7. Sang Pengacara Cantik

1024 Kata
“Ibu Magani tidak perlu ragu dengan keahlian Elin. Elin adalah orang yang sangat profesional. Saya menunjuknya menggantikan saya dalam kasus ini, karena tahu kemampuannya dalam menangani kasus, bukan karena dia adalah anak dari sahabat saya. Kami akan melakukan yang terbaik.” Magani mengangguk-angguk mengerti. “Saya tidak ragu, Pak Setiadi. Saya juga dapat melihat bagaimana profesionalnya Pengacara Velindira tadi saat bertanya mengenai kasus ini pada saya,” balas Mangani, mengingat beberapa waktu yang lalu ia dan wanita cantik bernama Velindira tersebut serius membicarakan pokok permasalahan yang sedang keluarganya hadapi. “Saya yakin Bapak Setiadi selalu memberikan yang terbaik untuk keluarga kami.” “Saya lega jika Ibu mengatakan hal itu. Jadi, pihak kita tinggal mengatur waktu bertemu dengan kuasa hukum Ibu Weni Amanda.” Magani tersenyum kaku saat nama itu disebut. Ia mengangguk untuk membalas ucapan Setiadi. Sementara itu, Raja dan Velindira berjalan berdampingan tak jauh di belakang Magani dan Setiadi melangkah. “Tidak sangka kita bertemu kembali, Mas Raja.” Mata Raja membulat sempurna. Langkahnya terhenti, yang membuat wanita di sampingnya ini pun menghentikan langkah. “A-Anda mengingat saya??” tanya Raja terkejut. Jantungnya jangan ditanya, sudah berdebar tidak karuan. Velindira tertawa renyah. Tawa yang mampu membuat jantung Raja semakin berdebar sembarangan. Tawa yang dirindukannya. Meskipun faktanya, ia baru mendengar tawa itu di pertemuan pertama mereka. “Apakah Anda pikir saya tidak mengingat Anda?” Raja mengangguk polos sebagai jawaban. Pikiran Raja belum sepenuhnya pulih. Velindira kembali tertawa. “Bagaimana Anda bisa berpikir seperti itu?” “Karena Mbak Velindira sejak tadi… terlihat tidak mengingat saya.” “Tadi saya sedang bekerja. Anda dan Ibu Magani adalah klien saya. Tentu saja saya harus bersikap profesional, bukan?” “Y-ya…” “Ingatan saya cukup bagus, Mas Raja.” Mereka saling pandang. Velindira menyunggingkan senyum tipis yang di mata Raja terlihat sangat indah. Sepertinya apa pun yang dilakukan Velindira, akan terlihat indah di matanya. Bukankah ini aneh? Terdengar menggelikan. “Sa—” “Elin.” Velindira mengalihkan pandangan ke arah Setiadi saat pria paruh baya itu memanggilnya. “Ya, Om?” “Ayo kita kembali ke kantor.” “Iya.” Elin mengangguk, lalu ia kembali menatap Raja dengan senyum yang terlihat sangat cantik. “Ehm… Mas Raja, saya… pamit ya. Besok kita bertemu lagi.” Raja terkesiap. Apa maksud wanita ini? Apakah ia mengajak Raja berkencan? “Be-bertemu?” “Ya, besok saya akan datang ke sini lagi untuk membahas lebih lanjut dengan Anda dan Ibu Magani sekaligus meminta surat-surat saham pihak lain demi kepentingan bukti ke pihak lawan.” Raja mengerjap beberapa kali. Ia memaki diri yang berpikiran sembarangan. Bukankah akan sangat memalukan jika wanita ini tahu apa yang baru saja ia pikirkan? Oh sialan! Raja benar-benar merinding sendiri dengan pikiran konyolnya. Raja menggaruk dahi dengan telunjuk. Merasa canggung sendiri dengan pemikiran ngawurnya yang benar-benar ngawur tak terkira. Sekali lagi… sialan! Otaknya sudah rusak sepertinya. “O-oh… Y-ya saya akan mempersiapkan semua yang tadi Mbak Velindira minta.” Elin hanya membalas dengan anggukan. Namun senyum belum luntur dari bibirnya. “Mari, Mas.” Elin mengangguk sekilas. Berpamitan untuk terakhir kalinya. Wanita itu pun melangkah meninggalkan Raja untuk menghampiri Setiadi dan Magani yang sudah lebih dulu berada di depan pintu utama. Entah berapa lama Raja terbengong dan masih berdiri di dekat pintu utama. Yang pasti, dua pengacara tersebut sudah pergi dari rumahnya. Raja tersadar setelah mendapat tepukan lembut di lengannya. “Pengacara tadi cantik ya, Ja.” Raja menatap Magani yang memandangnya dengan mata berbinar. “Ibu jangan mikir macam-macam ya. Mbak Velindira itu pengacara kita sekarang.” Mata Magani memicing. “Memang kamu tahu apa yang ibu pikirkan?” Raja terkekeh, lalu menggeleng. “Raja tidak pernah bisa menebak apa yang ibu pikirkan,” seru Raja. Mengikuti sandiwara sang ibu. Padahal ia tahu maksud ibunya. Magani selalu seperti ini setiap melihat wanita muda yang menurutnya bisa cocok dengan sang anak. Benar-benar sudah kebelet punya cucu sepertinya. Raja saja yang pura-pura tidak peka. Mau bagaimana lagi jika di hatinya belum ada yang nyangkut. Eh… tapi… bukankah nama Velindira sudah nyangkut ya? “Ibu tadi cuma mengatakan Pengacara Velindira itu cantik. Apa ibu salah?” “Ibu tidak salah. Mbak Velindira memang cantik.” Magani melotot terkejut. “Wah… baru kali ini ibu dengar kamu memuji wanita! Apakah kamu tertarik sama Pengacara Velindira?” Tubuh Raja mendadak kaku. Wajahnya pasti sudah memerah. Raja merasakan telinganya memanas. “Ehm… Ibu, sudah… Raja bilang, jangan pikir macam-macam,” seru Raja gugup. “Ya-ya sudah, Raja ke Perfect Bubbles dulu ya, Bu. Ada yang harus diurus. Setelah itu Raja ke JCA.” Raja mencium punggung tangan sang ibu yang masih menatapnya curiga. Pria ini segera mengecup sayang pipi sang ibu untuk dapat segera kabur dari hadapan ibunya yang sudah jelas terlihat kepo berat. “Raja pergi.” “Tadi kamu bicara apa saja sama Pengacara cantik itu?” Baru menjauh satu langkah, Raja kembali mendengar suara sang ibu. Ia membalikkan tubuh sampai kembali berhadapan dengan ibunya. “Bicarakan surat saham, Bu. Raja sudah bilang, jangan pikir macam-macam.” Raja memperingatkan sekali lagi dengan senyum geli dan wajah dibuat senormal mungkin. Takut kalau sang ibu mengetahui jika ia tertarik pada Velindira. Padahal jantungnya berdetak kencang. “Sudah ya. Raja benar-benar harus pergi.” Setelah mengatakan itu, Raja benar-benar pergi dari hadapan sang ibu. Senyum kecil tersungging dari bibirnya tanpa sanggup Raja cegah. Sebenarnya bukan ibunya saja yang berpikir macam-macam, tapi Raja juga. Buktinya saja tadi, saat pengacara cantik itu mengatakan akan ‘menemuinya’, dan Raja sudah pikir ke mana-mana. Tapi… kalau dipikir-pikir, ini normal kan? Terlebih wanita itu kan memang sudah membuatnya terpesona sejak pertama bertemu. “Velindira Aeera Gunawan… Nama yang cantik… Sesuai dengan orangnya… Wajahnya sempurna. Terlihat lebih sempurna saat wanita itu tersenyum…” bisik Raja. Pria ini segera menggigit bibir gemas setelah tersadar jika ia sudah senyum-senyum sendiri di depan mobilnya. Wajahnya terpantul dari kaca pintu mobil. Membuat Raja malu pada diri sendiri yang bersikap seperti remaja baru jatuh cinta. Raja menggeleng sambil tertawa tak jelas. Tangannya sibuk membuka pintu mobil. “Raja-Raja, kamu sepertinya sudah gila,” monolognya, lalu ia kembali tertawa. Membuat Raja semakin yakin… jika dia memang sudah gila. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN