“Apakah saya boleh meminta bukti apa saja terkait beasiswa yang pernah Anda dapatkan saat Anda berkuliah, Mas Raja?”
“Apakah itu dibutuhkan?”
“Hanya untuk berjaga-jaga.”
Raja mengernyit tak mengerti. Namun setelah Elin menjelaskan lebih lanjut, ia mengangguk sebagai jawaban.
“Harus sekarang?”
Elin menggeleng. “Kita masih memiliki waktu tiga hari sebelum menemui pihak Nyonya Weni Amanda. Sebelum waktu itu, Anda bisa menyerahkannya pada saya.”
Raja kembali mengangguk. Ia balas tersenyum tatkala sang pengacara cantik tersenyum padanya, lalu wanita itu kembali sibuk dengan berkas-berkas penting di depannya.
Sudah lebih dari satu minggu wanita cantik itu beberapa kali datang ke kantor JCA atau rumah keluarga Jagapati guna memahami lebih dalam permasalahan yang terjadi. Wanita itu sangat serius dalam bekerja. Seperti ucapan Setiadi.
“Ibu Magani, apa nanti Anda akan ikut menemui Nyonya Weni Amanda?”
“Biar Raja saja yang mewakili saya. Boleh kan?”
“Tentu saja. Mas Raja adalah pemilik saham terbesar JCA sekaligus keturunan Jagapati.”
“Saya harap masalah ini cepat selesai.” Magani menyandarkan punggungnya pada sofa single yang saat ini ia duduki. Ia membuka kacamata yang sejak tadi bertengger di matanya. Setelah tiga jam berkutat dengan berbagai dokumen dengan Velindira, Magani merasakan matanya sudah pegal. Ia sampai memijat pangkal hidungnya guna melemaskan rasa pegal yang muncul. Usianya yang sudah tak muda lagi juga pasti sangat berpengaruh besar pada kesehatan fisiknya yang semakin mudah lelah.
“Saya akan berusaha dengan baik.”
“Terima kasih ya, Mbak Elin,” ucap Magani dengan panggilan yang sudah lebih santai dari pertama kali mereka bertemu. Selama hampir satu minggu ini bersama Velindira, tentu saja sudah tercipta sedikit ikatan di antara mereka. Terlebih Velindira adalah wanita cerdas yang nyambung-nyambung saja membicarakan hal apa pun. Velindira juga mampu menempatkan diri dan tahu bagaimana bersikap.
“Sudah tugas saya sebagai pengacara Ibu.”
Elin dan Magani saling melempar senyum.
“Apa setelah ini Mbak Elin ada pekerjaan lain?” tanya Magani.
Elin menggeleng sambil membereskan dokumen-dokumen itu dan dimasukkannya ke dalam sebuah map. “Tidak ada, Bu. Ada apa? Apakah ada lagi yang harus kita bahas?”
Magani menggeleng. “Mata saya sudah lelah menatap dokumen-dokumen itu.”
Elin terkekeh geli karena ucapan Magani yang sarat akan candaan.
“Makan malam di sini ya, Mbak Elin.”
“Apa??” pekik Raja dan Elin bersamaan. Sama-sama terkejut saat Magani menawari pengacara ini untuk makan. Mereka berdua refleks saling tatap dengan bola mata yang sama-sama melebar.
Tak lama, Elin segera mengalihkan pandangan ke arah Magani. Ia tertawa canggung. “Terima kasih sebelumnya, tapi…” Elin menggantung ucapan. Ia ragu antara menolak atau tidak.
“Mbak Elin sudah punya janji?” tanya Magani penasaran.
Elin kembali menatap Magani. Sebenarnya ia tidak punya janji apa pun, tapi sepertinya pria bernama Raja yang duduk tepat di hadapannya ini kurang nyaman dengan kehadirannya. Buktinya saja Raja langsung terkejut saat sang ibu menawari Elin makan bersama. Terlebih reaksi tubuh Raja terlihat tak nyaman.
“Saya—"
“Baiklah kalau Mbak Elin sudah ada janji. Atau… takut masakan di rumah saya tidak enak, ya?” Terlihat jelas raut kekecewaan di wajah Magani. Membuat Elin tidak enak hati sendiri.
Elin menggeleng kencang. “Bu-bukan seperti itu. Saya…” Elin kembali menggantung ucapan. Ia menatap Magani yang terlihat sangat berharap ia mau makan bersama. Apakah ia tega untuk menolak?
Tak lama, Elin memasang senyum kecil. “Saya tidak punya janji, Ibu Magani. Jika Anda tidak keberatan, boleh saya menumpang makan di sini?” canda Elin terdengar kaku dan ragu. Namun mampu menimbulkan tawa renyah dari mulut Magani.
