🎤: Jungkook
Terkadang, kebahagiaan paling sederhana bisa membuat kita lupa bahwa sesuatu yang belum selesai.
***
“Mas, bangun … sudah jam tujuh nih.” Intensitas suaranya naik turun, meski masih sanggup untuk kucerna pelan secara utuh. “Ayo dong, Mas Ay … Nara nanti nyasar gimana?”
Aku terkekeh.
Mengerjap-ngerjap sejenak, menarik napas dalam, aku lalu membuka mata. “Ada aplikasi yang namanya maps, Dek,” tanggapku.
Gantian Nara yang tergelak. “Ayo ih, Mas. Ngga boleh malas lho. Nanti jompo sebelum senja.”
Padahal, sudah nyaris berganti hari ketika kami tiba di unit semalam. Aku—dan juga Nara tentu saja—masih setia dengan rutinitas kami, nyoba-nyoba posisi baru yang bikin paling tahan lama tanpa mengurangi kenikmatan. Habis melepaskan energi sedemikian besar tersebut, otomatis aku tertidur.
Aku pikir, weekend ini akan sama, kami masih di mode bulan madu, malas keluar selimut, kruntelan, ngusel-usel, kissing lagi, ronde kedua kemudian. Nyatanya … my queen malah ngajak olahraga dalam arti harfiah.
“Kan Mas yang bilang, dari nikah belum olahraga dengan benar. Mana sekarang selalu berangkat lebih pagi kan? Pulangnya buru-buru. Biasanya sempat nge-gym, jadi ngga bisa. Makanya izinin Nara naik motor sendiri ke kantor, Mas.”
Kantukku hilang seketika. Membayangkan Nara mengendarai motor sendirian ke kantor, di tengah edannya lalu lintas Jakarta, jujur saja agak mengerikan. “Kok jadi naik motor? Ini mau olahraga atau mau nego urusan motor, Dek?”
“Sekalian, Mas.”
Aku mendengus, ia terkekeh. Kuangkat tubuhku, duduk di sampingnya, polos tanpa sehelai benang pun di tubuh. Nara mengedipkan sebelah matanya.
“Genit,” tanggapku seraya terkekeh.
“Buruan pakai baju, Mas. Sudah siang tuh,” sambatnya lagi.
“Kita ke taman aja, biar adem.” Aku berdiri, meregangkan tubuh, baru kemudian melangkah ke kamar mandi.
Tepat tiga puluh menit lewat dari pukul tujuh saat kami melangkah keluar dari pintu utama gedung apartemen. Syukurnya, matahari belum teramat terik, sinarnya cukup hangat saat jatuh di punggungku. Angin pun masih cukup terasa sejuk.
Masker sport kugunakan, begitu pula Nara. Polusi di kota ini memang belum juga teratasi. Bahkan jika memandang langit, udara seolah berkabut. Sayangnya itu bukan uap air yang terkondensasi, namun lapisan debu halus dan partikel polutan yang melayang-layang—tak terlihat, tapi nyata dampaknya. Dan aku, masih sangat mencintai paru-paruku.
Aku melirik ke samping, melihat Nara yang tengah mengenakan topinya. Surainya dikuncir tengah, resleting jaketnya pun sudah terkunci di bagian leher.
“Ayo, Dek?”
“Ayo, Mas.”
Kami berjalan ke taman di bagian belakang kompleks apartemen. Bukan untuk jogging, hanya berjalan sembari mengobrol ringan dan memperhatikan sekitar. Tak hanya kami, area hijau ini tampak lebih ramai dari hari kerja. Beberapa keluarga kecil dan lansia juga tampak menikmati pagi. Sesekali kami melewati pasangan lain yang tersenyum ramah, atau anak-anak kecil yang berlarian di jalur paving block yang bersih dan tertata.
Satu jam berselang, saat matahari kian terik dan sinarnya menerobos celah-celah dedaunan, kami memutuskan meninggalkan track dan beringsut ke sebuah spot sarapan. Warung semi-terbuka itu berdiri di pojok sebuah gang. Di depannya, dua meja kayu panjang diletakkan, dilapisi taplak plastik bermotif bunga. Aroma laksa dan kaldu bubur ayam menyambut kami begitu langkah kian mendekat, berpadu dengan bau minyak goreng dari wajan panas.
“Warung ini paling lama buka cuma sampai jam sepuluh pagi,” ujarku. “Makanya ramai terus, Dek. Kalau kesiangan, tinggal sisa-sisanya aja, kadang benar-benar ludes.”
Kami duduk bersisian, di salah satu bagian pinggir. Berseberangan dengan kami, sepasang lansia tengah menikmati nasi uduk dengan sambal goreng ati. Dan di pinggir lainnya, seorang bapak dengan kaus kutang sedang menatap layar ponsel sembari mengaduk kopi hitamnya.
Nara memesan teh tarik hangat dan semangkuk laksa. Aku memilih kopi tubruk dan bubur ayam dengan topping lengkap. Tak sampai lima menit, semua tersaji dalam mangkuk dan cangkir-cangkir kecil berwarna pudar.
“Lumayan asik suasananya,” gumam Nara seraya menyeruput teh tarik hangatnya.
Aku mengangguk, ikut menyesap kopiku. “Mungkin karena semua yang makan di sini ngga sok estetik. Spontan, tulus, ngga sekedar buat ngonten di Instagr4m.”
"Bener-bener,” tanggap Nara. Ia mengaduk laksanya, lalu mulai menyuap. Saat ledakan rasa menguasai mulutnya, ia bergeming sejenak.
“Enak banget kan?”
Istriku mengangguk-angguk.
“Lebih kaget lagi kalau tau harganya nanti,” sambungku.
Nara menelan kunyahannya. “Mahal, Mas?”
Aku menggeleng. “Makan dulu aja, nanti juga tau.”
Istriku kembali menikmati laksanya, sementara aku sibuk mengaduk buburku hingga telur ayam kampung yang ditambahkan tercampur rata.
“Jangan banyak-banyak sambalnya, Mas. Masih pagi. Nanti belum sampai unit udah mulas,” ujar Nara.
Aku menurut saja. Konon katanya, doa dan sumpah istri itu mujarab. Kalau yang terlontar jelek seperti ucapannya barusan, jujur saja aku khawatir malaikat mendengar dan meng-aamiin-i.
“Mas?”
“Apa, sayang?”
“Mas sama Kylo dan Algar kan beda jurusan ya? Kok bisa sahabatan dari kuliah?”
“Oh ... satu kelompok pas ospek kampus, Dek. Terus, ketemu di kantin, ketemu di fotokopian, ketemu di sekitaran kosan. Dan kita punya satu kesamaan, kalau tengah malam suka nongkrong di warung burjo. Mas dan Kylo makan mie, kalau Algar selalu lagi ngemil su5u jahe merah sama pisang rebus.”
“I see. Bang Algar sudah jadi atlet pas masuk kuliah berarti, ya Mas?”
“Dari SD sudah jadi atlet dia,” jawabku. “Masuk kampus juga jalur prestasi.”
“I see.”
“Tapi otaknya juga encer,” tambahku.
“Pintar meski playboy, ya Mas?”
Aku tergelak. “Kata siapa Algar playboy?”
“Banyak yang bilang, Mas,” jawab Nara.
“Tapi tetap aja tuh banyak cewek yang mau sama dia, meski tau dia playboy,” balasku.
“Nara ngga. Bang Algar ngga charming di mata Nara. Ngga kayak Mas.”
“Terima kasih,” tanggapku.
“Jajanin dong, Mas?”
Aku tertawa lagi.
“Berarti benar Bang Algar tuh playboy, ya Mas?” tanya Nara lagi.
“Mmm ... awalnya sih ngga. Cuma, waktu habis ospek itu, dia pedekate sama salah satu senior, kebalikannya kita, Dek.”
“Beda tiga tahun?”
“Betul,” jawabku. “And then, jadianlah mereka.”
“Terus?”
“Ceweknya lulus duluan kan? Masih aman tuh.”
“Ooo ... ldr-an terus putus, ya Mas?”
“Putusnya bukan karena long distance relationship.”
“Karena apa dong?”
“Waktu itu hari ulang tahun ceweknya. Tapi, Algar nge-prank, bilang ngga bisa datang. Ceweknya udah kerja di Jakarta. Gitulah, ceweknya yang so sad gitu. Happy dong Algar, berangkat ke Jakarta, bawa macem-macem, kado juga. Sampai di kontrakan ceweknya, ada motor sport di depan teras, dan sepatu cowok. Diketok dong sama Algar. Pintu dibuka ... tebak sendirilah kelanjutannya.”
“Ceweknya selingkuh?”
Aku menghentakkan napas, mengatup bibir, lalu mengangguk. “Sampai bercinta.”
“Hah?”
“Algar nerobos masuk, Dek. Penampilan cowoknya kayak Mas tadi pagi.”
“Astaghfirullah.”
“Dari situ, dia kayak mati rasa. Marah, kecewa, bingung. Jadinya kabur ke cewek lain terus—ngga pernah serius.”
Nara menyesap teh tariknya, menatapku lekat dengan kening mengerut. “Tapi masa balas dendamnya sama cewek lain, Mas?”
“Kalau Algar bilang, dia cuma tidur sama cewek yang mau. Bukan karena dia paksa.”
“Mas ngga pernah nasehatin Algar?”
“Pernah. Makanya dia bisa jelasin kalau cerita ranjangnya dia semua didasarkan mau sama mau. Ngga ada yang merasa terpaksa, apalagi sampai dirudapaksa. Ya Mas bisa apa? Kewajiban Mas kan negur, nasehatin,” tanggapku.
“Bang Kylo?”
“Kylo lebih rajin negur Algar malah.”
“Gitu ya ...” gumam istriku. “Tapi, Mas ... calon istrinya Bang Algar tau?”
“Vaila? Taulah, mereka kenal aja awalnya ons.”
“Ons?”
“One night stand.”
Nara membelalak. “Kok bisa, Mas?”
“Mabuk, sayang. Makanya ngga boleh nenggak khamr.”
“Ngeri ih, Mas.”
“Iya, ngeri. Ya mudah-mudahan dua-duanya sudah benar-benar selesai main-main.”
“Mau aneh, tapi zaman sekarang banyak yang kayak gitu, ya Mas?”
“Banyak banget, Dek.”
“Mas ngga gitu kan?”
Aku mengulurkan tangan, mencubit pelan puncak hidungnya. “Buka beha kamu aja awal-awal Mas ngga bisa,” bisikku di telinganya.
Nara terkekeh. “Tapi Mas jago, langsung nembus,” balasnya, juga berbisik.
“Kan Mas dapet referensi.” Aku membisikinya lagi.
“Dapat tips and tricks dari Bang Algar?”
Aku terkekeh sembari mengangguk.
Ia menggebuk pelan lenganku. “Dasar!”
“Ilmu yang bermanfaat itu, Dek. Karena dipraktekkan di saat yang tepat.”
Nara mendengus keras. “Kalau Bang Kylo, Mas?”
“Sudah nikah dia. Istrinya lagi hamil. Udah tujuh bulan katanya.”
“Iya, sama Kak Naia kan? Kakak tingkat pas di atas Nara.”
“Betul. Tapi ngga pacaran. Makanya kita kaget banget pas dia bilang mau nikah sama Naia.”
“Oh gitu, Mas?”
“Iya. Kylo tuh memang masuk kategori alim, tapi bukan anak DKM. Naia juga sama. Teman pun bukan, meski sekampus cuma sekadar pernah lihat.”
“Terus gimana kenalnya?”
“Lagi ke nikahan teman, Naia juga datang, nah di situ ada interaksi, ngobrol. Pas mau pulang, kita pisah arah. Kylo, Naia, sama Tina-seangkatan sama Naia juga-yang searah. Barenglah mereka. Tina turun duluan. Makin serulah obrolan Kylo dan Naia, nyambung ke chat, terus Kylo ngajak nikah,” jelasku.
“Langsung ngajak nikah?”
“Kata Kylo gitu.”
“Sweet.”
“Kita juga sweet, Dek. Paling sweet.”
“Iya deh, terserah Mas aja.”
“Lah, kok terserah, Mas?”
Ia terkekeh.
“Tapi, kemarin dia kayaknya lagi kesal sama Algar,” ujarku lagi.
“Bang Kylo?”
Aku mengangguk. “Nyolot banget. Tapi sama Algar doang. Sama Mas mah ngga.”
“Kenapa tuh, Mas?”
“Mas tanya juga ngga jawab. Malah bilang kalau waktu kita bulan madu ke Kintamani, si Algar juga di sana. Dan Kylo kayak kesal karena Algar ngga bilang.”
“Bang Kylo mau ikut juga?”
“Bukan,” kekehku. “Ngga tau, sayang. Mas ngga paham kenapa Kylo sekesal itu sama Algar. Mungkin dia ngira Algar masih main sama cewek padahal sudah mau nikah sama Vaila.”
“Tapi Bang Kylo tau dari mana kalau Bang Algar di Kintamani?”
“Adiknya Kylo. Pas lagi liburan juga. Sama cewek katanya.”
“Vaila?”
“Entah. Adiknya Kylo juga ngga ngefoto. Lihatnya sekilas doang, tapi yakin banget kalau itu Algar.”
“Kenapa kita semua jadi ada di satu tempat, ya Mas?” gumam Nara kemudian. “Aku, Mas Ay, Bang Algar, Kak Ajeng, adiknya Bang Kylo. Aneh ngga sih? Ngga ya?”
Aku terdiam.
“Apa ....” Nara kemudian menggeleng, seolah mengusir pikiran acaknya.
“Kenapa, Dek? Apa yang apa?”
“Ngga apa-apa, Mas. Random aja pikiran Nara. Ngawur.”
“Apa yang ngawur?”
“Pas kita mau balik ke penginapan, Nara sempat lihat Kak Ajeng, lagi debat kayaknya ... sama cowok gitu. Masalahnya, Nara ngga lihat mukanya, karena posisi si cowok ngebelakangin jalan,” jelas istriku. “Tiba-tiba aja tadi Nara kepikiran, apa mungkin itu Bang Algar? Tapi kayaknya mah ngga mungkin.”
Ada rasa tak nyaman yang hadir di dadaku. “Kenapa ngga mungkin?” balasku.
“Soalnya Kak Ajeng marah banget gitu mukanya, Mas.”
“Hah?”
“Kan? Kenapa juga Kak Ajeng marah sama Bang Algar. Iya kan, Mas?”
‘Tapi kenapa Kylo marah sama Algar? Ada apa sebenarnya?’
Aku diam. Pagi yang tadinya hangat perlahan berubah jadi tanya. Aku berusaha tak berubah sikap, khawatir Nara salah menanggapi. Namun, tetap saja dugaan-dugaan liar jadi merasuki pikiranku. Apa mungkin ... ada sesuatu di belakangku selama ini? Dan akankah hal itu mengganggu kami nantinya? Kuharap tidak karena Nara segalanya untukku sekarang.