“Bagaimana? Pemandangannya benar-benar indah ya?” tanya Elin antusias. Matanya berbinar sambil menatap hamparan daun teh yang berada di depannya.
Raja menyunggingkan senyum geli saat melihat sang pengacara yang biasanya terlihat dewasa dan serius, kini justru seperti anak kecil yang sedang kegirangan.
“Indah.” Raja mengangguk. Ia ikut menatap hamparan daun teh. Pemandangan hijau itu begitu memanjakan mata dan hati. Udara sejuk yang berembus, membuat pikirannya tenang.
”Saya berharap Mas Raja tidak ngedumel karena saya minta mampir ke sini. Sudah lama saya tidak menghirup udara segar.”
Raja terkekeh geli. “Kalau saya ngedumel, apa Mbak Velindira mau menuntut saya?”
“Atas dasar?”
“Perbuatan tidak menyenangkan?” jawab Raja yang lebih seperti sebuah pertanyaan.
Elin tersenyum geli. “Bukankah seharusnya Mas Raja yang menuntut saya? Saya ‘sedikit’ memaksa Mas Raja tadi untuk mampir ke kebun teh ini. Bukankah saya sudah melakukan ‘perbuatan tidak menyenangkan’?"
“Kalau imbalannya melihat pemandangan yang indah seperti ini, saya rasa saya senang ‘sedikit’ dipaksa Mbak Velindira.” Raja menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. “Perasaan saya jadi tenang saat melihat daun-daun hijau ini. Seperti terbebas dari sesuatu…” lirih Raja.
Elin menatap wajah tampan Raja dari samping. Pria itu kini menatap langit yang terlihat sedikit mendung. Matahari sudah tidak bersinar terang karena hari sudah semakin sore. Udara semakin terasa sejuk saat menyapa kulit.
Elin berharap akal-akalannya minta berhenti sejenak saat mereka melewati salah satu perkebunan teh di Jawa Barat, tepatnya di daerah Ciwidey ini hanya agar Raja dapat sedikit menenangkan hati karena kejadian yang dialami pria itu hari ini. Elin selalu merasa tenang saat berada di tempat ini. Perkebunan teh ini sudah sering Elin kunjungi bersama keluarganya. Minimal dua bulan sekali, Elin dan keluarganya akan menginap di villa keluarga milik keluarga Gunawan yang berada tak jauh dari tempat ini. Mereka akan selalu megunjungi perkebunan teh ini untuk membebaskan diri dari kepenatan yang didapat karena aktivitas pekerjaan. Untungnya juga rumah Weni dekat dengan tempat ini. Jadi Elin tidak perlu banyak mencari alasan pada Raja. Hanya tinggal tunjuk saat mereka melewati tempat ini, dan mereka sudah ada di sini. Tepatnya di atas batu besar yang ada di sini untuk dapat melihat lebih puas pemandangan yang ada.
Elin membelalak. Ia bergerak salah tingkah saat Raja sudah berpaling ke arahnya. Elin segera merentangkan kedua tangan, menutup mata dan pura-pura menghirup udara segar dalam-dalam.
“Rasanya segar!” seru Elin terlalu bersemangat. Ia membuka mata, lalu mengalihkan pandangan ke arah Raja yang masih menatapnya. “Pemandangannya benar-benar indah, sampai buat saya bahagia!” seru Elin kembali. Senyum lebar sudah tersungging di bibirnya.
“Benar… Indah…” lirih Raja sambil menatap Elin tak berkedip.
Jantung Elin mendadak dangdutan. Pria ini menatapnya memuja, seolah Raja mengatakan jika yang indah adalah Elin. Pikiran sialan itu, membuat wajah Elin bersemu merah.
“Eh?” tanya Elin tanpa sadar.
Raja berpaling salah tingkah. “P-pemandangannya. Pemandangannya indah,” seru Raja gugup. Ia menatap lurus ke depan.
Elin mengerjap. Tak lama, ia pun mengangguk canggung. “Ya… pemandangannya indah,” ucap Elin canggung. Di dalam hati, Elin merutuki diri sendiri karena pikiran konyolnya.
Bodoh! Bagaimana bisa dia menganggap Raja merasa jika dirinya yang indah?!
Sialan! Keadaan sialan yang membuatnya terbawa suasana.
Elin tak tahu saja, kalau Raja meliriknya dan diam-diam memuja semua yang ada di diri wanita itu.
‘Indah… Kamu lebih indah dari pemandangan ini, Velindira…’ lirih Raja di dalam hati.
“Mas Raja…”
Raja dan Elin mengalihkan pandangan ke arah suara seorang laki-laki yang tiba-tiba saja menyusup di indera pendengaran mereka.
Di bawah sana, supir keluarga Jagapati terlihat kelelahan. Sepertinya pria itu berlari untuk sampai ke tempat di mana Elin dan Raja berada. Wajah pria itu pucat dan menegang. Membuat Elin dan Raja mengernyit tak mengerti.
“Ada apa, Pak Jaka?”
“S-saya… izin pulang ke rumah, Mas. Abah saya… jatuh di kamar mandi, dan sekarang… sedang ada di rumah sakit,” seru pria itu terengah dengan kedua mata sudah berkaca-kaca.
Raja dan Elin sama-sama terkejut. Raja segera turun dari batu besar yang ia naiki, lalu membantu Elin untuk turun juga. Pria itu dan Elin segera menghampiri supir keluarganya.
“Rumah sakit mana? Saya ikut ya. Biar saya yang mengendarai mobilnya.”
***
Elin menatap Raja dari kejauhan. Pria itu sedang sibuk membantu persiapan pemakaman abah supir keluarganya. Sayang sekali pria yang telah berusia enam puluh sembilan tahun itu tidak bisa diselamatkan, dan semalam dinyatakan telah tiada. Pagi ini akan dimakamkan, dan Raja terlihat sibuk. Sementara Elin juga membantu sebisanya.
