11. Nomor Tidak Dikenal

1082 Kata
//0893xxxxx DASAR WANITA TIDAK TAHU DIRI! KENAPA KAMU TIDAK MENJAWAB TELEPON SAYA?! TAKUT? Elin menghela napas panjang setelah membaca sebuah pesan yang masuk ke dalam ponselnya. Beberapa panggilan tak terjawab menghiasi notifikasi. Elin memang sengaja tak menjawab panggilan tersebut. Nomor baru lagi? Entah sudah berapa kali Elin memblokir nomor-nomor baru yang selalu mengirimkan pesan ancaman padanya. Apakah orang tersebut tidak bosan menerornya terus menerus? Elin bisa saja mengganti nomor ponselnya, tapi orang itu pasti akan mengetahui, karena nomor yang diteror ini adalah nomor ponsel yang disematkan Elin di kartu nama pengacara yang ia miliki. Jadi kalaupun Elin mengganti nomor ponsel, sudah pasti sia-sia. Untung saja orang itu tidak tahu nomor ponsel pribadi Elin. Elin kembali memblokir nomor asing tersebut. Keluarganya tidak boleh tahu hal ini. Terlebih sang papi, Daniel Gunawan. Elin yakin papinya akan langsung mencari tahu siapa yang meneror Elin. Pria itu sangat protektif pada keluarganya, terlebih pada Elin setelah 'kejadian itu'. Dan sudah bisa dipastikan, Daniel Gunawan tidak akan tinggal diam setelah mengetahui orangnya. Orang itu pasti akan kena kasus hukum. Elin tahu siapa yang melakukan hal ini padanya, dan Elin tidak berharap orang itu mengalami kesulitan. Setidaknya selama ini, orang tersebut hanya berani meneror melalui chat. Helaan napas panjang kembali keluar dari mulutnya setelah meletakkan ponsel ke atas nakas yang berada di samping tempat tidur. Elin bersandar pada sandaran ranjang, lalu menggeliat, meregangkan otot-otot tubuh. Rambutnya masih setengah basah, karena Elin belum sempat mengeringkannya menggunakan hair dryer. Mandi setelah pulang kerja seperti ini sangat menyegarkan. Tring! Tubuh Elin menegak saat mendengar sebuah pesan kembali masuk ke dalam ponsel. Ia mengerjap. Ragu saat akan mengambil benda pipih itu. Apakah orang tersebut kembali menerornya dengan nomor baru? Elin mengusap wajah lelah, dan memutuskan akan kembali memblokir nomor tersebut. Wanita ini mengambil ponselnya, dan segera membuka notifikasi pesan yang muncul. Benar kan, nomor baru lagi. Elin tersenyum miris. Namun, senyum itu seketika luntur tergantikan dengan tubuh yang menegang saat membaca isi pesan yang tertera. Matanya mengerjap. Nomor ini bukan nomor sang peneror??? Elin menelan saliva, dan kembali membaca pesan itu beberapa kali. Pesan ini… dari Raja?? Elin membaca pesan itu satu kali lagi. //0839xxxxx Selamat malam, Mbak Velindira. Maaf sekali kalau saya ganggu malam-malam. Ini nomor saya… Raja. Saya hanya ingin memberitahu, kalau dokumen yang Mbak Velindira minta sudah saya siapkan. Besok akan saya titipkan sama Ibu. Maaf kalau saya tidak bisa memberikannya secara langsung. Besok ada sesuatu yang harus saya urus. Saya juga sudah mengirimkannya ke alamat email Mbak Velindira. Terima kasih sebelumnya ya. Elin menghela napas lega. Untungnya saja ia tidak langsung memblokir nomor tersebut sebelum ia baca. Elin kembali membaca pesan itu. Senyum kecil tersungging di bibirnya. Raja… pria itu benar-benar sopan. Bahkan saat berkirim pesan seperti ini. Elin membuka email yang sudah dikirimkan Raja. Di sana tertera beberapa dokumen. Elin membukanya satu per satu. Decakan kagum beberapa kali keluar dari mulutnya saat melihat nama salah satu universitas terbaik di Inggris. “Pria itu pasti cerdas,” monolog Elin dengan bibir sudah tersenyum lebar tanpa sadar. “Kakak ngapain senyum-senyum sambil liat HP?” Elin terkejut saat mendengar sebuah suara. “Nina??” “Kakak pikir siapa? Hantu?” Elin tertawa renyah mendapati wajah merajuk sang adik yang sudah melangkah menghampirinya. Entah kapan adiknya—Verinina Gunawan—, sudah membuka pintu kamar ini. “Mana ada hantu secantik ini, hm?” Elin menarik lengan sang adik sampai adiknya jatuh ke atas ranjang. Ia memeluk gemas Verinina sampai remaja tujuh belas tahun ini memekik sambil memberontak. Tawa renyah kembali keluar dari mulut Elin saat adiknya berhasil membebaskan diri, lalu memukulnya menggunakan guling. “Sesak tau, Kak!” “Hahaha, habis kamu gemesin.” Elin kembali menyiksa sang adik dengan cara menarik gemas kedua pipi Verinina. Entah berapa lama Elin menyiksa Verinina, dan Verinina terus memberontak. Yang pasti, saat ini mereka sudah berbaring berdampingan di atas ranjang Elin sambil menatap langit-langit kamar. Napas keduanya terengah karena kelelahan akibat candaan tadi. “Kak…" “Hm?” balas Elin sambil menoleh ke samping kanan, tempat di mana Verinina berada. Gadis tujuh belas tahun itu menatap langit-langit kamar. “Tadi Kakak kenapa senyum-senyumin HP? Lagi chat’an sama Kak Bima ya? Ciee~” Elin tertawa saat sang adik menggodanya seperti ini sambil mengedip-ngedip genit. “Bukan Bima, tapi klien.” Verinina segera duduk, lalu menatap sang kakak tak percaya. “Klien??? Chat’an sama klien sampai senyum-senyum gitu?? Kliennya cowok? Ganteng? Gantengan mana klien Kakak sama Kak Bima?” tanya Verinina bertubi-tubi. Tawa Elin semakin menjadi. Ia ikut duduk, lalu menggeleng. “Enggak tahu gantengan mana. Hmm… Mungkin… sama?” Elin mengetuk-ngetuk dagu seakan berpikir. “Kakak enggak boleh tertarik sama kliennya Kakak! Kakak cuma boleh sama Kak Bima!” Elin tersenyum, lalu mengusap sayang rambut sang adik. Adiknya ini memang sangat mengidolakan Bima yang katanya baik, humoris dan mampu melindungi Elin. Pria itu memang mudah mendapat perhatian dari siapa pun, terlebih wanita. Pesona Bima memang tidak main-main. “Pokoknya Kak Eyin harus sama Kak Bima ya!” paksa Verinina dengan mimik yang menurut Elin menggemaskan. Adiknya ini lucu. Mungkin karena jarak usia mereka jauh, Elin masih saja menganggap adiknya selucu saat balita. Apalagi panggilan Verinina padanya tidak pernah berubah sejak remaja ini masih belum lancar berbicara. “Lin, Na, kok belum keluar?” Elin dan Verinina kompak mengalihkan pandangan ke arah pintu. Di sana sudah berdiri mami mereka. “Ada apa, Mi? Mami suruh Elin sama Nina ke mana?” “Itu loh, Papi bawa martabak cokelat kacang. Udah mami siapin di ruang TV.” “Martabak cokelat kacang??” pekik Elin girang. Cemilan itu adalah makanan favorit keluarganya. “Nina tidak kasih tahu?” tanya sang mami, yang hanya dibalas Elin gelengan. Verinina menepuk dahi sambil meringis. “Maaf, Nina lupa.” Elin melotot galak pada adiknya. “Kamu ya!” “Habis tadi Kak Yin langsung godain Nina. Kan jadi lupa.” “Seharusnya kamu tidak boleh lupa sama cemilan wajib kita!” “Iya sudah, Nina berdosa sekali melupakan martabak tercinta…” rajuk Nina. Membuat Elin dan maminya tertawa. “Sudah-sudah, ayo keluar. Papi sudah nunggu kalian.” “Mamiii~, tunggu Nina.” Nina segera turun dari ranjang Elin dan langsung berlari menyusul sang mami yang sudah geleng-geleng kepala karena teriakan putri bungsunya. Elin pun turun dari ranjang untuk menyusul Verinina dan sang mami. Namun sebelum beranjak, Elin kembali meraih ponsel yang tadi tak sengaja dia tiduri karena kehadiran Verinina. Elin baru ingat jika dia belum membalas pesan Raja. Tangannya segera sibuk mengetuk-ngetuk layar ponsel untuk membalas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN