17. AINARA: 🎵 EPIPHANY

2559 Kata
🎤: Jin Loving myself isn't selfish. It's the quiet courage to finally listen to the voice I’ve silenced too long. *** “Ngantuk, Dek?” tanya Mas Ay saat kami berhenti di lampu merah kawasan Senopati. “Iya, Mas.” “Helm kamu ngejedot-jedot ke aku.” “Sakit ya Mas?” “Ngga, sayang. Mas takut kamu oleng aja.” “Capek,” rengkekku. ‘Ya ampun, kenapa sih aku jadi manja begini?’ Jam pulang kerja di Jakarta selalu menghadirkan lalu lintas yang tak bersahabat, terlebih Jumat malam seperti ini. Namun, yang biasanya aku suntuk sepenuh hati, entah kenapa … hiruk pikuk, suara mesin kendaraan dan udara kota menyapu pelan wajahku tak lagi mengganggu seperti dulu. Mungkin karena yang memboncengku adalah tempat ternyamanku. Suamiku tergelak renyah. “Mau pulang aja?” “Ngga, Mas. Mampir dulu lihat Mama Papa. Nara ngga enak hati kalau sudah di-chat malah ngga datang.” “Kan Mama nanya kabar doang, ngga nyuruh datang,” ujar suamiku. Tak salah sih. Tapi, sejak kami menikah, belum pernah aku bertandang. “Belum ada seminggu kita nikah, sayang.” Mas Ay mengingatkan, mungkin barusan ada malaikat yang membisikinya isi kepalaku. “Kirain sudah setahun,” candaku. “Bukannya sepuluh tahun?” balas Mas Ay. “Yang pasti buat … Mas maunya sampai kapan?” “Jadi suami kamu? Hmm … selamanya aja gimana?” Aku terkekeh, lalu memberi anggukan. Ia menepuk-nepuk tanganku. “Tapi, Mas … tetap aja Nara mau datang. Toh jaraknya masih mudah dijangkau.” Ia mengeratkan pelukanku di pinggangnya. “Kita berhenti sebentar kalu begitu. Mampir ke … mana enaknya?” “Mama Papa suka makanan apa, Mas?” “Kue basah.” “Serius?” “Iya. Apalagi Mama.” “Oh, Nara tau yang enak sekitaran sini.” “Kayaknya kita mikirin toko kue yang sama.” Kami masuk ke sebuah komplek perumahan di kawasan Senopati. Motor Mas Ay melambat, lalu berhenti di depan sebuah bangunan bernuansa jadul yang disinari lampu dinding temaram. Plang kayu selamat datang menggantung manis di atas pintu masuk yang terbuka lebar. Aroma kelapa, pandan, dan tape singkong langsung menyergap begitu kami melangkah ke dalam. Tak hanya fasadnya, interior kafe tersebut juga bernuansa klasik. Feel-nya seperti pulang ke rumah nenek—lantai tegel klasik bermotif bunga, etalase kaca berbingkai kayu, dan dinding yang dipenuhi foto-foto jadul pembuat kue generasi awal. Suasana hangat mengisi ruangan, memeluk damai para pengunjungnya meski di luar lalu lintas Jakarta masih bergemuruh. Konyolnya, perut suamiku berbunyi saat ia tengah membuka helm dan menggantungnya di lengan. Aku terkekeh. “Mau sekalian makan dulu, Mas?” “Yang ringan-ringan aja kali, ya Dek?” “Oke.” Aku melangkah ke depan etalase yang dipenuhi aneka kue basah berjejer rapi; kue lapis pelangi, nagasari, lemper ayam, pastel, sosis solo, panada, klepon, talam ketan, ongol-ongol ungu bening, hingga onde-onde warna-warni. “Nara juga jadi kepingin,” gumamku. “Makan?” tanya suamiku. “Bukan, Mas … jajan. Jadi, beli dua box. Satu buat Mama, satu kita bawa pulang. Kan gaji Nara belum dipakai bulan ini.” Mas