🎤: Jason Mraz, Colbie Caillat
Mungkin, bahagia memang sesederhana tertawa bersamanya di dapur yang berantakan.
***
Mas Ay memperhatikan wajah, lalu tangan kiri dan kananku, mencari jejak luka di tengah peperangan yang baru saja kulancarkan.
Aku menunduk malu. Konyol memang! Niatku menaklukkan hatinya dengan sajian hangat di pagi hari, justru berakhir dengan kekacauan.
“Kamu ngga kena muncratan minyak atau nyenggol panci dan pan panas kan?” tanyanya serius.
Tanpa menjawab dengan kata, aku menggeleng, berusaha menahan rasa malu yang membuat wajahku terasa panas.
“Alhamdulillah,” ucapnya lega. Senyuman manis terukir di wajahnya kemudian. “Kalau tadi kamu kenapa-kenapa, aku harus panggil pemadam kebakaran dua kali,” sambungnya seraya mendelik ke panci kecil bergagang karet yang menjadi salah satu korban keteledoranku. Alat itu ku pakai untuk merebus air yang akan ditambahkan ke nasi. Sanking inginnya cepat mendidih, aku memutar kenop ke posisi api terbesar. Dilalah, panas dari ujung-ujung lidah api meraup gagangnya, membuat karetnya berubah dari merah ke hitam gosong.
Aku mendengus, frustasi. Padahal panci itu pasti mahal, bobotnya saja berat dan mantap di genggaman.
“Dek?” panggil Mas Ay.
“Hmm,” gumamku. “Kenapa dua, Mas?”
“Dua?”
“Iya. Kenapa sampai manggil pemadam kebakarannya dua kali? Di sini adanya fire truck yang kecil?”
“Oh.” Suamiku mengatupkan bibir. Namun dadanya bergetar pelan membuatku tau jika ia menahan tawa.
“Satu buat dapur, satu buat hatiku, Dek,” ujarnya kemudian.
Aku diam menatapnya, tak tau harus terkekeh atau mengomel karena kesal mendengar rayuan absurd macam itu.
“Ya sudah, sekarang misi selanjutnya adalah membersihkan ‘TKP’ dulu.” Ia mengedipkan sebelah mata, sementara tatapanku masih terkunci di wajahnya. Sepertinya aku baru sadar jika suamiku memiliki baju yang cukup lebar. Atau potongan piyamanya yang memberi efek demikian? Surainya yang berantakan membuatku gatal ingin menyisipkan jemari ke helaiannya. Ia terlihat jauh lebih santai dari bayanganku tentang 'Mas Ay' selama ini.
Ia menyapukan pandangan. Aku mengikuti. Ya Allah, bahkan dapur di lokasi bencana sepertinya lebih baik dari ini.
“Mas vakum dulu deh lantainya. Banyak tepung tuh,” ujarnya.
Aku mengangguk.
Namun, belum sempat aku beranjak untuk mengambil vacuum cleaner, Mas Ay justru membungkuk, lalu mengangkat tubuhku begitu saja—seolah mengangkat karung beras dua puluh kilogram. “Mas!” Aku spontan meronta.
“Jangan di situ. Tenang. Aku amanin pelaku kekacauan dulu,” ujarnya santai, lalu mendudukkanku di atas permukaan kitchen island.
Aku mendengus, namun diam-diam ... nyaman. Bukankah dia manis sekali?
“Diam, ya? Biar lantainya bersih tanpa korban jiwa tambahan,” ujarnya seraya beringsut. Sudut bibirku berkedut kesulitan menahan senyum.
Tak langsung mengambil vacuum cleaner, ia justru berhenti di depan espresso machine. “Ngopi kan, Dek?”
“Nara aja yang bikin, Mas.”
“Ssht!” Ia meletakkan telunjuk di bibirnya. “Diam di situ,” ujarnya dengan senyuman.
Aku tak berani bersikeras turun, mengingat bisa saja aku menambah kacau situasi yang sudah berantakan ini. Ku putuskan memperhatikannya yang tampak seksi saat menyiapkan dua cangkir latte dan memasukkan dua butter croissant mini ke dalam air fryer untuk dihangatkan.
Beberapa menit berselang, ia mendekatiku lagi, menyodorkan latte dengan croissant yang melintang di bibir mug. Saat ku ambil roti kecil itu, aku sontak tersenyum menatap latte art berbentuk hati. Bentuknya sama saja dengan yang biasa aku dapat di coffee shop-coffee shop, namun barista pembuatnya yang membuat latte-ku pagi ini teramat istimewa.
“Makasih, Mas Ay.”
“Sama-sama, Dek Ai.”
Aku terkekeh. “Mas ih!”