Seharusnya semalam mereka sudah tiba di Jakarta. Namun karena musibah yang terjadi, Elin dan Raja ikut membantu di rumah keluarga pria yang bernama Jaka itu. Untung saja mereka mampir dulu di kebun teh, sehingga tidak membutuhkan waktu lama bagi Jaka untuk dapat mendampingi abahnya untuk yang terakhir kali. Rumah Jaka hanya satu jam perjalanan dari kebun teh tersebut.
Suasana mendung sangat terasa di rumah Jaka. Isak tangis keluarga masih terdengar. Membuat Elin ikut merasa kehilangan walaupun tak mengenal almarhum. Rasa ini adalah rasa alami seseorang yang melihat sesuatu yang membuat d**a sesak.
Deg!
Elin mengerjap saat matanya dan Raja bertemu. Pria itu sepertinya menatapnya penuh kekhawatiran. Ada apa?
***
“Maafkan saya. Mbak Velindira jadi tidak bisa pulang kemarin.” Raja mengusap tengkuknya gugup. Mereka duduk di bangku panjang tepat di belakang rumah Jaka. Pemakaman sudah selesai dilakukan beberapa waktu yang lalu. Beberapa tetangga masih berada di rumah Jaka, membantu keluarga pria itu untuk membereskan tikar dan sebagainya.
“Kenapa Mas Raja merasa ini salah Mas Raja?”
“Karena saya semalam tidak ada inisiatif bertanya sama Mbak Velindira mau pulang pakai apa. Maaf saya terlalu terbawa suasana sampai lupa bertanya sama Mbak Velin—"
“Saya sudah besar. Kalau saya mau, saya bisa pulang naik travel kemarin, Mas Raja. Saya yang memilih tetap ada di sini,” potong Elin menenangkan. Elin tahu jika Raja kemarin turut merasa sedih saat melihat Jaka dan keluarganya menangis tatkala dokter memberitahu jika abahnya tidak bisa diselamatkan. Bahkan Raja yang berusaha menenangkan kakak Jaka sampai pria itu sempat terjatuh karena terdorong. Kakak Raja adalah seorang wanita, tapi karena perasaan sedih yang teramat dalam, sepertinya tenaganya menjadi sangat besar sehingga Raja bisa sampai jatuh begitu.
Raja… Mengapa ada pria sebaik ini? Elin baru melihat ada pria yang lembut dan begitu peduli pada orang lain melebihi dirinya sendiri.
“Apa Mbak Velindira mau pulang lebih dulu?”
“Mas Raja masih akan di sini?”
“Nanti malam ada pengajian. Saya sepertinya besok baru bisa pulang.”
“Saya juga mau ikut pengajiannya. Apa boleh?”
Raja mengerjap. “Apa… tidak apa-apa? Mbak Velindira sudah di sini selama tiga hari.”
“Tidak apa-apa. Lagi pula besok hari minggu. Saya masih libur kerja dan bisa pulang besok. Saya ingin ikut mendoakan almarhum dan mengingatkan diri jika usia tidak ada yang tahu kapan terhenti.”
Raja tertegun. Wanita ini cantik ini membuatnya terpesona berkali-kali. Elin tidak mengenal Jaka dengan baik. Mereka hanya sempat saling mengobrol sedikit selama perjalanan dari Jakarta menuju ke Bandung. Namun, yang Elin perlihatkan saat ini sangat peduli pada Jaka dan keluarganya. Elin bahkan tadi ikut membantu saat orang-orang sibuk untuk persiapan pemakaman almarhum abah Jaka.
“Tangan Mas Raja kenapa biru??”
Raja tersadar dari lamunan saat merasakan sentuhan di pergelangan tangan kanannya.
“Ah!”
“Oh! Maaf… maaf! Saya tidak tahu kalau sakit.” Elin segera menjauhkan tangannya dari pergelangan tangan Raja saat mendengar pekikan terkejut pria ini. Seharusnya Elin sadar jika tangan itu pasti sakit. Sudah terlihat jelas bengkak dan biru.
Bodoh!
“Tidak apa-apa, Mbak Velindira. Saya hanya sedikit terkejut.”
“Sakit?” tanya Elin penuh perhatian.
“Sedikit.”
“Kenapa bisa seperti itu?”
Raja memegang pergelangan tangannya, lalu menggerakkan dengan hati-hati. “Sepertinya keseleo saat semalam terjatuh.”
Elin menatap Raja prihatin. Pria ini tahu jika tangannya sedang tidak baik-baik saja, tapi sejak tadi melakukan aktifivas yang berat. Apakah Raja merasa dirinya superhero?
“Perlu ke dokter?”
“Tidak. Dikompres pakai es batu juga nanti akan membaik.”
“Kalau begitu saya carikan es batunya dulu.”
“Mbak Velindira, tidak perlu—”
“Anda diam di sana dulu saja!” perintah Elin galak seperti seorang ibu yang sedang menghukum anaknya.
Raja yang sudah berdiri, mengerjap polos.
“Duduk dulu, Mas Raja!” perintah Elin kembali, yang membuat Raja dengan refleks kembali duduk.
Elin tersenyum lebar. “Saya akan segera kembali.”
Raja menatap punggung indah Elin yang menjauh dari pandangan. Senyum wanita itu kembali menyihirnya untuk ke sekian kali. Ia bahkan duduk dengan patuh seperti yang diperintahkan Elin.
“Penyihir… Kamu benar-benar penyihir cantik, Velindira…” bisik Raja dengan jantung berdetak kencang.
***