Ay tersenyum hangat, satu tangannya menepuk-nepuk lembut pucuk kepalaku. “Beli aja. Urusan bayar biar Mas.” “Nara beli banyak kalau gitu,” timpalku yang membuat pecah tawanya. “Mas, Mama Papa suka yang manis atau gurih?” “Mama suka yang kenyal-kenyal, yang teksturnya lembut. Papa suka yang gurih, yang pedas juga.” “Oke.” Aku kemudian tersenyum pada staf kafe tersebut. “Mbak, saya mau makan di sini, sama bungkus kue-kuenya.” “Baik. Yang makan di sini apa saja, Kak?” Aku membuka buku menu, membaca pelan halaman pertamanya. “Saya somay,” jawabku. “Mas mau apa?” “Ketoprak kacang mede,” jawabnya. “Minumnya iced apple tea.” “Saya strawberry mint tea.” Aku menimpali. “Ada lagi kak?” “Pisang goreng sambal roa-nya masih ada lagi, Mbak?” tanya Mas Ay. “Tinggal dua itu aja, Kak.” “Saya mau,” ujar suamiku. “Ada lagi?” tanya staf tersebut kembali. Mas Ay menggeleng, aku pun sama. “Untuk kue yang mau di-take away, Kak?” “Aku mau …” gumamku lalu menunjuk beberapa pilihan. “Klepon, kue khu, ketan srikaya, talam hijau, bugis mandi, pastel telur, sosis solo, panada, combro rawit, lemper ayam, onde-onde pelangi yang isi enam. Dibikin dua paket ya, Mbak.” Staf toko lainnya sudah menyiapkan sebagian kue, lalu mengangguk. “Mau pakai kartu ucapan, Kak?” tanyanya sembari sambil menyusun kue-kue ke dalam kotak biodegradable yang cantik. “Ngga usah, Mbak.” Mas Ay yang menjawab. Kami membayar pesanan kami di kasir kecil yang dihiasi taplak renda dan toples-toples kaca berisi kembang gula jadul. Setelahnya, kami beringsut ke sebuah meja yang berada di sudut ruang, diapit dua kaca jendela yang menyajikan pemandangan taman kecil bangunan tersebut di baliknya. Tak menunggu lama, makanan pengganjal lapar pun disajikan. Pisang goreng sambal roa yang lebih dulu tiba. Wanginya benar-benar membuat air liurku banjir di dalam mulut. “Enak lho, Dek,” ujar suamiku. Aku mengangguk. Ia meletakkan sepotong pisang dengan olesan sambal di piring kecil, lalu menyodorkan ke hadapanku. “Buat Nara, Mas?” “Emang ngga mau?” “Mau,” tanggapku, menggenggam tepi piringku, khawatir diambil lagi oleh Mas Ay. Ia tergelak renyah. “Satu aja, yang ini ngga boleh diminta, punya Mas!” ujarnya seraya mengoles pisangnya dengan sambal. “Makasih, Mas.” “Tadi mau pesan juga kan? Mas lihat mata kamu ke pisang goreng terus.” “Iya. Eh tinggal dua ini, mana Mas langsung bilang mau dua. Jadilah Nara pikir ngga kebagian.” “Makanya, kalau kepingin sesuatu, dikejar, Dek. Jangan tunggu orang sedunia ngga mau, baru kamu ambil.” Aku terdiam. Bukan karena tersinggung, namun karena meresapi kalimat suamiku barusan. Selama ini, memang seperti itulah aku. Bukan karena mengalah, tapi aku tak percaya diri jika harus berkonfrontasi demi sesuatu. Briony-salah satu sahabatku-bilang, aku mengalami kondisi fawn response atau people-pleasing tendency—biasanya terbentuk dari kehidupan masa kecil yang membuat aku lebih memilih untuk meredam keinginan pribadi agar tidak dianggap menyulitkan. Posisiku terbiasa ditekan oleh kakakku sendiri, tidak mendapat ruang aman untuk menyuarakan keinginan. Ini membentuk kebiasaan dan pengaturan default di otakku jika ‘diam itu aman, bicara itu berisiko.’ “Kenapa, sayang?” tanya Mas Ay seraya menggenggam hangat tanganku. “Mau lagi pisangnya? Nih Mas masih ada setengah.” “Tadi katanya ngga boleh minta lagi?” balasku. Ia mendengus pelan, menatapku seolah ia baru melakukan kesalahan. “Mas salah ngomong ya?” “Ih, ngga,” tanggapku. Percakapan kami terdistraksi. Staf kafe membawakan pesanan kami. Somay dan ketoprak tersaji cantik, membuat perutku bernyanyi tak merdu. “Dek? Sayang?” tegurnya lagi begitu kami kembali ditinggal berdua. Aku terkekeh, merasa lucu dengan ekspresi suamiku. Padahal aku sungguh tak tersinggung dengan ucapannya. Justru lebih terasa seperti bercermin. “Anak sulung tuh harus punya kelebihan, jangan kalah sama adik. Udah fisik kalah, masa otaknya juga?” Kening suamiku mengerut. Suapan pertama yang sudah mendekati mulutnya, turun kembali ke atas piring. “Uwak Rini yang bilang begitu, Mas. Karena dulu, Kak Ajeng kan ngga langsung fit banget, ditambah kecerdasan akademiknya bukan level jenius,” jelasku. “Jadi, Kak Ajeng kan terbiasa perhatian tercurah ke dia semua. Pas ada Nara aja, Kak Ajeng ngga lantas happy. Ditambah lagi, setiap kali ada kumpul keluarga, pasti ada celetukan Uwak yang ngebandingin Kak Ajeng dan Nara. Niatnya mungkin sekadar bercanda atau menyemangati, tapi kenyataannya justru bikin Kak Ajeng benci banget sama Nara.” Suamiku menghela napas panjang. “Dan itu yang bikin kamu ‘di-bully’ terus sama Ajeng?” Aku mengatupkan bibir, menaikturunkan bahuku. “Ayah dan Ibu ngga pernah melerai?” “Sering, Mas.” “Terus?” “Gimana ya jelasinnya … kayak ke Mas deh, Kak Ajeng itu charming banget kan?” Ia diam saja, tak menjawab pertanyaanku. Dan aku tau, itu benar adanya. Kak Ajeng sangatlah manis di depan segelintir orang, namun bisa menjadi sangat kejam pada segelintir lainnya. “Jadi, kalau ditegur sama Ayah dan Ibu, dia selalu punya alasan, terus ngedrama yang sedih banget gitu, ngerasa disalahpahami. Bikin Ayah dan Ibu ujung-ujungnya diam. Nara pun selalu begitu, Mas. Ujung-ujungnya Nara yang minta maaf,” lanjutku. “Kamu yang jadi ngerasa bersalah?” “Iya.” “Semanipulatif itu ya …” gumam suamiku, lalu menghempas napas lagi. “Kadang, jadi Nara yang dibujuk untuk ngalah, karena Kak Ajeng nangis sesenggukan.” “Astaghfirullah. Berarti memang ngga pernah ada konsekuensi yang nyata ke Ajeng. Dianggap selesai begitu aja.” “Iya, Mas.” Mas Ay mengangguk-angguk. “Jadinya, sampai hal kecil aja, Nara lihat kanan-kiri dulu, ada yang mau ngga ya? Kalau ngga ada, baru buat Nara.” “Hmm. Ajeng ngga mau sama aku, makanya kamu mau?” Jantungku mencelos. Aku ingin menangis. Namun, itulah yang terjadi saat aku menimbang-nimbang menerima atau menolak lamarannya hari itu; Kak Ajeng pergi, mereka tak berjodoh. Mas Ay untukku saja. Aku mau coba menjalani kisahku dengan cinta pertamaku yang dulu tak pernah sempat kumulai. Untungnya ia mencintaiku, jadi aku tak terlalu merasa bodoh Kuanggukkan kepalaku, lesu. “Itu kelemahan Nara, Mas,” lirihku. “Banyak banget ya lemahnya.” “Bukan kelemahan, sayang. Itu luka. Kamu terlalu sering mikirin perasaan orang lain, sampai lupa perasaan sendiri. Padahal, keinginan kamu juga penting. Suara kamu juga berhak didengar. Dan mencintai diri sendiri … ngga pernah salah, apalagi kalau kamu melakukannya tanpa menyakiti siapa-siapa.” *** Selesai mengganjal perut, kami kembali ke motor dan meluncur ke kediaman orangtua Mas Ay. Warna fasadnya mengingatkanku pada dedaunan merah di musim gugur, hanya terdiri dari satu lantai dengan langit-langit tinggi, dan berkesan hangat. Bukan rumah mewah yang kerap kubayangkan dimiliki para pengusaha. Halaman kecilnya dihiasi rumput hijau dan tanaman gantung. Aroma sedap langsung menyambut sejak pagar terbuka. “Assalamu’alaikum,” sapa Mas Ay membuka pintu. “Ma? Pa?” “Wa’alaikumussalam, masuk, masuk!” sahut suara khas Papa dari ruang tengah. “Alhamdulillah, sampai juga menantu Papa.” “Kok menantu doang? Mas ngga ditunggu?” “Nggalah!” Mas Ay mendecak, aku tergelak. “Lho, kopernya mana?” tanya Mama yang melangkah dengan sebakul kacang rebus di tangannya. “Di mobil?” ‘Kok koper?’ “Masa ke sini ngga nginep? Itu mezzanine sudah Mama rapihin lho,” ujar Mama lagi. “Ma, Mas masih pengantin baru lho,” sahut suamiku yang sontak dihadiahi pukulan pelan di lengannya dari Mama. “Ngga kepingin cucu apa?” Papa terus saja terkekeh. “Ma, ini Nara sama Mas bawa kue,” sambarku, merasa ngeri jika tema cucu kian berkembang. “Mau ditaruh di sini aja, Ma?” “Iya. Di sini aja, kita makan sama-sama,” jawab Mama. “Duduk dong, Mbak.” “Iya, Ma.” “Deeek! Udah dulu kerjanya. Tehnya buruan ih.” Mama nyaris memekik, memanggil Kalista. “Siaaap!” sahut adik iparku dari dapur. Tak berselang lama, ia pun bergabung bersama kami. “Emang lagi sibuk apa, Kal?” tanyaku begitu Kalista duduk di sampingku sembari mengunyah salah satu onde-onde. “Ngerekap laporan bulanan arenga kita, Ra. Panen bulan ini lumayan, alhamdulillah. Tinggal jadwal sidak nih. Udah waktunya gue tiba-tiba muncul,” jelas Kalista. “Kirimin Mas, Dek,” timpal Mas Ay. “Sip, Mas.” “Kalau sidak gitu, sama siapa, Kal?” tanyaku lagi. “Kadang sama Papa, sama Papa Mama, sama Mas Ay lo kalau dia lagi gabut. Yang paling sering sih nyeret Sultan.” “Diseret?” “Ya ngga literaly diseret, Ra.” “Kirain,” kekehku. “Gimana Tirta?” Mas Ay melontarkan pertanyaan baru, mengambil sepotong lemper dari salah satu kotak. “Besok boleh pulang. Tapi gue masih bakal pantau semingguan ini,” jawab Kalista. “Ya … biarpun salah dia juga sih. Tapi masa iya gue tinggal gitu aja?” Mas Ay mengangguk. “Ngga semua harus pakai hukum balas. Apalagi dia ngga bertingkah, ngakuin kesalahannya juga. Kan ada tuh, mentang-mentang dia yang pakai motor, malah dia yang bikin laporan ke polisi, playing victim.” “Ngga sih, malah gue yang pengen ngelaporin orang,” timpal Kalista. “Siapa?” tanya Papa. “Emaknya Tirta, Pa. Tapi pas Adek bilang ngga mau bayarin pengobatannya Tirta, langsung gelagapan masa. Jadi kasihan juga.” “Kasihan?” timpal Mama. “Kasihan penyidiknya, Ma. Capek kan nanyain orang yang jawabnya hahehoh doang.” “Urusan lo banget ya, Dek?” balas Mas Ay. “Sepik doang gue, Mas.” “Sepikteng?” Mama menggebuk lengan Mas Ay lagi. “Jorok!” “Kalista duluan, Ma.” Suamiku membela diri. “Dih, jangan ditiru kebiasaan mecin kadaluarsa, Mas!” balas Kalista. “Apa lagi tuh mecin kadaluarsa?” tanya Papa. “Udahlah, Pa. Mending Papa ngga tau. Adek capek kalau harus nyeritainnya,” tanggap bungsunya. “Sejenis vampir, Pa. Kalau kita berurusan sama orang-orang begitu, jiwa kita ngga tenang, energi kita kayak keserap,” jelasku. “Dementor kali maksud lo?” timpal Kalista. Mas Ay menggeleng. “Istri gue ngga bisa bedain mana vampir mana dementor, Dek.” “Nontonnya split screen kali,” sambar Mama. “Sebelah Twilight, sebelah lagi Harry Potter.” Aku sontak tergelak. Pembicaraan kami mengalir tenang. Tak ada habisnya yang dibahas. Bahkan sampai urusan sepatu Papa yang sudah waktunya ganti agar tak menambah beban tulang belakang beliau. Di tengah kebersamaan itu, aku pamit ke belakang. Dan saat keluar dari kamar mandi, Mama tengah membereskan kue-kue yang kubawa. Beliau tersenyum hangat. “Banyak banget makanan kita, Mbak,” ujar Mama. “Sebagian Mama simpan. Enak dihangatin besok pagi, sambil ngopi.” “Iya, Ma,” tanggapku. Salah satu kursi makan kutarik, duduk di sana, bersiku dengan beliau. “Gimana Mas Ay?” Aku tergelak. “Pasti Kalista yang cerita ke Mama ya soal panggilan itu.” “Ngga apa-apa. Mesra kan punya panggilan sayang.” “Iya, Ma.” “Rewel ngga si Mas?” “Ngga, Ma. Malah Nara yang sering nyusahin deh.” “Masa? Kata Mas-Nara pinter planning? Planner wife.” “Hah? Ngga ah, Ma.” “Mas yang cerita kok.” “Nara cuma bantu ngatur budget bulanan aja, Ma.” “Bagus itu.” Aku mengangguk. “Tapi Nara ngga bisa masak, Ma. Jadi Mas Ay terus yang masak. Bikin bekal.” “Sudah biasa. Dari sekolah dia bikin bekalnya sendiri, gantian sama Kalista.” “Iya, Ma. Masakan Mas Ay enak.” “Alhamdulillah,” ujar Mama. “Disyukuri aja. Lagipula, ngga ada tuh dalilnya istri harus bisa masak.” Kini aku tergelak. “Mama iiih … nanti Nara jadi manja.” “Ya ngga apa-apa. Emangnya kenapa kalau Mbak Nara manja ke Mama? Dosa? Ngga toh?” Entahlah, justru rasa haru terbit di dadaku. “Gimana kerjaan, Mbak Nara?” tanya Mama kemudian seraya memasukkan kotak berisi kue ke rak pendingin. “Alhamdulillah lancar, Ma. Lagi ngerjain campaign buat skincare organik. Bareng sama divisinya Mas juga.” Mama mengangguk-angguk, lalu berkata pelan. “Terima kasih ya, Mbak … sudah mau masuk ke keluarga kecil kami yang kadang agak ribut ini. Ya Allah, anugerah, nduk. Mbak Nara anugerah buat kami.” Beliau meremas lembut bahuku. Aku menatap beliau, berusaha tersenyum, meski sedikit gagal karena tangis haruku meluncur bebas. “Terima kasih juga, Ma. Nara … Nara ngerasa diterima, baik sama Mas, sama Kalista, juga sama Mama Papa.” Mama mengusap kepalaku. “Bukan cuma diterima. Tapi disayang, Mbak.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN