dan saat itu aku taunya kamu cinta Tirta, mau nikah sama Tirta. Kita ngobrol hadap-hadapan begini aja ngga pernah lho, Dek. Kayaknya kamu selalu menghindari aku. Dan aku pikir itu karena Tirta, kamu menjaga hubunganmu dengan ngga dekat sama cowok mana pun kecuali dia."
Ia mendengus keras. Namun tak memberi bantahan.
“Aku ngga tau cowok lain kayak apa. Tapi, aku ngga pernah punya pikiran untuk mempermainkan perasaan seorang cewek. Cuma mau macarin tapi menghindar saat si cewek menagih komitmen. Aku ngga mau semesta membalas itu ke Kalista, atau ke anak perempanku kelak.”
“Mas mikir sejauh itu?”
“Aku visioner, Dek.”
Nara mendecak.
“Ih, malah ngga percaya!” ujarku lagi.
“Apa lagi selain visioner?” tantangnya, ketus.
“Strategis, tajam, rasional, ambisius. Umur aku 28 tahun, Nara. Tapi jabatanku Head of Marketing Communications. Apa mungkin perusahaan mau ngasih posisi sepenting itu kalau aku ngga beyond kompeten?”
“Sombong!”
Aku tergelak renyah.
Ia terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang.
“Aku boleh nanya balik?” ucapku seraya sedikit mencondongkan tubuh, mencoba mencari iris matanya agar tertuju padaku.
“Apa, Mas?”
“Waktu kamu nerima lamaranku … kamu beneran nerima aku?” suaraku terdengar bergetar, ada emosi yang terselip di sana. “Atau kamu cuma berusaha nyelamatin wajah keluargamu?”
Nara menatapku, lama. Lalu akhirnya, ia tersenyum. “Aku ngga mau Ibu dan Ayah malu, tentu. Tapi, bukan berarti aku nerima Mas tanpa berpikir sama sekali.”
“Memangnya apa yang ada di pikiran kamu?”
“Mas Ay.”
“Aku?”
Ia mengangguk. “Ngenes aja sih. Kasihan.”
Kini aku yang mendengus keras. Tangan kananku memukul-mukul dad4, seolah kata-katanya barusan menghujamku.
Konyol memang, Nara malah kembali tergelak. “Bercanda, Mas,” ujarnya kemudian.
“Hmm,” gumamku.
“Mas beneran cinta sama Nara?”
“Kamu mau aku ngapain biar kamu percaya? Aku cinta kamu, Nara. Sangat.”
“Gitu ....”
“Kenapa kamu ngga bisa percaya?”
“Bukan begitu, Mas.”
“Terus?”
“Mungkin … ada bagian dari diriku yang berharap Mas pernah berusaha dekatin aku.”
“Aku berusaha, dalam kapasitasku, tapi kamu pun ngga pernah ngelihat aku.”
“Itu dia.”
“Apa?”
“Kapasitas Mas. Aku tuh kebayang Mas ngga kekeuh gitu.”
Kini aku yang mendecak. “Kebanyakan nonton drakor atau dracin kamu ya?”
Ia kembali tertawa.
“Ngga semua cowok mau ugal-ugalan mengejar perempuan yang dia cintai, Dek,” lanjutku, menatap wajahnya yang kian bersemu karena suhu udara yang mulai naik. “Apalagi kalau dia pikir perempuan itu udah milik orang lain. Udah bahagia.”
Nara terdiam. Senyum menghilang dari wajahnya.
“Aku tau kamu sama Tirta. Maksudku, dulu. Dan dari luar, kalian terlihat cocok. Serius.” Aku menghela napas pelan, bahkan mengakui itu membuat hatiku berdenyut nyeri. “Dan aku … ngga mau jadi cowok yang maksa masuk ke hidup kamu saat kamu sudah milih seseorang.”
Nara tak menimpali. Namun dari sorot matanya, aku tau ia serius mendengarkan.
“Kalau waktu itu aku maksa dekatin kamu, dan ternyata kamu cuma kasihan atau sekadar bingung, lantas kamu kehilangan Tirta karena aku … nanti kamu akan mikir; ‘kenapa aku bisa sebego itu, sampai kepengaruh cowok yang ngga tau diri.’ Aku ngga mau kamu sampai punya pikiran begitu, Nara.”
“Mas ....”
“Aku ngga mau kamu merasa bikin kesalahan karena milih aku. Aku pengen, kapan pun kamu ingat soal aku—entah itu nanti, sepuluh tahun lagi, atau pas kita udah tua banget—kamu bisa bilang dalam hati; ‘aku memilih dengan sadar, dan aku bahagia.’”
Kening Nara mengerut. Ia mendengus pelan kembali, entah untuk yang keberapa kali.
“Aku khawatir, Dek,” lanjutku pelan. “Aku khawatir kalau aku terlalu nekat waktu itu, kamu justru akan melihat aku sebagai cowok yang egois, yang ngancurin harga diri kamu, bikin image kamu jelek. Yang bikin kamu merasa kamu gampang dikejar, gampang direbut. Dan aku ngga mau Nara jadi perempuan yang ngelihat dirinya sendiri dengan cara seperti gitu.”
Suasana hening sejenak.
Lalu, pelan-pelan, ia meletakkan mangkuknya di antara kami. “Mas … Nara tau kalau Mas kakak tingkat Nara. Dan Nara ngga pernah lupa.”
Lidahku … kelu.
“Mas itu … first crush-nya Nara.”
Kini mataku yang melebar.
“Satu-satunya alasan yang bikin Nara selalu menghindari Mas … itu karena Nara terlalu gugup kalau berhadapan sama Mas Ay.”
“Nara ….”
“Nara cuma mau Mas ngga salah paham lagi. Kita pernah sama-sama saling suka. Dan kita juga pernah menyerah akan perasaan itu—apa pun alasannya.”
“Dan sekarang?” timpalku.
Ia tersenyum.
“Kamu mau belajar mencintaiku?” cecarku kemudian.
Ia terkekeh pelan.
“Kalau bisa disegerakan,” pintaku lagi.
Ia kian tergelak.
“Nara?”
“Iya, Mas. InshaaAllah … Nara akan belajar mencintai Mas.”