“Ibu Magani dan Mas Raja tidak perlu khawatir dengan semua kasus ini. Kita hanya perlu mengumpulkan bukti untuk menyerang balik Nyonya Weni Amanda. Anak saya akan membereskan semuanya. Anak ini saya sangat hebat dalam berbagai permasalahan hukum.” Setiadi Handoyo, pria paruh baya yang duduk di depan Magani dan Raja menepuk bahu seorang wanita cantik berusia lebih dari dua puluh tujuh tahun yang duduk dengan tegap di sampingnya.
Setiadi telah menjadi pengacara bagi keluarga Jagapati sekaligus pengacara perusahaan JCA selama bertahun-tahun. Perusahaan JCA adalah klien pertamanya sejak ia membangun Firma hukumnya sendiri lima belas tahun yang lalu. Perusahaan tersebut masih selalu percaya pada firma hukumnya sampai sekarang. Hal itu membuat Setiadi Handoyo memiliki keterikatan batin yang kuat dengan keluarga ini. Namun, karena kesehatannya sedang kurang baik, untuk kasus yang satu ini, ia akan menyerahkan pada salah satu pengacara terbaik yang ia miliki. Setiadi sangat mengetahui keahlian wanita muda ini. Magang di sebuah LBH selama tiga tahun, lalu bekerja di sana selama dua tahun, memiliki prestasi yang gemilang karena beberapa kasus yang ditangani dengan baik selama dua tahun tersebut, membuat Setiadi tidak ragu menyerahkan klien pentingnya pada wanita ini walaupun sang wanita belum genap dua tahun bergabung dengan firma hukum miliknya.
“Benar kan, Elin?” lanjut Setiadi. Meminta persetujuan Elin a.k.a Velindira Aeera Gunawan.
Ya, Velindira, wanita cantik yang secara tidak sengaja bertemu dengan Raja dua bulan yang lalu. Wanita yang juga malaikat pelindungnya di kala kejadian tak mengenakkan terjadi pada Raja di dalam sebuah bus.
Raja tak tahu lagi apakah ini bisa disebut takdir saat ia kembali bertemu dengan wanita mempesona tersebut?
Yang pasti, Raja hanya mampu terbengong seperti kambing ompong sejak pertama kali wanita cantik itu memasuki ruang kerja yang ada di rumahnya ini.
Sikap Raja, bertolak belakang dengan wanita itu. Saat tadi mereka bertatapan, wanita itu menunduk sopan padanya, seolah mereka baru pertama kali bertemu.
Mungkinkah Velindira melupakannya karena pertemuan pertama mereka tidak berkesan bagi wanita itu?
Raja menertawakan diri sendiri. Tampaknya, hanya dirinya yang merasa pertemuannya dan wanita itu berkesan. Sangat berkesan malah. Sampai membuatnya nyaris gila.
Sumpah demi apa pun, Raja tidak berbohong kalau ia mengatakan sering kali memimpikan wanita itu dalam dua bulan ini. Entah senyumnya, tatapannya, atau bibir indah wanita itu. Ini benar-benar membuat Raja frustrasi. Raja merasa seperti orang m***m.
“Pak Setiadi, jangan berlebihan memuji saya!”
Setiadi tertawa renyah saat melihat ekspresi galak yang dibuat-buat Velindira.
“Jadi Pengacara Velindira ini anaknya Pak Setiadi??”
Setiadi semakin tertawa mendengar pertanyaan polos yang keluar dari mulut Magani.
“Saya amat sangat senang kalau Velindira ini anak saya. Sayangnya, Velindira adalah anak sahabat saya. Anak-anak saya tidak ada yang ingin jadi pengacara seperti saya, Bu Magani. Tapi untungnya, Elin mau bekerja di firma hukum saya daripada milik papanya sendiri,” balas Setiadi dengan bangga. Pria ini benar-benar terkesan pada anak dari sahabatnya yang juga berprofesi sebagai pengacara. Daniel Gunawan. Pria itu juga memiliki firma hukum. Bahkan lebih besar dari firma hukum miliknya. Bisa saja Velindira ikut firma hukum sang ayah, tapi anak sahabatnya ini tak pernah mau, dan memilih berdiri di kaki sendiri. Velindira pun masuk ke dalam firma hukum milik Setiadi bukan karena hubungan persahabatan Setiadi, tapi karena kemampuan luar biasa yang dimiliki Velindira.
“Bapak Setiadi, apakah masih belum puas memuji saya?” sindir Elin. Membuat Setiadi lagi-lagi tertawa renyah.
Mulut Magani membulat. Ia memperhatikan wanita cantik yang duduk tepat di depannya ini. Wajah yang sempurna dan terlihat anggun. Tubuhnya juga proporsional.
Jadi pengacara cocok, lebih-lebih jadi supermodel.
Wajahnya yang merona, membuat pesona wanita muda itu semakin terpancar. Sepertinya rona itu muncul karena pengacara itu malu sejak tadi Setiadi tak henti memujinya.
“Mohon maaf, Ibu Magani, apakah ada sesuatu di wajah saya?”
Magani tersadar saat Velindira berbicara padanya sambil memegang wajahnya sendiri cemas.
Magani segera menggeleng. “Tidak. Maaf ya, sudah bertindak tidak sopan melihat Pengacara Velindira seperti tadi. Wajah Anda terlalu cantik,” jujur Magani tanpa sungkan.
Magani dapat melihat wajah Velindira semakin memerah setelah ia mengatakan itu.
“Ibu Magani bisa saja. Saya tidak secantik itu.”
“Selalu suka seperti itu kalau ada yang memujimu. Kenapa tidak bilang ‘terima kasih’ saja? Kan itu lebih baik.”
“Om~!”
Velindira langsung menutup mulut dengan sebelah tangan setelah menyadari kesalahannya. Saat ini, ia sedang bekerja. Harus profesional. Setiadi adalah bosnya untuk saat ini, bukan sahabat papanya. Tidak seharusnya dia memanggil Setiadi dengan sebutan ‘Om’. Terlebih di depan klien mereka.
“Maaf,” cicit Velindira sambil menatap bergantian semua orang yang ada di ruangan tersebut, termasuk Raja.
“Kenapa meminta maaf, Pengacara Velindira?”
“Eng… k-karena memanggil Om—Maksud saya… memanggil Pak Setiadi dengan santai.”
Magani terkekeh geli. “Santai saja, Pengacara Velindira. Tidak perlu sesungkan itu. Silakan panggil Bapak Setiadi senyaman Pengacara Velindira saja.”
“Ibu Magani percuma bicara seperti itu pada Pengacara Elin. Jika jam kerjanya belum berakhir, dia akan jadi orang yang sangat profesional.” Setiadi mengalihkan pandangan ke arah Velindira. “Baru kali ini kamu panggil om dengan santai selama jam kerja. Keceplosan ya?”
“O—Bapak Setiadi!” Elin langsung meralat secepat kilat saat hampir saja kelepasan memanggil Setiadi dengan santai lagi. Beruntung lidahnya cepat tanggap. “Bukankah kita harus membahas kasus yang terjadi?”
“Baiklah, Ibu Magani, sepertinya sekarang kita harus serius. Pengacara Anda sudah mengeluarkan taringnya.”
“Bapak Setiadi!”
Magani tertawa saat melihat wajah kesal Velindira karena candaan Setiadi. Sejak dulu, Setiadi tidak berubah. Sangat humble dan tidak kaku.
***