16. AYDEN: 🎵 BLACK SWAN

2093 Kata
🎤: BTS Bukan ketakutan yang membuatku waspada—namun naluri untuk menjaga ‘rumahku’, dari seseorang yang pernah membuatnya runtuh. *** Penghujung meeting tak selalu menjadi tanda lega; kadang justru jadi awal dari putaran otak yang lebih berat, apalagi kalau slide terakhir malah menyulut diskusi baru. Di hadapanku, presentasi bertajuk ‘Let Nature Reclaim’ masih terpampang di layar, dengan catatan tambahan dari tim visual kreatif. Pitch ini memang ambisius—sebuah proyek kolaboratif antara MarComm dan Divisi Kreatif yang ditujukan untuk klien baru kami, brand skincare berbasis sustainable practice, Terraélle. “Nah,” ujarku sambil menutup laptop. “Message-nya udah dapet ya—back to nature, tapi tetap relate sama lifestyle Gen Z yang edgy. Tinggal kita ramu narasinya biar punchy, ngga klise. Target kita; relevan, organik, dan … laku keras.” Beberapa orang terkekeh, lainnya mengangguk-angguk. Sejenak kemudian, peserta meeting mulai membereskan dokumen, tablet, dan kertas coretan. Sebelum semua bubar, aku menepuk pundak Arsa—anak baru yang menjabat Junior MarComm Planner. “Kabarin saya kalau sudah dapat update dari tim kreatif, ya. Info terakhir moodboard-nya sudah fix. Tinggal tone of voice yang kita pastikan konsisten.” “Siap, Pak,” jawabnya. Belum sempat aku beranjak untuk kembali ke mejaku, ponsel di hadapanku bergetar. Nama Algar Prasena muncul di layar. Kuketuk segera notifikasi chat darinya. Algar: Bro, masih lama lo? Gue tunggu di lobi? A3: Baru kelar meeting. Tunggu, gue naruh laptop bentaran. Algar: 👌 Tepat jam makan siang. Aku mengayun langkah, meninggalkan ruang meeting sembari mengirim chat ke istriku. A3: Dek, makan dulu, sudah siang. Beberapa kolegaku menyapa, di antaranya mengajak lunch bersama. Tentu saja aku menolak dengan sopan. Algar tak datang saat pernikahanku, dan dua minggu lagi ia akan menikah. Aku sendiri harus segera menyelesaikan proyek-proyekku, berhubung tak sampai dua bulan ke depan, aku akan berangkat ke Stockholm. Jadi, kesempatan untuk kami berkumpul bersama belum tentu bisa diulang dalam waktu dekat. Aku meletakkan laptopku, melepas blazerku, lalu melangkah kembali menuju lift. DekAi: Mas jadi makan siang sama Bang Algar dan Kylo? A3: Jadi, sayang. Kamu makan siang sama siapa? DekAi: Temen-temen sedivisi, kayak biasa. DekAi: Btw, Mama chat aku, Mas. Nanya kabar aja sih. DekAi: Tapi menurut riset Nara, itu kode minta dikunjungi. A3: 😂😂😂 A3: Mau kapan? DekAi: Terserah Mas aja. Rutinitas Nara kan gini-gini aja. A3: Bangun subuh, shalat, bercinta, mandi, sarapan, siap-siap, kerja, pulang, dinner, mandi, tidur. Repeat. DekAi: Harus banget bercinta dimasukin? A3: Kalau ngga masuk ya ngga bercinta dong? DekAi: Mas! *stiker-bekap-mulut* A3: Sama pasangan sah chat mesra ngga apa-apa, Dek. DekAi: Mas ngga jadi lunch bareng? A3: Mulai ngeles. DekAi: 😂 A3: Baru sampai lobi nih, tuh si Algar sudah kelihatan. DekAi: Oke, Mas. Sampai nanti. Have fun 😘 A3: Sampai nanti, Dek Ai 😘 Sembari berjalan mendekati AlgarA3, aku mengirim pesan ke Kylo—sahabat kami yang biasa jadi the third wheel paling berisik setiap nongkrong. A3: Sudah jalan lo? A3: Inget, Teras Dharmawangsa. Kylo: Oke, bro. A3: Oke-oke aja lo! Nanti kejadian lagi, tau-tau malah ke Plataran Dharmawangsa! Mana nyuruh gue yang bayar! Kylo: 😂 Kylo: See ya, brother ✋ *** Algar menungguku di teras luar gedung kantor. Kacamatanya sedikit turun ke ujung hidung, gaya khasnya sejak kuliah. Jaket sport, jam mahal, dan senyum lebar—ya begitulah Algar. Seolah tak pernah benar-benar punya hari buruk. “Udah kaya lo?” sindirku. Ia tergelak, kami mengadu tinju lalu berpelukan singkat. “Tetap kayaan lo lah, bro. Mau beli bitcoin udah ngga sanggup gue sekarang.” “Bukan ngga sanggup, tapi ngga pede.” “Ya harganya udah segitu, Ndra.” “Nanti naik lagi.” “Kalau turun?” “Gue sih tetap untung.” “Sialan lo!” Kami masuk ke Bentley Bentayga Facelift miliknya. SUV mewah yang baru keluar tahun ini. Penghasilannya sebagai atlet dan pengusaha dari sebuah brand perlengkapan olahraga memang cukup besar. Namun, jangan tanya borosnya. Bahkan tabungan darurat saja ia tak ada. "Jumatan dulu." Sekitar dua puluh menit kemudian dari tempat kami shalat Jumat, kami tiba di tujuan. Aku dan Algar turun nyaris bersamaan. Kami suka restoran ini untuk ngumpul, mengenyangkan perut sembari berbagi kabar. Jika masih belum puas, setelahnya baru kami mencari tempat nongkrong lain. Tempat ini teduh, penuh tanaman tropis yang tertata apik di sepanjang jalan masuk. Nuansa kayu dan batu alam mendominasi, memberi kesan elegan namun hangat. Seorang staf berseragam batik modern menyambut kami dengan senyum ramah. “Selamat siang. Atas nama siapa, Pak?” “Algar,” jawabnya singkat. Staf itu mengangguk. “Silakan ikut saya.” Kami mengikuti pemuda itu melewati lorong semi-terbuka dengan atap kayu dan lampu gantung berdesain etnik. Di kanan-kiri, meja-meja sudah setengah terisi. Beberapa tamu terlihat santai bercengkerama sembari menyeruput teh atau memotret makanan. Meja kami berada di pojok taman kecil, agak tersembunyi namun masih dalam area terbuka. Ada tanaman rambat dan suara air dari pancuran batu yang mengalun pelan. Aku menarik kursi dan duduk. Algar melepaskan jaketnya, menyandarkannya di punggung kursi, lalu melirikku. “Silakan, Pak. Ini menu-nya. Nanti kami bantu jika sudah siap pesan,” ujar staf itu sopan, lalu undur diri. Baru saja aku membuka buku menu, Kylo muncul. Lengan kemejanya terlipat sampai ke siku, wajahnya cerah seperti biasa, namun entah kenapa … ada yang berbeda dari sorot matanya. Ia meremas bahuku, sementara tanganya yang lain beradu tinju dengan Algar. “Apa kabar pengantin baru dan calon pengantin?” sapa Kylo. Ia duduk sembari mengambil buku menu dari depan Algar yang baru saja beralih ke ponsel. “Gue sih santai,” tanggap Algar, pandangannya tak bergeser dari layar gawai. “Iyalah. Lo kan tau beres,” timpal Kylo. “Yang penting gue udah nawarin, mau dibantu apa. Camamer yang bilang beliau aja yang urus semuanya.” “Vaila?” “Ya sama Vaila. Kata calon bini gue, ribet kalau cowok ikut-ikutan.” Aku mengangkat tangan, memanggil seorang pelayan. “Lo gimana, Ndra?” tanya Kylo lagi, kini aku yang jadi targetnya. “Aman, tenang, bahagia.” “Yakin lo?” “Aamiin gitu. Malah nanya yakin apa ngga!” “Khawatir aja sih gue,” tanggapnya. “Iya ngga, Gar?” sambarnya ke Algar, mencari persetujuan. “Hmm,” tanggap Algar, lalu menaikturunkan alisnya. Meski teramat singkat, namun aku cukup yakin Kylo sempat menunjukkan ekspresi … muak? ‘Ke siapa? Gue?’ Staf restoran yang aku panggil mendekat, kami mengatakan pesanan masing-masing. Menuku selalu sama; mie bebek dan udang telur asin. Sementara dua sobatku punya misi mencicipi semua yang tercantum di menu. Jadi, pilihan mereka yang pasti belum pernah dicoba. “Sibuk apa lo, Ndra?” tanya Kylo lagi, sedangkan Algar malah cekikikan sendiri. Namun, baru saja aku mau menjawab, Algar memotong. “Sibuk dibikin lumer istri dia lah.” Lalu mencegir. “Lo, Gar?” balasku. “Masih sibuk nulis daftar mantan?” Algar tergelak, Kylo menggeleng. “Kagaklah! Oh iya, sebelum lupa. Nih ….” Ia mengeluarkan dua buah undangan pernikahan dari dalam sling bag-nya dan meletakkannya di tengah meja. Aku mengerjap. Kylo mendekatkan wajahnya. “Vaila & Algar,” gumam Kylo. “Banyak nyetak lo sampai kita dikasih?” “Buat kenang-kenanganlah. Masa sobat sendiri ngga dikasih.” “Kawin juga lo, bro,” sambarku. “Kawin mah udah sering dia,” timpal Kylo. “Ngiri lo? Bilang?” sahut Algar. “Sarap!” balas Kylo. “Akhirnya, guys … selesai sudah masa pencarian,” ujar Algar, terdengar bangga di telingaku. “Kalau ngga dijodohin, mungkin gue masih main Tinder.” Aku tergelak. “Putri Jenderal, Gar. Spec kayak Vaila ngga mungkinlah nemu di Tinder?” “Iyalah. Jangan sampai juga dia tau gue mainan Tinder.” “Vaila ngga tau?” “Nggalah, Ndra. Bisa jatuh harga diri gue.” “Kayak punya aja lo,” timpal Kylo. ‘Si Kylo kenapa dah. Tumben banget ngga bawel, mana sekalinya nyeletuk malah nyolot,’ batinku. “Berantem sama Naia lo?” tanya Algar ke Kylo. Ternyata bukan aku saja yang merasa demikian. “Ngga,” jawab Kylo. “Agak sensi kawan gue ini.” Kylo mendecak. “By the way, ngga takut lo punya calon bini kayak Vaila, Gar? Ngga bisa main-main lho. Dipantau terus sama babenye.” “Gue seriuslah,” balas Algar. “Vaila itu … antitesis dari semua perempuan yang pernah deket sama gue. Ngga neko-neko, tau kapan bicara, kapan diam, dan nggak insecure sama kerjaan gue. Posisi bapaknya ngga ada sangkut pautnya sama keputusan kami untuk menikah, Lo.” “Berarti, beneran dilepas nih predikat casanova dari seorang Algar Prasena?” “Yoi dong! Kagum kan lo sama gue?” “Huek!” Aku tergelak. Algar menyandarkan punggung, duduk agak merosot, titik pandangnya menuju langit. “Gue udah ngga sehaus dulu. Gue capek, Lo. Vaila bikin gue ngerasa cukup.” “Kalau Andra yang ngomong begitu, kagum gue. Kalau lo yang ngomong, jijik rasanya!” timpal Kylo. “Kenapa gue mulu sih yang jadi sasaran?” Aku terkekeh lagi. “Keren sih kalau gitu, Gar. Semoga lo istiqomah lah. Ngga kumat-kumatan. Sekali lo main-main, bisa-bisa ilang beneran dari peredaran. Dibikin kelar sama bamer. Lo main api, lo hilang secara literal.” “Paham gue, bro,” sahut Algar. “Sadar penuh!” Namun yang menarik perhatianku bukan tanggapan Algar, melainkan reaksi Kylo. Ia hanya menyentuh tepi undangan itu dengan ujung jarinya. Tak ada candaan, tak ada kalimat-kalimat usil seperti biasanya. Aku menyesap air mineralku perlahan, lalu melirik sahabatku tersebut. Ada yang berbeda. Dan firasatku jarang salah. “Gimana Kintamani, Ndra? Seru?” tanya Kylo kemudian. Belum sempat aku menanggapi, Algar bereaksi lebih dulu. “Lo ke Kintamani?” “Yup! Honeymoon.” “Bukannya ke Milan?” “Sendirian? Lo pikir bikin visa bisa sehari jadi?” sambar Kylo. “Oh iya bener. Istri lo—” “Nara.” Aku memotong kalimat Algar. “Harap diingat, nama istri gue; Ainara Manggarani.” “Oke. Nara. Ngga kikuk dia sama lo, Ndra?” tanya Algar lagi. “Sempat kikuk. Sebentar aja sih.” Kylo menyeringai. Aku mengerutkan kening. “Eh bang5at, kenapa sih lo? Kalau lagi kesal, bagi-bagilah! Mau bakar apa kita?” sambar Algar. “Lo gue bakar!” sahut Kylo. “Anj1r, PMS lo? Habis ganti gender?” Aku diam saja, entah mengapa perasaanku makin tak nyaman dengan sikap Kylo. Kylo selesai makan lebih dulu. Ia beranjak, menjauh dari kami, menuju wastafel. Berselang detik, aku melahap habis makan siangku. Sama seperti Kylo, aku pun berdiri dari dudukku dan beringsut untuk mencuci tangan. “Lo ngga apa-apa, Lo?” tanyaku saat kami bersisian mencuci tangan masing-masing. Kylo ternyata ke toilet lebih dulu tadi. “Aman, Ndra,” jawabnya. “Yang gue lihat ngga gitu, bro.” Ia menghela napas panjang. “Waktu lo honeymoon, si Algar juga di Kintamani, Ndra.” “Hah?” “Tapi dia ngga bilang kan tadi?” “Sama siapa dia di Kintamani? Main cewek lagi makanya lo kesal lihat kelakuannya? Atau sama Vaila?” Kylo tak menjawabku, hanya menaikturunkan bahunya. “Lo?” tegurku lagi. “No comment gue, Ndra. Lo taulah kelakuannya Algar.” Kylo itu anak baik-baik. Bisa dibilang, paling alim di antara kami bertiga. Jadi, ia memang paling giat menasehati Algar tentang kegilaannya pada perempuan. “Lo beneran aman sama Nara, Ndra?” tanyanya kemudian. “Iya. Kami benar-benar jalanin pernikahan ini kok. Walau awalnya agak garing, tapi … so far so good.” “Si Ajeng akhirnya gimana?” “Entah. Kata Nara sih belum balik.” “I see. Nunggu reda dulu kali.” “Lo kata hujan?” “Lo jaga pernikahan lo, Ndra. Lupain Ajeng.” “Iya, bro.” “At least, akhirnya lo hidup bareng sama cewek yang pernah jadi crush lo.” “Yep!” “Yuklah balik, jam tiga gue ada meeting soalnya.” Aku mengangguk. *** Kami berpisah di parkiran. Kylo dengan mobilnya sendiri, sementara aku kembali bersama Algar. Langit mulai berubah, mendung menggantung tipis-tipis. Kami masuk ke dalam Bentayga milik Algar, mesin langsung menyala, pendingin ruangan menghembus lembut ke wajahku. Mobil perlahan melaju meninggalkan area restoran. Saat kami membelok keluar gerbang, entah kenapa aku menoleh ke kaca spion. Ada seorang perempuan berdiri agak jauh, separuh wajahnya tertutup masker dan surai yang dikibaskan angin. Namun matanya—aku mengenali sorot itu. Sorot yang dulu ku sangka sangat mencintaiku. Ajeng. Ia berdiri diam, mengamati. Sembunyi-sembunyi. Seolah tak ingin terlihat, namun juga tak ingin benar-benar lepas dari pengamatan. Ada geliat tak nyaman di perutku. Seperti naluri yang tau, kisah ini belum selesai. Aku menghela napas pelan, menoleh ke depan. Kedua tanganku mengepal di pangkuan. Aku tak suka perasaan ini. Dan aku benci mengakui … aku khawatir dia akan kembali mengganggu hidupku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN