🎤: Benson Boone
Ia hanya ingin aku jadi diriku.
***
“Pelan-pelan minumnya, Dek,” ujar Mas Ay yang mendapatiku meneguk air dingin hingga botol bervolume setengah liter itu kosong.
“Panas banget di luar, Mas. Padahal ….” Aku menoleh ke jam dinding yang tergantung di sisi kiriku. “Baru jam sepuluhan.”
Setidaknya, kami tiba di unit dengan keadaan perut kenyang. Tapi, kaki yang pegal selepas jogging dari warung sarapan hingga teras gedung apartemen membuat kasur jadi godaan paling sulit ditolak. Aku dan Mas Ay hanya mencuci kaki, mengeringkan peluh, mengganti baju, lalu naik ke ranjang, merebahkan diri.
Tak butuh waktu lama untuk kami tertidur.
Saat aku membuka mata kembali, cahaya yang menerobos tirai jendela tak lagi menghadirkan bayangan panjang. Aku turun dari ranjang, mendekati floor to ceiling window kamar kami, memperhatikan lalu lintas di bawah sana. Cukup lancar, meski terlihat padat. Waktu menunjukkan pukul satu lewat lima belas dan Mas Ay masih terlelap.
“Mas, bangun …” bisikku seraya menyentuh pelan bahunya, dan menciumi tulang pipinya. “Nara lapar.”
Ia mengerjap. Dengan mata setengah terbuka, ia menggeliat, lalu menarikku hingga terbaring, mencium kening dan ubun-ubunku.
“Mas kepingin makan apa? Nara mau pesan nih.”
“Kita masih punya sedikit bahan makanan. Yakin chef ganteng ini mau disuruh libur?”
Aku tergelak. “Menunya apa, Chef A3?”
Suamiku tersenyum. “Mmm … yang pasti masih ada paha ayam yang sudah dimarinasi. So, it should be … chicken steak.”
“Oke!”
“Tapi Mas mandi dulu ya? Mas masih junub lho.”
“Nara juga mau mandi dulu,” tanggapku di antara gelak.
“Bukannya tadi pagi sudah mandi?”
“Ngga enak kalau bangun tidur ngga mandi, Mas.”
“Oh. Mas malah kalau ngga kepaksa ngga mandi.”
“Mas jorok!” tanggapku yang ia timpali dengan tawa renyahnya.
Mas Ay mandi di kamar sebelah berhubung aku tak akan bisa mandi dengan tenang jika bersamanya. Setelahnya, kami shalat sejenak sebelum beranjak ke dapur.
Stok bahan makanan memang sudah menipis, namun masih cukup untuk mengisi perut satu kali makan untuk dua porsi. Ada sisa tahu, telur, bayam, dan paha ayam yang sudah dibumbui sebelumnya. Aku membantu suamiku mencincang bumbu-menggunakan mini chopper-sembari memperhatikannya menyiapkan bintang menunya. Dan sungguh, aku yakin tak berkedip lama, entah bagaimana ayam itu mulai naik ke atas panggangan.
“Bumbunya sudah, Dek?” tanyanya.
“Sudah, Mas. Ini buat apa?”
“Sebagian ditambahin ke bumbu oles untuk nge-grill, sisanya untuk bikin tumis bayam.”
“Nara masak yang mana?”
Mas Ay tergelak, aku mencubit gemas pinggangnya.
“Ngga usah sok bisa gitu,” selorohnya. Aku pun tak bisa menahan tawaku. “Siapin piring aja, Dek. Sama masih ada yogurt dikit lagi di kulkas. Campurin selai sedikit aja, buat cocolan sisa buah potong.”
“Oke!” sahutku semangat.
Setengah jam berselang, tumis bayam, telur dadar gulung, dan chicken steak simple sudah tersaji di atas meja. Mas Ay mengangguk puas, melepas apronnya, lalu duduk di sampingku.
“Coba, Dek. Bumbunya pas ngga?”
Aku memotong sedikit steak, meniup pelan, lalu mencicip. Bahuku jatuh terkulai saat rasa hidangan meledak di mulutku.
“Enak?” tanya suamiku lagi.
Kepalaku mengangguk-angguk, lalu kunaikkan dua ibu jariku ke depan wajahnya. “Banget, Mas. MashaaAllah tabarakallah.”
“Alhamdulillah. Mari makan.”
Makanan seperti ini tak asing bagiku. Ibu juga kerap membuatkan. Namun, buatan suamiku entah kenapa terasa lebih istimewa. Apakah karena aku ikut mencincang bumbunya dan menyiapkan piring? Atau karena aku bisa makan dengan tenang tanpa khawatir Kak Ajeng menyeletuki aku di Tengah kunyahan? Ataukah karena sambil makan, kami juga menunjukkan rasa sayang kami ke satu sama lain?
Selesai makan, kami mencuci piring bersama, merapikan dapur, lalu pindah ke ruang tengah. Mas Ay menyalakan Y0uTube di layar TV, membuka beberapa kanal yang menayangkan highlight pertandingan sepak bola dan ulasan saham serta kripto mingguan. Aku membuka ponselku, mencari inspirasi meal plan satu minggu ke depan. Ada beberapa resep simpel yang kutunjukkan padanya. Kami berdiskusi menu apa saja yang bisa dimasak, sebelum menyusun daftar belanja.
“Mas bisa masak ini ngga?” tanyaku, menunjukkan resep chicken wraps.
“Ada cara bikinnya kan?” balasnya.
“Ada. Coba Mas lihat bumbunya dulu, ada yang susah dicari ngga?”
Suamiku menoleh, menatap layar ponselku, lalu menggeleng. “Gampang kok bahan-bahannya. Satu bahan sama bikin salad. Masukin aja ke daftar menu.”
“Oke!” sahutku. “Paling kita belanjanya besok, ya Mas?”
“Boleh.”
Sore pun menjelang. Kami bersiap untuk agenda berikutnya; berkunjung ke rumah orangtuaku.
Kami naik moge, berangkat menjelang pukul lima sore. Tak lupa kami mampir terlebih dahulu ke toko kue untuk membeli chiffon keju dan pandan—favorit Ayah dan Ibu. Kami tiba menjelang magrib, dan aku langsung berlari masuk.
“Ibu? Ayah? Assalammu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam,” sahut Ibu dan Ayah dari lantai atas. Pasti mereka tengah bersiap untuk shalat magrib.
“Wa’alaikumsalam.” Suara lain menyusul. Esa muncul dari dapur seraya menggenggam segelas es kopi su5u. Ia mendekati kami, menyalamku lebih dulu, lalu suamiku. “Apaan tuh, Mbak?” tanyanya, mendelik ke bawaanku.
“Kue.”
“Mau dong. Esa belum makan siang nih.”
“Kenapa? Ibu ngga masak?” Aku balas bertanya seraya menyodorkan tas belanja padanya.
“Masak. Esa main game tadi,” tanggapnya. Ia melangkah lebih dulu ke dapur, aku dan Mas Ay mengikuti. Kami duduk di kursi makan, bersisian, sedangkan Esa di depan kami. “Oh, udah dipotong-potong.”
“Daripada lo potek-potek,” tanggapku.
Ia terkekeh. “Makan, Mas, Mbak.”
Suamiku hanya bergumam, sementara aku menuang air dari teko kendi di atas meja untuknya.
“Mas mau ngeteh?”
“Ngga usah, Dek. Sudah mau magrib. Nanti aja.”
Aku mengangguk, lalu menyapukan pandangan. Rumahku tak berubah, dengan atau tanpa kehadiranku dan Kak Ajeng. Tetap tertata, bersih, dengan suasana serius yang kontras jika dibandingkan kehangatan rumah orangtua Mas Ay.
“Si Mbok mana, Sa?” tanyaku.
“Lagi ke tempat anaknya, Mbak. Minta libur weekend ini. Sepi katanya ngga ada Mbak Nara. Padahal ada Esa.”
“Males main sama lo, Mbok Ti ngga ngerti cara main PS.”
Esa tergelak.
Anak-anak tangga kayu rumah kami terdengar berderak pelan, Ayah dan Ibu muncul dengan wajah segar. Ayah sudah mengenakan baju koko dan sarung, sementara Ibu dengan daster cantik yang pasti baru.
“Ibu beliin buat Nara ngga?”
“Apa?”
“Daster.”
“Ya Allah, Dek. Mas aja yang nanti beliin,” sambar suamiku.
Ibu tergelak, menepuk-nepuk punggung Mas Ay yang tengah menyalamnya.
“Ibu beliin Nara ngga?” tanyaku lagi.
Mas Ay mendengus pelan, disahuti kekehan Ayah.
“Beli. Biar kalau pas nginap, Mbak ngga usah bawa daster.”
“Emang Ibu cuma beliin satu?”
“Nara,” lirih suamiku lagi.
“Biarin aja, Mas. Anak ya begitu ke ibunya. Sudah nikah tetap saja merengek-rengek.”
Ayah meminta kami duduk, sementara Ibu mengelurkan kudapan sederhana lainnya dari dalam kulkas. Perbincangan mengalir, namun penuh data dan statistik. Topiknya soal BBM, pajak kendaraan, dan isu politik yang sedang ramai. Namun tidak ada satu pun menyebut soal Kak Ajeng.
Adzan berkumandang, para pria pergi ke masjid, tinggallah aku yang shalat berjamaah dengan Ibu. Selepas itu, aku naik ke kamar lamaku. Ada keinginan memeriksa jikalau masih ada barang tertinggal yang bisa kubawa. Saat tengah memilah novel-novel lama di rak, Ibu menyusul masuk. Duduk di ujung tempat tidur, memperhatikanku dalam diam.
“Kenapa, Bu?” tanyaku.
“Ndak apa-apa. Ibu kangen aja sama Mbak Nara.”
Aku tersenyum. Gegas aku masukkan buku-buku pilihanku ke dalam tas kain sebelum beringsut dan duduk di samping Ibu-bersandar di bahu beliau.
“Ibu lihat, Mbak bahagia,” ujar Ibu lagi.
“Ibu senang ngga kalau Mbak bahagia?” balasku.
“Ya pasti, Mbak. Ngga ada Ibu yang mau anaknya sedih dan susah. Ibu senang, sangaaat senang kalau Mbak Nara bahagia.”
“Alhamdulillah, Bu,” tanggapku.
Tersua hening. Hanya suara detak detik yang mengisi kamar mungilku.
“Mbak?” Ibu membuka suara kembali lebih dulu.
“Iya, Bu?”
“Kak Ajeng sudah bisa dihubungi,” ujarnya, terdengar pelan namun terasa berat.
Aku mengangkat kepalaku, menoleh, menatap Ibu.
“Lewat voice call,” lanjut beliau, seolah mengatakan jika kakakku enggan dihubungi dengan panggilan video. “Katanya dia masih ada urusan, dan baru pulang kalau sudah selesai. Ibu lega … tapi juga bingung. Ayahmu masih marah. Ngga mau nyari dia, katanya masih malu dengan ulahnya.”
Ada rasa getir di tenggorokanku. Namun, aku mengangguk pelan. Ibu pasti butuh seseorang mendengarnya bukan?
“Begitu kakakmu pulang, kalau bisa … jangan diungkit, ya Mbak. Kak Ajeng memang salah, tapi Mbak kan bahagia sama Mas Andra.”
Kalimat itu membuat napasku tercekat. Aku bernapas dalam seraya merangkai kalimat di benakku. “Kok yang Nara dengar, Ibu meminta Nara ngga ngungkit semua perilaku Kak Ajeng ke Nara ya? Berarti Ibu tau ya kalau Kak Ajeng sering bikin Nara sakit hati dan merasa kecil. Tapi, Ibu ngebiarin?” tanyaku lirih.
“Bukan begitu, sayang.”
“Sekalipun Nara bahagia sekarang, ngga lantas Nara bisa ngelupain gimana jahatnya Kak Ajeng, Bu.”
“Mbak, Kak Ajeng-“
“Ngga bermaksud jahat ke Nara? Ibu ngomong begitu terus!”
“Mbak ….”
“Apa cuma begitu caranya supaya kami ngga berselisih dan ribut, maka harus ada yang mengalah? Dan itu selalu Nara?”
Ibu terdiam. Mungkin tak menyangka jika 24 tahun di bumi aku baru bisa menumpahkan isi hatiku.
“Ibu ngga adil,” lirihku. Aku berdiri, meraih tote bag yang tergeletak di meja. “Aku turun dulu, Bu,” ujarku kemudian, tiba-tiba saja kamar itu membuatku sesak.
Di bawah, ketiga pria yang kucintai baru saja tiba. Aku langsung mengusap wajahku, menyingkirkan air mata yang sempat menitik.
Ayah langsung menyadari perubahan raut wajahku. “Kenapa, Nduk?”
“Habis ngambil novel, Yah,” jawabku.
Beliau menghela napas panjang. Pasti aku gagal berbohong.
Begitu Ibu menapak di lantai dasar rumah ini, Ayah memberondongnya dengan pertanyaan. “Kamu ngomong apa? Kok anakku baru datang malah nangis? Ngomongin Ajeng lagi?”
Ibu terlihat cemas. “Aku cuma ngasih tau kalau Ajeng sudah bisa dihubungi.”
“Kan aku sudah bilang ngga usah dikasih tau. Kamu pikir kelakuannya Ajeng bisa ditolerir? Kamu ngga mikirin perasaan Nara? Mereka baru menikah lho, Ning. Masih beradaptasi.”
“Aku cuma ingin mereka akur, mereka kan saudara.” suara Ibu mulai meninggi.
“Tapi kamu menyakiti perasaan Nara! Aku ngga mau kehilangan semua putriku.”
“Sudah toh, Bu, Yah. Ngga malu apa ribut di depan Mas Andra?” Esa berusaha melerai. “Esa pergi ajalah, capek tiap hari dengar Ibu Ayah cekcok melulu.”
Mas Ay menggenggam tanganku, mendengus pelan. Sementara Ibu dan Ayah bergeming di posisi masing-masing.
Begitu Esa keluar dari kamar dengan menenteng helmnya, suamiku menyusulkan kata. “Yah, Bu, maaf … kami pamit dulu. Besok inshaaAllah kami ke sini lagi, ya?”
Mungkin, karena suasana sudah terlanjur canggung, akhirnya Ayah mengangguk, sementara Ibu diam saja. Suamiku lebih dulu menyalam keduanya. Sementara aku menyalam Ibu dengan pikiran linglung meski masih mendapatkan pelukan hangat dari ayah.
Mas Ay membimbingku ke luar. Ayah menunggu di teras hingga motor kami melaju. Begitu rumahku tak lagi tampak, aku mengeratkan pelukanku, membenamkan wajah di bahu suamiku, memecahkan tangis. Sedih rasanya melihat orangtuaku berselisih seperti itu, dan penyebabnya adalah aku dan Kak Ajeng.
Moge menembus jalanan malam yang kian ramai. Udara terasa lembap. Sekitar dua puluh menit kemudian, kami berhenti di sebuah kios nasi goreng sederhana, dengan lampu remang dan aroma asap yang menggoda. Dan … moge-moge lainnya yang terparkir di depannya.
“Lapar kan, Dek?” tanya suamiku.
“Ngga terlalu sih, Mas.”
“Makan aja ya? Biar sampai rumah tinggal istirahat.”
Aku mengangguk pelan.
Ternyata, kios ini tak sembarang tempat menikmati nasi goreng pinggir jalan yang sedap. Namun juga markas nongkrong geng moge-nya suamiku. Meski diawali rasa tak enak hati, aku tak mungkin menolak untuk ikut duduk bersama. Bincang-bincang pun mengalir. Obrolan yang berisi namun dikemas dengan menyenangkan. Mereka membahas topik ringan seperti gaya hidup sehat yang make sense, tempat-tempat keren di Swedia yang harus kami kunjungi nanti, hingga kualitas tayangan di negeri ini. Aku ikut terlibat, bahkan sempat diminta menjelaskan soal kebijakan algoritma iklan berbasis minat yang sering jadi bahasan hangat di dunia digital. Salah satu teman Mas Ay—aku lupa namanya—melontarkan tanya, kenapa kadang iklan tau persis apa yang kita butuhkan, bahkan sebelum kita sempat nyari. Aku jelaskan soal pola interaksi, waktu tunggu di halaman, dan perilaku klik yang ditangkap cookies serta pixel tracking. Mereka manggut-manggut, lalu ditutup dengan sebuah celetukan, “wah, Nara kalau ngiklanin nasi goreng, bisa bikin orang ngiler meski belum lapar.”
Kami tertawa. Lalu topik berganti, lebih hangat dan personal. Namun satu hal yang tak berubah—cara suamiku menggenggam tanganku di bawah meja. Kokoh, teduh, seolah memberi isyarat,‘di tempat ini, kamu aman sepenuhnya.’
Di rumah tadi, rasanya seperti terjebak di antara kenangan lama dan tuntutan yang tak pernah selesai. Tapi setiap kali Mas Ay mengajakku masuk ke dunianya—mengenalkanku pada lingkaran kecil yang ia percaya—aku merasa lepas. Dilihat, didengar, dihargai. Lingkungannya hangat dan sehat, jauh dari drama dan tekanan. Dan ia … mencintaiku tanpa syarat, tanpa tuntutan untuk jadi apa-apa. Cukup jadi diriku. Itu membuatku ingin—bukan karena terpaksa, tapi karena sadar—menjadi perempuan yang bisa menjaganya sebaik ia menjagaku.