10. Seperti Pulang Berkencan

1660 Kata
"Astaga!" pekik Elin saat tiba-tiba mobil berhenti mendadak. "Mas Raj—" TINNNN! TIIINNNN! Elin merasakan mobil kembali berjalan. Jantungnya berdetak kencang karena kejadian barusan. Matanya terus menatap Raja yang juga sepertinya terkejut atas tindakannya sendiri. Raja menepikan mobil, memberhentikan lajunya, lalu membuka kaca mobil. Ia menundukkan kepala sambil mengeluarkan kata maaf pada dua mobil yang melewati mobil pria itu. Dua mobil itu sangat Elin yakini adalah mobil yang hampir menabrak body belakang mobil Raja karena aksi nge-rem mendadak yang Raja lakukan. Raja kembali menutup kaca mobilnya. Ia menatap Elin dengan wajah penuh penyesalan. “Mbak Velindira tidak apa-apa?” tanya Raja cemas. “S-saya tidak apa-apa.” Elin membalas dengan jantung yang belum sepenuhnya tenang karena kejadian tadi. “Ada yang luka?” Elin menggeleng, lalu menunjukkan sabuk pengaman yang melindungi tubuhnya. “Saya pakai sabuk pengaman. Hanya saja... saya... terkejut,” jujur Elin. Raja menghela napas berat. “Maafkan saya.” “Mas Raja sedang tidak sehat?” Raja menggeleng sambil menyunggingkan senyum kecil. Ia kembali melajukan mobil hitamnya yang berjenis SUV. “Saya sedang terkejut, sampai buat Mbak Velindira hampir celaka. Maaf ya.” “Terkejut karena apa?” “Karena Mbak Velindira mengatakan saya tidak suka dengan kehadiran Mbak Velindira. Itu tidak benar sama sekali!” tegas Raja. “Mbak Velindira kenapa bisa menduga begitu?” “Karena gerak tubuh Mas Raja seakan ingin saya segera pergi dari rumah Anda?” balas Elin tak yakin. Raja menutup mata sejenak, lalu membukanya. Bisa gawat kan kalau ia tidak membuka mata dengan segera. Bisa-bisa anak orang yang cantiknya Masya Allah ini benar-benar kenapa-kenapa karena dirinya. Tidak! Raja tidak ingin semua bagian yang ada di diri Elin tergores hanya karena kecerobohannya. Raja merutuki diri di dalam hati. Karena kegugupannya berada di dekat Elin, wanita itu jadi salah paham. Raja bukannya tak suka dengan kehadiran Elin. Ia justru tak bisa melepaskan pandangan dari Elin sejak tadi, sampai sang ibu sengaja merencanakan makan malam itu. Jangan kira Raja tidak tahu dengan rencana ibunya. Raja sangat tahu. Sudah sejak kepulangannya ke negara ini, sang ibu selalu saja berusaha mendekatkannya dengan wanita mana pun yang menurut Magani punya kepribadian yang baik. Dan sepertinya Elin termasuk di dalamnya. Raja menggigit bibir cemas. Apakah ia harus mengatakan dengan jujur jika tadi ia bersikap tidak jelas karena terlalu gugup berada sedekat itu dengan Elin? Tidak! Nanti apa yang akan Elin pikir?? Kalau Elin bertanya kenapa dia gugup, Raja harus mengatakan apa? Karena Velindira terlalu cantik? Kalau wanita itu menganggap dia tukang gombal dan tukang modus, bagaimana?? Tidak! Raja tidak ingin Elin menganggapnya pria suka tebar rayuan! “Jadi Mas Raja benar-benar tidak nyaman saya ada di sana?” Raja menoleh cepat ke arah Elin. Ia menggeleng kencang, lalu kembali mengalihkan pandangan ke arah jalanan. “Itu tidak benar. Maaf kalau saya seolah bersikap demikian. Tapi saya berani bersumpah kalau saya tidak berpikir seperti itu. Saya hanya…” Raja diam. Otaknya berpikir keras untuk meyakinkan Elin atas ucapannya. “Hanya?” “Hanya… sedang memikirkan masalah pribadi,” putus Raja akhirnya. “Memikirkan kekasih Anda?” Raja lagi-lagi terkejut. Matanya membelalak menatap Elin. “Saya tidak punya kekasih!” Setelah mengatakan itu, Raja kembali memfokuskan pandangan ke depan. Elin mengerjap beberapa kali karena terkejut atas ucapan lantang Raja. “Ha… hahaha… Mas Raja buat saya terkejut. Bicaranya menggebu sekali.” Elin tertawa kaku setengah geli. “H-habis Mbak Velindira yang lebih dulu buat saya terkejut.” “Maaf. Saya pikir begitu. Biasanya orang kalau sudah mengatakan masalah pribadi, tidak jauh dari urusan cinta.” “Seperti Mbak Velindira?” kini Raja membalik keadaan. Sekalian ia ingin mencari jawaban yang pasti, apakah wanita di sampingnya ini single, atau sudah milik orang lain. Apakah ini bisa dibilang modus? “Saya? Saya—Ah, Mas Raja, tolong belok kanan ya.” Raja segera mengikuti apa yang dikatakan Elin. Ia bahkan melupakan pertanyaannya yang belum terjawab sempurna. Tak terasa, mereka sudah sampai di sebuah komplek perumahan yang ditinggali Elin. Setelah keduanya menyapa satpam berjaga yang ada di pos depan komplek, satpam tersebut membukakan portal agar mobil Raja dapat memasuki komplek tersebut. Tentu saja setelah melihat wajah Elin yang tak asing. Elin adalah salah satu penghuni di perumahan ini. Waktu begitu cepat berlalu bagi Raja setelahnya. Tiba-tiba saja ia sudah berada tepat di depan gerbang sebuah rumah mewah milik keluarga Elin. Raja dengan sigap mematikan mesin mobilnya. “Anda tunggu di sini sebentar ya, Mbak Velindira.” Raja turun dengan segera. Tak peduli dengan wajah bingung Elin yang pandangannya mengikuti langkah Raja. Pria itu berjalan ke arahnya, lalu membuka pintu mobil di sisi tempat di mana Elin duduk. Membuat Elin tertegun dan berdebar tidak karuan. Raja melakukan hal yang sama seperti saat tadi di rumah Jagapati. Raja juga membukakan pintu mobil untuknya tadi. Ini terlihat sangat manis. Elin menggigit bibir kencang. Apa yang dia pikirkan?! Perlakuan Raja bukankah hanya demi kesopanan? Biasanya pria gentle akan melakukan hal ini. Bima juga selalu melakukan hal itu padanya. Bukankah seharusnya Elin sudah terbiasa? Kenapa bisa-bisanya Elin merasa jantungnya berdebar tidak karuan? Ini gila! Lebih tepatnya, ia yang gila. Elin keluar dengan canggung. “Terima kasih sudah mengantar saya. Ma-Mas Raja mau mampir?” Bola mata Raja melebar. Raja merasa mereka habis berkencan saja. Bukankah hubungan mereka hanya antara klien dan pengacara? ‘Sadar, Raja! Kamu bahkan belum tahu wanita ini sudah memiliki kekasih atau belum. Singkirkan rasa lain selain rasa kagum karena wanita ini seorang pengacara yang hebat! Hubungan kalian harus tetap pada tempatnya jika kamu tidak ingin terlihat bodoh!’ “Terima kasih atas tawarannya. Tapi sepertinya sudah terlalu malam untuk bertamu. Anda juga butuh istirahat, Mbak Velindira.” “Ah ya... benar. Seharusnya saya sadar kalau Anda juga butuh istirahat.” “S-saya tidak bermaksud menolak.” Raja segera menjelaskan agar tidak terjadi kesalahpahaman lagi di antara mereka. “Saya tahu, Mas Raja,” balas Elin menenangkan. Tentu saja ia mengerti maksud pria ini. Elin sudah bisa merasakan jika Raja adalah pria yang bermartabat. Mereka saling melempar senyum canggung. Jantung keduanya berdebar kencang tanpa dapat mereka cegah. “Ehm… Mas Raja, tolong sampaikan sekali lagi rasa terima kasih saya untuk Ibu Magani atas makan malamnya.” Elin kembali membangun pembicaraan untuk mencairkan suasana yang… terasa aneh ini. Raja mengangguk, lalu tersenyum. “Nanti akan saya sampaikan. Terima kasih karena mau menerima tawaran Ibu saya." Sebelah alis Elin menukik. Senyum geli muncul dari bibirnya. "Seharusnya saya yang berterima kasih, karena diberikan kesempatan untuk merasakan hidangan favoritnya Mas Raja," ucap Elin sambil mengingat ucapan Magani tadi di meja makan. Wanita paruh baya tersebut menjelaskan, jika semua hidangan yang tersedia adalah makanan kesukaan Raja. "Mungkin itu juga akan jadi hidangan favorit saya," lanjut Elin jenaka. Raja tertegun. Ia tahu Elin sedang bercanda, tapi kenapa di telinganya justru seperti sebuah tanda wanita ini ingin lebih dekat dengan Raja? Kedua tangan Raja terkepal kuat karena merasa geram dengan pikirannya sendiri. Ya ampun! Otaknya semakin malam, semakin tidak waras! Raja tersenyum canggung untuk membalas ucapan wanita cantik di depannya ini. "Saya akan beritahu Ibu saya supaya kembali mengundang Mbak Velindira." Mata Elin membulat. "Saya hanya bercanda!" panik Elin. "Jadi sebenarnya tidak suka hidangannya?" "B-bukan seperti itu, Mas Raja! M-maksud saya, hidangan tadi semuanya lezat. Saya benar-benar menikmatinya!" seru Elin meyakinkan Raja. "Tapi... yang tadi saya katakan pada Mas Raja, bukan sengaja minta diundang lagi." "Jadi Mbak Velindira tidak suka kalau Ibu saya kembali meminta Mbak Velindira makan bersama?" "Bukan-bukan! Bukan seperti itu!” Elin menggerakkan kedua tangannya ke kiri dan kanan dengan panik. “Ya... ampun kenapa jadi seperti ini?!" gerutu Elin frustrasi. Hal itu mampu menimbulkan senyum geli dari bibir Raja. Tentu saja Raja tahu maksud Elin. Yang ia katakan tadi sebenarnya hanya ingin membalas candaan Elin. Tidak tahunya wanita ini menganggapnya serius. Lucu sekali ekspresi wajah Elin saat ini yang terlihat seperti anak kecil daripada pengacara yang tegas. Ternyata menggoda Elin sangat... menyenangkan. "Jangan salah paham ya!" seru Elin kembali dengan wajah memelas. "Maksud saya tadi, saya—" "Saya tahu maksud Mbak Velindira." Elin mengerjap, lalu menatap tak percaya Raja yang saat ini sudah terkekeh geli. Mata Elin memicing sebal. "Mas Raja ternyata sedang mengerjai saya ya?!" Raja tertawa renyah. "Maaf. Saya tidak sangka Mbak Velindira sepanik ini." "Saya hanya takut kalau Mas Raja dan Ibu Magani salah paham kalau saya tidak suka. Saya suka hidangannya. Sungguh!" Raja kembali terkekeh. Ia mengangguk. "Saya percaya," bisik Raja jenaka. "Terima kasih karena sudah percaya." Elin membalas sarkas. Namun konteksnya bercanda, karena sekarang mereka sudah tertawa bersama. Keduanya tidak menyadari, jika ada orang yang melihat mereka saat ini, pasti sudah menyangka keduanya memiliki hubungan yang dekat. Pandangan mereka tak sengaja bertemu. Menimbulkan kecanggungan setelahnya. Elin dan Raja sama-sama terkejut dengan kedekatan mereka. Keduanya segera mengalihkan pandangan. Tawa mereka mereda bahkan langsung menghilang. Keheningan terjadi entah untuk berapa lama. Raja tersadar setelah melihat langit malam. Ia harus segera pamit! "Ehm... S-silakan masuk, Mbak Velindira." Raja memecah keheningan dengan gugup. “Oh iya... M-Mas Raja juga silakan pulang, biar tidak kemalaman di jalan.” “Saya biasa pulang larut. Mbak Velindira silakan masuk.” Elin terkekeh geli. Sikap mereka berdua benar-benar seperti orang yang habis pulang berkencan dan tidak rela untuk berpisah. Bukankah menggelikan? ‘Apa yang kamu pikirkan, Elin?! Pria di depanmu ini KLIENMU! Sadarlah! Demi profesional kerja! Kamu tidak biasa seperti ini. Ada apa denganmu?!’ “Kalau begitu... saya masuk ya, Mas Raja. Terima kasih dan hati-hati di jalan.” Setelah sama-sama kembali saling melempar senyum, Elin membuka pintu gerbang, lalu menutupnya setelah masuk ke dalam. Sebelum gerbang itu menutup dengan sempurna, Elin kembali melayangkan senyum ke arah Raja yang masih setia berdiri di samping mobilnya. Raja terpaku menatap senyum menawan itu sampai benar-benar menghilang ditelan pintu gerbang berwarna biru laut di depannya ini. “Cantik! Benar-benar cantik…” bisik Raja. Tak dapat lagi menahan lidahnya untuk tidak memuji kecantikan sang pengacara. Sementara yang terjadi di dalam, Elin berjalan cepat masuk ke dalam rumahnya sambil memukul-mukul kepalanya gemas. "Pulang berkencan?! Bisa-bisanya aku berpikir seperti itu!!!" erang Elin frustrasi. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN