15. Memandang Cermin

1465 Kata
“Jangan kembali mengusik kehidupan ibu saya setelah ini. Ke depannya, semua urusan yang menyangkut apa pun mengenai Anda dan anak Anda, silakan hubungi saya saja. Pikirkan dengan baik. Jangan terlalu egois, Nyonya. Jika ibu saya mau, Beliau akan membiarkan Anda melapor pada pihak berwajib dan tentu saja Anda sudah dapat menebak bagaimana akhirnya. Semua terbongkar tidak masalah bagi Ibu saya. Bukankah justru Ibu saya akan mendapat dukungan dari khalayak yang lebih luas? Tapi bagaimana dengan anak Anda? Apakah Anda sanggup menerima kebencian dari banyak orang? Jika Anda masih merasa ini tidak adil dan Anda terluka, ibu saya adalah orang yang paling terluka saat mendapati suaminya ternyata sudah menikah lagi selama bertahun-tahun. Kedatangan Anda sangat mengejutkan. Kenyataan yang Anda bawa, membuat luka dalam bagi Ibu saya disaat Beliau masih berduka karena kehilangan suaminya.” Raja menutup ucapannya dengan wajah datar. Weni mengalihkan pandangan ke arah lain. Air matanya sudah jatuh membasahi pipi. Ia kembali tertampar, kali ini oleh kata-kata anak tirinya. Anak tiri? Weni merasa jijik dengan dirinya. Bisa-bisanya ia mengatakan jika dirinya adalah ibu tiri pria itu. Kalau Weni lihat, usia mereka tidak beda jauh. Dan Weni semakin merasa jijik pada diri sendiri. Memang usainya dan Herjuno terpaut jauh. Namun saat itu, Weni tak peduli. Ia dibutakan oleh harta Herjuno dan mulut manis pria itu. Mereka bertemu pertama kali di sebuah kelab malam tempat biasa Weni berkumpul dengan teman-temannya. Weni bahkan mengetahui Herjuno adalah pengusaha sukses yang telah memiliki istri dan anak, tapi Weni tak peduli. Ia menjadi kekasih simpanan Herjuno selama dua tahun. Dimanjakan oleh harta dan kepuasan hasrat. Lalu saat rasanya pada Herjuno semakin meningkat, Weni semakin serakah. Ia minta Herjuno menceraikan istrinya, tapi sayang, pria itu tak pernah mau. Entah karena cinta, atau untuk menjaga nama baik keluarga. Akhirnya, Weni minta dinikahi secara siri. Ia rela jadi istri ke dua, asalkan Herjuno tetap berada dalam genggamannya. Beruntung pria itu menyanggupi. Tapi akhirnya, semua ini jadi bomerang di kemudian hari. Ya… hari ini. Anaknya mau tak mau harus jadi anak tersembunyi. Ini semua buah keegoisannya yang ingin memiliki Herjuno. “Saya permisi kalau begitu.” Raja kembali bersuara, dan mengisyaratkan Elin untuk pergi dari rumah ini. Rumah bergaya villa yang bisa terbilang mewah. Setelah bersalaman dengan pengacara Weni, Elin dan Raja keluar dari rumah itu. Sementara Weni, sudah mengalihkan pandangan ke arah lain. Sudah terlihat jelas tidak ingin memberikan salam perpisahan pada anak tirinya tersebut. Mungkin karena terlalu malu, atau mau mempertahankan keangkuhannya? Raja dan Elin berjalan tanpa kata keluar dari rumah tersebut. Elin sangat paham kalau saat ini hati Raja sedang tidak baik-baik saja. Dapat Elin rasakan kata-kata Raja tadi sangatlah emosional. Anak mana yang akan suka jika ibunya dituduh sedemikian rupa seperti apa yang tadi Weni lakukan. Apalagi di sini, Magani adalah korban, tapi Weni seolah memutar balik fakta dan menyebut Magani tidak punya perasaan. “Ahh!!” Elin menjerit tertahan saat tiba-tiba sepatu hak tinggi yang ia pakai terpeleset di tangga batu rumah besar ini. Refleks ia memegang apa pun yang ada di dekatnya. Apa lagi kalau bukan tubuh Raja. Elin menarik kerah kemeja pria itu sampai hidung mereka bersentuhan. Raja yang juga terkejut, segera memegang erat pinggang Elin dengan kedua tangan. Tas yang dibawa Elin sudah terlempar sampai anak tangga terbawah. Mereka berdua beradu pandang dengan jantung yang sama-sama berdetak kencang. Elin segera menjauhkan wajah setelah tersadar kembali. “Maaf saya tidak sengaja—Ah!” “Hati-hati, Mbak Velindira!” Elin menegang. Ia kembali jatuh dalam dekapan klien tampannya ini. Mata Elin sudah membelalak menatap d**a yang Elin yakin indah itu. d**a bidang hangat yang mampu menghangatkan tubuhnya dari dinginnya udara kota ini. Elin menutup mata kesal. Karena kecerobohannya, hampir saja ia kembali terjatuh untuk kali ke-dua. Untung saja Raja kembali menjadi penyelamatnya. Coba kalau pria ini tidak menarik lengannya dengan segera, Elin yakin dirinya sudah berguling di anak-anak tangga yang terbuat dari batu di bawahnya ini. Elin mendorong lembut bahu Raja. Ia harus segera membebaskan diri dari dekapan Raja karena merasa tak pantas. Raja yang mengerti, perlahan melepaskan dekapannya. “Mbak Velindira tidak apa-apa? Ada yang terluka?” Raja dengan penuh perhatian membungkukkan badan untuk memeriksa kaki wanita cantik ini. Namun Elin dengan segera memundurkan langkah. Kali ini bergerak hati-hati. Ia tidak ingin disalahpahami sengaja pura-pura terjatuh seperti dalam film-film romantis yang biasa terjadi. Rasanya memalukan memikirkan hal itu. “S-saya tidak apa-apa. Maaf tadi refleks menarik baju Mas Raja.” “Saya justru bersyukur Mbak Velindira menarik baju saya.” “A-apa?” “Saya senang Mbak Velindira baik-baik saja.” Elin tertegun melihat senyum tampan yang menghiasi bibir pria di depannya ini. “Kaki Mbak Velindira benar-benar tidak apa-apa?” tanya Raja kembali khawatir. Elin hanya mampu menggeleng. Ia tak mampu berkata-kata karena sibuk meredakan detakan jantungnya yang menggila. “Bisa berjalan?” tanya Raja lagi perhatian. Pria ini tidak sadar telah membuat baper pengacaranya sendiri. Ingin sekali Elin meneriaki Raja untuk berhenti mengeluarkan perhatian lainnya lagi. Elin tidak ingin mimisan seperti dalam komik-komik percintaan yang sering ia baca. “Kaki saya… benar-benar tidak terluka atau semacamnya.” Elin sengaja menggerakkan pergelangan kakinya memutar untuk menunjukkan jika tidak terjadi sesuatu yang serius. “Semua baik-baik saja.” Elin mengangguk-angguk gugup. “Ah ya… se-sebaiknya kita kembali berjalan, Mas Raja.” Raja tersenyum sambil mengangguk. Sebelah tangannya mempersilakan Elin berjalan lebih dulu. Raja ingin mengawasi Elin dari belakang, karena takut jika Elin terjatuh. Raja memperhatikan langkah Elin dengan teliti. Sementara itu, sepanjang menuruni anak tangga, kedua tangan Elin saling meremas gugup. Ia menggigit bibir salah tingkah. Bisa-bisanya ia tidak fokus seperti tadi! Saat menuruni anak tangga terakhir, Elin dikejutkan oleh kehadiran seorang remaja laki-laki berseragam sekolah swasta. Wajahnya tidak asing bagi Elin. Elin menatap pemuda itu dengan saksama. Mata Elin membelalak saat menyadari jika wajah remaja itu mirip dengan kliennya, Raja Jagapati. Jangan-jangan remaja itu adalah anak dari Herjuno dan Weni? Pemuda itu menatapnya bingung, lalu mengalihkan pandangan ke arah belakang Elin. Dapat Elin lihat sorot matanya terkejut menatap Raja. Mungkin remaja laki-laki itu terkejut karena melihat wajah yang mirip dengan wajahnya. Elin menoleh ke belakang, dan mendapati Raja menatap remaja tersebut dengan kedua alis mengernyit dalam. Tak lama, wajah Raja berubah datar. Raja juga pasti sudah menerka jika remaja itu adalah adiknya. Elin berada dalam kecanggungan. Ia tak tahu harus berbuat apa. Dua saudara beda ibu itu saling tatap. Beberapa saat berlalu. Elin sudah tidak tahan lagi dengan suasana ini. Ia meredakan tenggorokan, lalu memusatkan perhatian pada Raja. “Mas Raja…” bisik Elin menyadarkan Raja. Pria itu segera menatap Elin. Ia mengerjap. Wajahnya linglung, seakan baru tersadar dari pingsan. “Ayo pergi,” bisik Elin kembali. Raja menelan saliva susah payah. Tak lama, ia mengangguk, lalu kembali berjalan sampai kini berada tepat di samping Elin. Ia kembali menatap remaja lelaki yang kini sudah tepat di depannya. Kalau Raja tebak, usia remaja tersebut mungkin sekitar tiga belas sampai lima belas tahun. Tubuhnya tinggi. Bahunya tegap seperti Raja. Sejak remaja, Raja juga sudah memiliki tubuh dan bahu yang tegap. Persis seperti remaja itu. Raja membuka mulut. Hendak mengeluarkan suara. Namun, belum sempat ia menyapa remaja itu, seorang pria paruh baya sudah lebih dulu menyapa sang remaja. “Den Tangguh, kok tidak ke dalam?” Remaja itu menoleh ke tempat di mana sang pria paruh baya berada. “Sebentar, Mang.” Setelah mengatakan itu, sang remaja kembali menatap Elin dan Raja bergantian. “Ini… punya Tante?” tanya sang remaja sambil menyodorkan tas Elin yang tadi terlempar. “Ah iya. Terima kasih.” Elin segera mengambil tasnya sambil menyunggingkan senyum canggung. “Sama-sama. Tante abis ketemu sama Mama?” Elin mengerjap. Lalu ia mengangguk. “I—ya…” balas Elin ragu. Walaupun dalam hati kecilnya, ia yakin jika yang dimaksud remaja lelaki ini ‘mama’ adalah wanita bernama Weni Amanda tadi. “Tangguh!” Sang remaja yang bernama Tangguh tersebut langsung menatap ke teras rumah. Di sana, Weni sudah berdiri dengan wajah gusar. “Ya, Ma?” Elin seperti mendapat jackpot karena tebakannya benar. Sudah pasti remaja tersebut adalah adik dari kliennya. Sahutan yang dilontarkan remaja itu sudah sangat menjelaskan dengan pasti. “Ma-masuk!” perintah Weni dengan suara bergetar. Elin dan Raja hanya memperhatikan dalam diam saat sang remaja melewatinya dan Raja dengan raut sepenuhnya bingung. Namun remaja tersebut menunduk sopan pada Raja dan Elin. Terlihat sekali jika attitude yang ditanamkan Weni baik. Tapi… kenapa Weni tidak seperti itu ya? Setelah remaja bernama Tangguh tersebut sudah sampai di samping Weni, wanita itu langsung merangkul bahu sang anak. Ia menatap Raja dan Elin sejenak, lalu membalikkan tubuh anaknya dan dibawa masuk ke dalam rumah. Raja dan Elin refleks saling pandang, lalu sama-sama mengalihkan pandangan ke arah lain dengan canggung. “Pulang sekarang, Mbak Velindira?” tanya Raja setelah beberapa saat dalam keheningan. Elin segera menyanggupi, dan mereka sudah berjalan bersisian menuju mobil keluarga Jagapati. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN