“Terima kasih hidangannya, Ibu Magani dan Mas Raja. Semuanya sangat lezat dan membuat perut saya hampir meledak.”
“Ternyata Mbak Elin makan tidak sebanyak yang Mbak Elin katakan tadi.”
Elin tertawa renyah mendengar sindiran sarat candaan dari Magani. “Saya takut Ibu Magani dan Mas Raja tidak kebagian.”
Kali ini Magani yang tertawa. Entah untuk ke berapa kalinya ia tertawa karena pengacara barunya ini.
“Mbak Elin punya banyak bakat ya.”
“Bakat?” tanya Elin bingung.
“Ya, selain jadi pengacara, Mbak Elin juga sangat cocok menghibur orang sampai buat orang tidak berhenti tertawa.”
“Maksudnya saya cocok jadi pelawak?”
Magani mengangguk dengan tawa yang belum reda.
“Sepertinya profesi itu boleh saya coba.”
“Jadi pengacara saja. Kasihan nanti yang lain kalau semua profesi Mbak Elin borong.”
“Ibu Magani membuat rencana saya pupus sebelum saya mulai. Saya jadi merasa bersalah sama yang lain.”
Candaan antara Magani dan Elin terus berlanjut sepanjang jalan mereka menuju pintu utama. Sementara Raja mengekor di belakang bagai bayangan.
Wanita bernama Velindira itu semakin membuat napas Raja sesak. Sepertinya bukan hanya dirinya yang terpesona, tapi kini ibunya juga ikut-ikutan.
Apakah semudah itu terpesona pada wanita bernama Velindira tersebut?
“Ja!”
Raja tersadar dari lamunan saat merasakan tepukan sedikit kencang di lengannya. Ia sampai menghentikan langkah. Matanya mengerjap. Di depannya sudah ada sebuah pintu yang akan menghalangi langkah pria ini. Raja mengalihkan pandangan ke samping, tempat di mana sang ibu berada.
“Kamu itu bengongin apa sejak tadi?”
“R-Raja tidak bengong, Bu,” elak Raja. Padahal sudah jelas-jelas ia tidak sadar hampir menabrak pintu. Sejak kapan mereka sudah sampai di ambang pintu utama?
“Terus apa ya namanya selain ‘bengong’ sampai tidak sadar hampir menabrak pintu?”
“Raja hanya…” Raja terdiam. Otaknya sibuk mencari alasan yang tepat supaya tidak terlihat bodoh di depan sang pengacara cantik. Wanita itu menatapnya bingung sekaligus sepertinya ikut penasaran dengan apa yang ingin dikatakan anak sang pemilik rumah.
“Kamu itu lagi banyak pikiran ya?”
Raja menggeleng polos.
“Ya sudah antar Mbak Elin selamat sampai rumah.”
“Apa??”
Lagi-lagi Elin dan Raja mengeluarkan pekikan keterkejutan yang sama. Persis seperti saat Magani meminta Elin untuk makan bersama.
Elin dan Raja kembali saling pandang. Raja menatap gelisah Elin, sementara Elin masih terkejut atas permintaan Magani.
“T-tidak perlu repot-repot, Ibu Magani, Mas Raja. Saya pakai taksi—”
“Karena saya yang mengajak Mbak Elin makan malam, saya harus tanggung jawab membuat Mbak Elin selamat sampai tujuan.”
Elin tertawa canggung. “Saya biasa pulang… sendiri.”
“Karena sudah biasa pulang sendiri, tidak ada salahnya kan untuk kali ini diantar pulang anak saya? Mumpung Raja juga malam ini ada di rumah. Biasanya setiap Mbak Elin ke sini, Raja sibuk sama car wash-nya.” Magani sekali lagi mencoba mencari alasan untuk mendekatkan Raja dan Elin. Semoga saja kali ini berhasil.
Magani gemas pada anak tunggalnya itu. Saat di meja makan, sang anak lebih banyak diam, dan memilih mengaduk-aduk nasi yang ada di depannya. Bukan Raja sekali mengabaikan makanan. Raja itu terkenal menghargai apa pun, termasuk makanan. Bagi Raja, haram hukumnya kalau dia makan tidak habis. Tapi tadi, bahkan nasi yang disuguhkan Magani ke dalam piring sang anak mungkin hanya dimakan beberapa suap saja.
Apa anaknya grogi karena ada Elin?
Elin menatap Raja Buana Jagapati. Pria tampan yang masih terbengong sejak saat Magani memintanya mengantar Elin. Pria tampan itu memang baru sekarang bergabung bersama dengannya dan Magani di rumah ini guna membahas permasalahan yang akan ditangani Elin. Biasanya mereka bertemu di kantor JCA. Itu pun tidak lama. Dengar-dengar kabar, Raja sedang sibuk dengan pembangunan car washnya di salah satu tempat di kota ini. Itu adalah car wash ke-dua yang dibangun pria tampan itu setelah car wash pertamanya sukses besar. Pria itu sepertinya pintar membuka usaha. Pengusaha sejati.
***
"Maaf ya."
Keheningan yang sejak tadi tercipta, dipecahkan oleh kata ‘maaf’ yang keluar dari mulut Elin.
Raja refleks mengalihkan pandangan ke arah wanita yang duduk di sampingnya ini. Namun tak bisa lama, karena ia sedang mengemudi.
"Maaf untuk apa, Mbak Velindira?" tanya Raja dengan mata bergantian menatap Elin dan jalanan.
"Saya ikut makan malam dengan Mas Raja dan Ibu Magani. Saya tadinya ingin menolak, tapi tidak enak sama Ibu Magani."
"Apa... Mbak Velindira sebenarnya ada janji?" tanya Raja dengan jantung berdebar kencang. Perasaan tak nyaman kembali ia rasakan.
‘Janji sama siapa? Pria?’ Raja bertanya kepo di dalam hati dengan gelisah.
"Tidak kok. Saya tidak ada janji."
"Lalu kenapa Mbak Velindira meminta maaf? Apa tidak suka dengan hidangan tadi?"
"Bukankah pertanyaan Anda tidak urut?” tanya Elin menyindir. “Seharusnya Anda bertanya sebelum saya nambah nasi seperti tadi!" Elin melotot tak suka saat Raja mengajukan pertanyaan yang tidak masuk akal.
Bukankah pertanyaan itu sudah basi untuk dikeluarkan sekarang? Disaat perut Elin sudah kenyang dengan hidangan lezat yang tadi disuguhkan keluarga Jagapati. Bahkan Elin sampai menambah nasi. Hal itu amat sangat jarang ia lakukan.
Bagaimana bisa Raja bertanya demikian?
"Nambah yang hanya setengah sendok?" Raja terkekeh geli setelah mengatakan hal itu. Bukan karena ucapannya, tapi wajah merajuk Elin yang terlihat mengemaskan dengan pipi menggembung kesal.
"Saya membatasi waktu makan malam, bukan karena makanannya tidak enak."
"Program diet?"
Elin terdiam saat Raja mengatakan hal itu. Wajahnya murung seketika. Namun tak lama. Elin dapat segera kembali menormalkan ekspresi wajahnya.
"Emmm... untuk menjaga kesehatan. Segala sesuatu yang berlebih itu tidak baik, termasuk makanan. Bukan begitu?"
Raja tersenyum kecil. "Mbak Velindira benar. Segala sesuatu yang berlebih itu tidak baik."
'Termasuk rasa terpesona saya ke kamu. Sampai saya nyaris gila dan terkesan seperti orang bodoh hari ini di depan kamu,' lanjut Raja di dalam hati.
"Lalu kalau tidak ada janji, kenapa Mbak Velindira mau menolak ajakan Ibu saya untuk makan malam?" tanya Raja. Kembali mengingat topik awal pembicaraan mereka.
"Karena Mas Raja."
Deg!
Senyum Raja luntur.
Karena dirinya? Kenapa?
Apa ada yang salah dengan dirinya?
"Saya? Kenapa? Mbak Velindira tidak suka melihat saya?"
"Justru saya merasa jika Mas Raja yang tidak suka dengan kehadiran saya."
Chiiitt!