“Mbak Elin ini ada-ada saja bicaranya. Mana mungkin keberatan. Kan Mbak Elin tidak minta gendong.”
Elin tertawa kecil mendengar candaan wanita paruh baya itu,
“Justru saya yang jadi tidak enak hati karena ‘sedikit memaksa’ untuk mengajak Mbak Elin makan malam bersama kami,” lanjut Magani dengan mata melirik sang anak yang masih terdiam di tempat.
Magani merasa aneh dengan sikap Raja belakangan ini. Magani curiga sang anak ‘tertarik’ dengan pengacara mereka. Beberapa kali Magani mendapati Raja berlama-lama menatap Elin. Jika sang pengacara tak sengaja bertemu tatap dengannya, pria itu akan segera mengalihkan pandangan ke arah lain. Pun demikian jika Raja tertangkap basah olehnya. Wajah anaknya tersebut akan langsung memerah, dan segera pura-pura terbatuk.
Bukankah Raja terlihat seperti remaja yang pertama kali jatuh cinta? Tapi anaknya sudah terlalu tua untuk bisa dibilang remaja.
Sayangnya… sepertinya Raja tidak punya keahlian seperti kebanyakan remaja sekarang yang akan mulai PDKT sama orang yang ditaksirnya. Anaknya itu terlalu kaku dan pemalu. Apakah karena sifatnya yang seperti itu, membuat semua kencan buta yang sudah diatur Magani selalu gagal?
Ya ampun! Jika benar demikian, tidak salah kan, kalau Magani membantu sedikit pendekatan sang anak dengan wanita bernama Velindira ini? Dengan cara menahan wanita cantik ini sedikit lebih lama untuk anaknya. Syukur-syukur kalau Raja bisa lebih berani untuk mendekatkan diri setelah ini.
Magani ingin melihat, sejauh mana kepolosan sang anak dalam mendekatkan diri dengan wanita. Seandainya saja sifat perayu sang suami bisa diturunkan sedikit pada Raja, sepertinya bagus juga. Supaya ia cepat melihat Raja menikah dan tentu saja ia bisa segera menimang cucu. Cucu yang dia harapkan untuk memenuhi rumah yang terasa hampa ini. Tangisan bayi sangat dibutuhkan di rumah besar Jagapati.
Lagi pula, wanita bernama Zahra yang ingin dikenalkan Ridwan saat itu, menolak ajakan kencan buta yang diminta Magani. Ridwan mengatakan, sepertinya wanita itu sedang pendekatan dengan seorang pria.
Mungkinkah Velindira dikirim Tuhan untuk menggantikan sosok Zahra?
Jika benar seperti itu rencana Tuhan, Magani amat sangat bersyukur.
Velindira adalah sosok nyata wanita baik hati layaknya super hero.
Wanita muda itu dua tahun yang lalu pernah menangani kasus KDRT yang dialami seorang istri dari anak salah satu pengusaha retail di negara ini.
Velindira berhasil memenangkan kasus tersebut, sampai anak sang pengusaha masuk penjara karena perbuatannya.
Bagaimana Magani bisa tahu? Tentu saja Magani mencari tahu di internet setelah Setiadi menceritakan sedikit pencapaian Velindira. Kasus tersebut ternyata pernah ramai diperbincangkan. Sehingga Magani dengan mudah menemukannya saat mengetik nama Velindira di mesin pencarian. Magani juga dapat sedikit mengetahui informasi tentang keluarga wanita muda itu. Lebih tepatnya ayah dari Velindira, Daniel Gunawan.
Daniel Gunawan ternyata adalah pengacara kondang yang pernah membela ratusan karyawan di salah satu perusahaan yang tidak membayar gaji mereka secara layak. Daniel memenangkan gugatan, sampai membuat para karyawan tersebut mendapatkan hak mereka.
Dari sini dapat dilihat, jika kebaikan hati Velindira menurun dari sang ayah. Sepertinya keluarga wanita cantik itu memiliki jiwa kemanusiaan yang tinggi.
“Saya justru takut nantinya Ibu Magani akan menyesal mengajak saya makan malam bersama.”
Magani tersadar dari lamunan setelah kembali mendengar jawaban dari Velindira. “Kenapa?” tanya Magani penasaran.
“Karena mungkin saja saya bisa menghabiskan sendiri hidangan yang tersedia.”
Magani kembali tertawa. Kali ini lebih kencang dari sebelumnya. Pengacara ini benar-benar orang yang sempurna. Bisa profesional saat bekerja, dan menyenangkan saat dalam suasana santai seperti ini.
Magani menyukainya. Akan lebih suka lagi jika rencananya mendekatkan sang anak dan Velindira berhasil.
***