🎤: Taylor Swift
Kamu adalah satu-satunya alasan kenapa aku memilih berhenti mencari.
***
-POV Nara-
“Beda sehari doang, ngga apa-apa kan, Dek?”
“Iya, Mas Ay-nya Nara yang paling kiyut.”
“Cute!”
“Kiyut!”
Suamiku mendecak, aku terkekeh.
Dua puluh sembilan hari sejak hari itu, sejak aku mengikat janji yang tak lagi sekadar tentang ‘cinta’, namun juga keberanian untuk memilih, dan menerima.
Hari ini, tanpa banyak petunjuk, Mas Ay mengajakku ke sebuah butik mungil di bilangan Panglima Polim. Dari luar bangunannya terlihat biasa saja, bahkan terkesan sederhana. Namun, interiornya—dengan kayu pucat, kaca besar, dan pencahayaan hangat—membuatku merasa seperti masuk ke galeri seni.
“Baju-bajunya ngga kalah sama butik mahal,” ujarnya sambil tersenyum. “Jahitannya malah lebih rapi dari brand internasional.”
“Curiga Mas lagi endorse.”
Mas Ay tergelak. “Ngga kok.” Ia mengelak. “Nanti kamu perhatiin sendiri deh.”
“Haiii!” Seorang perempuan cantik menyapa kami. Aku menoleh ke asal suara, sontak tersenyum. Ternyata, aku mengenalnya.
“Kak Naia?” Aku nyaris tak percaya.
Ia tersenyum ramah, mengulurkan tangannya. Saat kami bergenggaman, ia mendekatkan diri, melekatkan pipi kami dan memeluk sejenak.
“Ya ampun, ini butiknya Kak Naia?” tanyaku kemudian.
“Usaha kecil-kecilan, Ra,” jawabnya merendah.
“Masa sih segini masuk skala kecil?”
“Iyalah kecil. Produk aku juga belum banyak kok. Hobi aja bebikinan dress, tapi kan seringnya dress cuma dipakai sekali. So, banyaklah koleksiku. Awalnya, aku sewain, tapi perawatan dress-nya bener-bener profesional. Dari situ, kok jadi kepingin punya butik. Dimodalin deh sama Kylo.”
“Berarti sudah ngga nyewa-nyewain dress lagi, Kak?”
“Masih juga. Tapi ngga kita pajang di butik yang untuk disewa. Barangnya ada di belakang kalau mau lihat,” jelas Kak Naia. “Emangnya mau nyewa aja?”
“Beli ajalah,” potong Mas Ay.
“Iyalah, biar gue ngerasain duit lo, kan Ndra?”
“Nggih, Mbak.”
Seorang staf butik mendekat, mencatat ukuran dan tipe tubuhku, lalu ia dan Kak Naia mulai memilihkan dress satu per satu. Mas Ay duduk di sofa panjang dekat cermin besar, wajahnya serius setiap kali aku keluar dari ruang ganti. Ia memberi penilaian jujur, lengkap dengan ekspresi geli jika aku terlihat terlalu heboh, atau tatapan terpana saat dress yang kupakai cukup mencuri napasnya.
Beberapa kali aku balik ke dalam, mencoba lagi. Akhirnya, dress itu kutemukan—sebuah gaun hitam elegan, dengan garis leher yang halus, material brukat yang flowy, dan potongan yang sesuai tipe tubuhku. Detail lace di bahu dan keliman tepi bawahnya membuatku merasa ... cantik tanpa harus berlebihan dan banyak effort. Yang pasti, Mas Ay sampai lupa menutup mulutnya yang menganga saat aku memperlihatkan penampilanku dengan gaun ini.
“Langsung dandan, yuk Ra?” ajak Kak Naia.
Aku mengangguk.
“Aku ke gentlemen area kalau gitu, nyari setelan yang bisa ngimbangin penampilan kamu,” ujar suamiku.
“Berat, Ndra.” Kak Naia yang menanggapi.
“Banget, Nai!”
Begitu suamiku menjauhkan langkah, kami pun beringsut ke ruang rias. Namun, baru juga aku duduk, saat akan dipakaikan cape, aku justru ingin ke toilet.
“Gih sana, Ra. Daripada alis baru bikin satu sudah kebelet,” canda Kak Naia.
Aku mengangguk, melajukan langkah dengan anggun. Rasanya tak pantas seradak-seruduk dengan gaun secantik ini.
Keluar dari toilet, aku melihat sosok yang familiar. Demikian adanya karena perempuan itu cukup sering berkunjung atau sekedar mampir ke rumahku—maksudku, rumah Ayah Ibu. Ia adalah Priska, sahabat Kak Ajeng yang sifatnya tak jauh beda dengan kakakku itu.
Ia terkekeh, lanjut melangkah. Namun, bukannya langsung ke toilet seperti tujuan awalnya, ia justru menghampiriku.
“Kirain gue salah lihat,” ujarnya. Ia memindaiku dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan tatapan … meremehkan. “Eh ternyata beneran lo, Ra.”
Aku tersenyum kecil, mengangguk sopan, berusaha ramah.
“Enak ya punya laki tajir?” sinisnya kemudian.
Keningku sontak mengerut, tatapanku menajam padanya. “Maksud Kak Priska?”
“Jujur sih, lo adalah salah satu orang peka parah, Ra! Gercepnya lo tuh kayak refleks. Ngga pakai mikir dulu.”
“Hah?”
“Iya kan? Ajeng ngga muncul, daripada cowok sekelas Andra mubazir … ya langsung ambil dong!”
“Jaga ya omongan Kakak!”
Ia mendecih. “Dengar, ya Ra … ngga seharusnya lo mau nikah sama Andra cuma karena Ajeng pergi. Harusnya lo nolak semisal lo diminta menggantikan! Bukan malah kegatelan!”
Aku membelalak.
Beku.
Kelu.
“Emang lo yakin pernikahan lo bakal baik-baik aja kalau dimulai dengan ‘nyuri’ begitu? Bisa pastiin Andra bakalan cinta sama lo? Cowok tuh ya, Ra ... demi bisa tidur sama cewek, obral cinta mah gampang. Tapi nanti, kalau Ajeng pulang—baru deh lo sadar, ternyata cuma jadi pelarian. Ngga lebih!”
Aku benci diriku sendiri!
Aku benar-benar tak paham mengapa di saat seperti ini aku justru tak mampu menjawab, seolah lidahku terkunci.
Tanganku mengepal di kedua sisi tubuh, lalu kupaksakan diri melangkah, meninggalkan sahabat kakakku itu. Pikiranku kacau, perasaanku apalagi! Pandanganku kosong saat aku kembali ke ruang rias. Kak Naia menyapa, staf lain bertanya … aku mendengar, namun seolah tak terproses di otakku, membuatku menyahut asal, atau diam seribu bahasa.
***
-POV Ayden-
“Ndra!” Naia datang menghampiriku di area pria, tangannya menggenggam clipboard dan ekspresi wajahnya terlihat ragu.
“Kenapa?” tanyaku. Ada perasaan tak nyaman yang langsung menyapa.
“Tadi Nara masih oke banget. Tapi pas balik dari toilet ... kok jadi aneh ya?”
“Aneh?”
“Bengong gitu. Ditanya juga ngga nyambung, kayak pikirannya ke mana-mana. Atau ngga ya diam aja.”
Aku terdiam sejenak, menerka-nerka apa yang mungkin terjadi. “Nara masih lama, Nai?”
“Ngga kok. Paling sepuluh menit lagi selesai.”
Aku mengangguk. Sekali lagi kutatap pantulan bayanganku di cermin. Sepertinya jas yang tengah kukenakan ini cukup menyeimbangkan gaun indah Nara. “Nanti gue tanya deh. Thanks, Nai.”
“Oke.”
“Gue tunggu Nara di depan ya?”
“Sip!”
Aku mengayun langkah, membayar semua tagihan lebih dulu, lalu duduk di ruang tamu butik dengan interior yang menenangkan tersebut. Suasana cukup lengang saat itu. Aku tengah membuka ponsel, sebelum terdengar suara benturan heels dengan lantai yang kian mendekat.
Ku angkat pandanganku.
Priska.
Dengan gaya khasnya—tas kecil di siku, senyum menyebalkan di bibir. Staf butik menyusul dari belakang, menenteng sebuah dress berwarna biru.
“Eh ada Andra di sini!” sapa Priska. “Jodoh banget ya kita ketemu di sini.”
Ia mengulurkan tangan, hendak menyentuh lenganku. Aku memiringkan tubuh, menghindar.
“Norak lo!” ujarnya lagi.
‘Bagus ngga gue ludahin lo!’ batinku.
Aku diam saja, enggan merespon atau mengajaknya bicara.
Ia duduk di sampingku, terjeda satu dudukan sofa.
“Ajeng bener-bener ngga ngabarin lo, Ndra?”
Malas! Aku diam saja.
“Tega ya lo, Ndra! Harusnya lo tuh mikir keras dia ke mana. Do something! Pasti dong ada yang ngga beres. Bukannya malah nikahin Nara. Gampang banget lo ngebalik hati! Lupa lo gimana sayangnya Ajeng ke lo? How come, Andra? Atau jangan-jangan cuma biar Ajeng cepat balik ya? Begitu Ajeng muncul lagi, Nara lo tinggal? Gila!”
Aku tetap diam.
“Terus Nara pula! Please ... come on. Nara dan Ajeng tuh bedanya jauh banget, Ndra! Kayak ngga ada yang lebih bagus aja!”
Ia mendengus sinis, memasukkan PIN ke mesin EDC yang baru saja dibawakan staf.
“Iya sih,” gumamku. “Kayak langit sama comberan ya?”
“Nah itu lo tau, Ndra!”
“Nara langitnya, Ajeng comberannya! Dan lo yang kuning-kuning suka ngambang lewat comberan!”
Ia melongo. Kedua matanya melotot. Raut wajahnya kaku. Ia menatapku seolah ingin menghajarku saat ini juga.
“Cuma karena lo merasa tau satu dua hal soal hidup orang, bukan berarti lo berhak menyimpulkan. Atau bahkan menilai apa yang pantas dan tidak untuk gue atau Nara. Lo pikir lo siapa?”
Ia memicingkan mata. “Wah! Beneran gila lo, Ndra! Baru sebentar nikah sama Nara, bisa ya langsung berubah?”
“Ya gue berubah, akhirnya tau mana yang beneran tulus, dan mana yang licik, manipulatif, munafik! Orang yang suka nyampurin dan ngomentarin hidup orang di mana dia ngga ada peran sama sekali adalah contohnya. Mau gue bawain cermin biar lo bisa kenalan sama orang macam begitu?”
“Bacot lo!” Ia kesal, wajahnya memerah. “Gila!” gumamnya, sebelum berjalan cepat keluar dari butik.
Nara muncul, dari balik sekat tirai. Raut wajahnya membuatku yakin jika ia mendengar semuanya. Ia terdiam sejenak beberapa langkah dariku, menggigit bibirnya dengan mata berkaca-kaca.
Istriku … tampak begitu cantik.
Lalu … saat air matanya menitik, ia tersenyum.
Malam itu, kami melaju ke sebuah tempat, untuk menikmati makan malam spesial di House of Nad’s. Para jajaran eksekutif bilang, ini adalah tempat terbaik untuk menikmati keindahan pemandangan Jakarta di malam hari. Terletak di puncak salah satu pencakar langit. Lampu-lampu kota berkelap-kelip bagaikan lautan bintang dari balik dinding kaca restoran.
Gaun hitam itu melekat anggun di tubuhnya. Rambut disisir rapi ke belakang, anting kecil di telinga kiri berkilau setiap kali ia bergerak dan tertawa. Ia duduk di seberangku, namun rasanya seperti duduk di tengah hatiku.
Aku menggenggam tangannya di atas meja. Titik pandangku enggan bergeser dari parasnya, memuja tanpa kata karena memang tak ada kata yang setara dengan keindahannya.
“Maaf ya, Mas,” bisiknya.
“Untuk apa, sayang?” tanyaku.
“Sudah sempat kepengaruh omongan orang lain. Padahal, Mas … satu-satunya yang ngga pernah bikin aku merasa harus bersaing untuk dicintai.”
Aku menatapnya lekat. “Aku ngga pernah menjadikan Ajeng A, dan kamu B. Sehingga kamu harus bersaing untuk mendapatkan aku. Sama sekali ngga. Saat aku mengajakmu menikah, di tengah kekacauan, aku tau satu hal … kamulah jawaban dari doaku.”
Kami tersenyum. Ia menarik tanganku, mencium cincin kawin kami yang melingkar di sana.
Kugeser tanganku, mengelus lembut dan menangkup pipinya.
“Mas cinta Nara,” lirihku.
“Nara juga.” Ia berbisik lembut. “Nara juga cinta sama Mas Ay.”