Ia memperhatikanku lekat. Dari mulai aku menyesap minuman hangat di genggaman, lalu mengigit kecil rotiku. Tatapannya membuatku gugup. Bahkan jemari ini sampai gemetar saat memungut serpihan kulit croissant di pangkuanku. Sementara ia, mengunyah dan menyesap santai.
Sebentar saja, sepertinya hanya sekitar lima menit sejak sesapan pertamanya, cangkir kosong yang ia genggam pindah ke samping kananku. Milikku? Tentu saja seperti belum tersentuh. Bagaimana mungkin aku makan dan minup jika ditatap sedemikian rupa?
“Ngga suka latte tanpa pemanis ya?” tanyanya.
“Suka kok, Mas. Lebih suka begini malah. Ngga manis,” jawabku.
“Atau ngga suka karena hangat?”
“Suka, Mas. Nara ngga masalah kok hangat atau dingin.”
“Hmm … croissant-nya ngga enak?”
“Enak, Mas.”
“Tapi kayaknya kamu ngga suka.”
Aku menunduk dalam. “Soalnya … Mas ngeliatin,” cicitku.
Ia tak menanggapi. Aku pun tak berani mengangkat wajahku. Tatapanku tertuju ke permukaan cangkir.
Hingga … telunjuk dan ibu jarinya mengapit daguku, memaksaku melawan tatapannya. Jantungku … berdetak cepat, hingga ngilunya menular ke perut dan punggungku.
“May I kiss you?” lirihnya.
Kini, aku yang kelu.
Apakah pertanyaan tersebut harus ku jawab?
Apakah ia akan menganggapku gampangan jika aku membolehkannya dengan kata?
Apakah ia paham jika aku tak keberatan meski tak lisan mengakui suara hati?
Riuh isi kepala membuatku tak menyadari jika jarak di antara wajah kami kian terkikis. Embusan hangat napas Mas Ay menggelitik wajahku. Puncak hidungku menyentuh wajahnya, saat di mana aku spontan terpejam. Kala bibir kami bertemu, arus listrik ringan menjalar di seluruh tubuhku—membuat bulu kudukku meremang. Mulutnya sedikit terbuka, menjepit bibirku, lalu mencium dan mengecup dengan lembut.
Aku … suka rasanya.
Mas Ay menarik diri sejenak, menatapku, seolah memastikan jika aku tak keberatan dengan perlakuannya barusan. Ia lalu meletakkan tangan kanannya di leherku, dan mendekat kembali. Kali ini, ciumannya lebih intens. Ada sensasi creamy-nya latte, pahitnya espresso, dan manisnya butter croissant di sana. Yang pasti, aku semakin menyukainya. Senyumku otomatis berkembang di tengah ciuman kami, membuatnya ikut tersenyum sebelum mengakhiri sesi romantis kami dengan kecupan singkat.
“Nara mau bantuin, Mas.”
“Ngga usah dulu. Kamu penuh tepung. Yang ada kalau kamu bergerak, tepung di apron dan baju kamu makin bertebaran.”
“Oh.”
Ia meninggalkanku sejenak, mengambil peralatan, menyalakannya lalu mulai membersihkan lantai.
Aku mengamatinya dari atas meja. Wajahnya tampak serius sampai-sampai tak memedulikan surainya yang jatuh ke dahi. Gerakannya cekatan, sama sekali tak gugup, canggung, atau jaim. Aku bahkan tak tau jika Mas Ay bisa membersihkan dapur like a pro!
“Done!” ujarnya setelah menit demi menit berlalu.
Aku menatap jam di dinding, bertepuk tangan. Tak sampai 15 menit dan dapur sudah seperti sedia kala. “Mas keren!” pujiku, tulus dan sumringah.
Ia tergelak renyah seraya mendekatiku. “We need to talk, don’t we?”
“Hmm,” gumamku seraya mengangguk.
“Aku perlu tau apa aja yang kamu belum bisa atau kurang mahir, supaya kejadian kayak begini ngga terulang lagi. Aku ngga bercita-cita istriku terluka di rumah kita sendiri,” tuturnya lembut.
“Iya, Mas.”
“Oke! Kita siap-siap kalau begitu. Cari jajanan!”
Aku mengangguk antusias.
Mas Ay terkekeh lagi. Namun, di ujung tawanya, tanpa aba-aba seperti sebelumnya, ia kembali membawaku ke gendongannya. Aku terkesiap, sontak menutup mulutku yang menganga sebelum memekikkan namanya. Jika tadi ia membopongku seolah memanggul sekarung beras, kali ini ia menggendongku ala bridal style.
“Biar lantainya ngga kotor lagi,” ujarnya.
Ia menurunkanku di depan kamar mandi, memintaku membersihkan diri dengan nyaman, sementara ia akan mandi di bathroom lain.
Begitu kembali ke kamar kami, ia sudah … berpakaian lengkap. Kaos santai, celana training berwarna senada, dan tas pinggang yang ia sampirkan di bahu. Nyaris mirip dengan gayaku. Surainya tampak natural, tanpa tambahan pomade seperti yang biasa ku lihat.
“Ready, Dek?” tanyanya.
“Iya, Mas.”
“Yuk?”
Aku mengangguk.
‘Kenapa waktu sama Kak Ajeng, Mas Ay kayak model katalog fashion ... sekarang kok santai banget?’ pikirku. Meski ... entah kenapa, ia yang seperti ini membuatku merasa nyaman.
"Ada yang salah, Dek?" tegurnya, membuatku sontak menggeleng. “Aku aneh?” tanyanya seraya menatap pantulan dirinya di cermin.
"Ngga," jawabku cepat. "Tadi ... wondering aja. Seingat Nara, ngga pernah lihat penampilan Mas sesantai ini. Beda."
"Beda apanya?"
Aku mengedikkan bahu dengan santai. “Lebih ... manusia.”
Ia tergelak singkat. "Berarti dulu aku alien?"
Aku tersenyum. “Maybe,” tanggapku. “Tapi, pakai baju begitu naik moge ngga apa-apa, Mas?”
“Yang ngga boleh naik moge ngga pakai baju!”
“Mas ih!”
***
Kami meninggalkan unit, menumpang sebuah lift yang membawa kami ke lantai dasar. Menjejakkan kaki di garasi … aku tertegun. Ia menyalakan moge hitamnya, mengeluarkan suara gemuruh berat yang khas. Motor itu tampak gagah dan kinclong, kontras sekali dengan pemiliknya yang ... teramat santai.
"Naik motor kayak gini ke pusat jajanan?" tanyaku ragu.
"Kenapa? Mau bawa mobil? Parkirnya ribet, Dek," jawabnya seraya menarikku mendekat lalu memasangkan helm.
Aku merengut. “Nanti orang-orang pada ngeliatin, Mas. Naik yang itu aja gimana?” tawarku kemudian seraya mendelik ke skuter matic sejuta umat.
Mas Ay menghela napas panjang. “Motor begitu inceran maling.”
“Kok Mas tau?”
“Skuterku sudah dua yang hilang.”
“Lagi Mas jajan?”
Tak ku sangka, ia mengangguk.
“Naas banget,” lirihku yang disusul kekehannya. “Serius ngga sih, Mas?”
“Serius, Dek.”
“Habisnya Mas ketawa mulu sih!”
“Kamu lucu banget soalnya.”
“Baru Mas yang bilang Nara lucu tau ngga.”
“Alhamdulillah.”
Aku mendengus keras.
“Ayo naik,” ujarnya kemudian.
“Memangnya Mas ngga risih dilihatin orang nanti?”
"Ngga. Malah bagus dong. Biar mereka tau, akhirnya A3 bonceng cewek yang bukan Kalista.” Ia menyeringai.
Aku terkekeh pelan sembari naik ke jok belakang, sedikit canggung. Tak aneh mendengar suamiku berkata demikian, berhubung Kak Ajeng paling anti naik motor. Kakakku itu sangat benci jika tatanan surainya kacau.
Mas Ay mengulurkan tangannya ke belakang dengan telapak menengadah, meminta jemariku. Saat aku memberikannya, ia melingkarkan kedua tanganku di pinggangnya. Sejenak, ia menyandarkan punggung di dadaku. Tak bicara apa pun, hanya sekedar menikmati dekapan.
Begitu moge melaju keluar dari area parkir, udara pagi menyambut kami. Meski sudah mendekati pukul delapan, matahari masih belum terasa terik, sepertinya karena gerombolan awan menghalangi sinarnya.
Dan di tengah gemuruh suara mesin motor dan hiruk-pikuk Jakarta yang mulai terbangun, aku mencoba untuk percaya—bahwa mungkin, mungkin saja, kebahagiaan memang bisa lahir dari sisa-sisa kekacauan.
“Mau makan apa, Dek?” tanya Mas Ay saat kami berhenti di sebuah lampu merah.
“Apa aja, Mas,” jawabku.
“Kok apa aja? Kamu pemakan segala?”
“Iya,” kekehku. “Apa aja. Yang penting makannya sama Mas Ay.”
Ia menoleh, tersenyum manis. Tangan kanannya lalu terangkat, ia menyilangkan ibu jari dan telunjuk membuat simbol hati, membuatku tak bisa menahan tawa.
Semoga … kami selalu seperti ini.